16. A Secret

12 1 0
                                    

"Terkadang sebuah rahasia lebih baik tidak diungkapkan. Aku tidak berbohong, hanya tidak sanggup kehilanganmu."

• ~~ • ~~ •

"Maaf, gue ga bisa nemani lo besok. Gue mau barengi bokap ke bengkel." Kembali Rama tak bisa menemani Ifabella di akhir pekan yang biasa mereka isi bersama. Ifabella mengangguk pelan, meredam curiga yang muncul kembali. Aktivitas pergi dan pulang sekolah bersama mereka sudah seperti dulu lagi, hanya saja Ifabella tak bisa memungkiri rasa kosong yang ada karena akhir minggunya tak bersama Rama. Seperti sudah menjadi sebuah kebiasaan dengan kehadiran pemuda yang berdiri di hadapannya, kesendiriannya kali ini terasa asing.

"Tante Liliana besok ada di rumah?" Pertanyaan Ifabella mengagetkan mereka berdua. Entah karena apa kalimat itu yang muncul begitu Ifabella membuka mulut. Rama menjadi waspada.

"Sabtu biasanya nyokap arisan," ucap Rama lirih, membuang pandangan ke arah lain. Tak sanggup membalas tatapan Ifabella yang seakan menelisik, mencari kebohongan dalam ucapannya.

"Ok," hanya itu yang terucap sebelum Ifabella melangkah masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Rama yang terpaku, terlalu kaget, tanpa kata-kata manis yang biasa gadis itu ucapkan. Rama memukul motor, mengumpat berkali-kali, mencoba melepaskan sesak yang menghimpitnya beberapa minggu ini.

Ifabella mengintip dari balik tirai jendela. Rama masih di depan pagar, bersandar di sisi motornya dengan bahu luruh dan kepala tertunduk, kedua tangan dimasukkan ke kantung celana. Tampak bagai prajurit yang kalah. Ifabella tersenyum miris. Kali pertama melihat Rama tak berdaya seperti itu. Seperti bukan Rama yang ia kenal.

"Kamu kenapa, Rama? Kenapa berbohong?" Ifabella mengesah pelan. Masih menatap Rama yang kini mengangkat wajah, memandang ke arah Ifabella. Memerangkap tatapan masing-masing, mencurahkan rasa yang tak sanggup terucap lewat kata. Sedetik kemudian, Rama melambai, berbalik, dan melajukan motornya.

Ifabella berbalik dan terpaku. Tubuhnya berhenti bergerak kala mendapati Reivan berdiri tak jauh dari dirinya.

"Papa...."

"Apa hubunganmu dengan pemuda itu?" tanya Reivan dengan suara tegas dan dingin. Kedua tangannya bersedekap. Dengan postur tubuh tegap dan penampilan yang tak ramah, Reivan terlihat mengintimidasi di mata Ifabella.

"Kalian pacaran?" Lagi-lagi Reivan bertanya karena Ifabella masih tak menjawab. Menatap sepasang bola mata cokelat tua yang serupa dengan miliknya, Reivan mengamati binar yang bermain di sana. Perasaan rindu seketika menyergap Reivan. Betapa ia merindukan istrinya hingga lebih memilih berkubang dalam duka akan kepergian Isabella, mengenang satu-satunya wanita yang ia cintai dengan kesakitan dan penyesalan yang enggan ia bagi.

"Berhenti berhubungan dengan dia!" ucap Reivan keras. Kesiap lirih keluar dari bibir Ifabella. Mata indahnya membelalak tak percaya. Jari-jari Ifabella mencengkeram erat rok seragamnya hingga menampakkan garis-garis putih. Sebuah tanya terhenti di ujung lidah Ifabella, tak sanggup terucap. Dan Reivan bisa melihat luka dan kesedihan di wajah putrinya itu. Tak sanggup menahan pedih yang tiba-tiba menyeruak, Reivan langsung berbalik menuju ruang kerjanya. Meninggalkan Ifabella yang meluruh dalam diam. Air mata lolos begitu saja tanpa isak mengiringi.

Ini adalah kali pertama ayahnya mengajaknya berbicara setelah sekian lama, tapi yang keluar dari mulut Reivan sungguh di luar dugaan. Ifabella tak pernah menyangka perbincangan pertama mereka malah menorehkan luka sedalam itu. Perintah untuk berpisah dari Rama. Belum selesai masalah yang mereka hadapi, kini masa depan hubungan keduanya semakin di ujung tanduk.

IF... (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang