"Kejujuran itu mahal, bukan karena dapat berharga milyaran, tapi karena tak sanggup terbeli"
• ~~ • ~~ •
Rama mendudukkan diri di samping Ifabella. Di kursi hitam, di bawah pohon ketapang, di halaman belakang sekolah, tempat kesukaan mereka berdua.
"Hai," sapa Rama setelah kehadirannya tak berhasil mengusik Ifabella. Gadis itu hanya sedikit menoleh dan mengangguk, kemudian kembali memandang ke depan.
Bermenit kemudian hanya ada semilir angin yang bermain di antara mereka. Berbeda dari hari-hari lalu, siang ini Rama tak sanggup membuka mulut menggoda Ifabella seperti biasa. Rasa tak nyaman bersarang dalam dada Rama. Ingin mengungkapkan semua kepada gadis di sampingnya, tapi ketakutan bahwa Ifabella meninggalkannya membuat Rama menyimpan hal itu. Ia akan mencari saat yang tepat. Rama menghela napas keras. Mencoba melegakan impitan yg menyesakkan dada.
Merasa ada pergerakan di sampingnya, Rama menoleh, dengan cepat menahan tangan Ifabella. Sedikit menarik hingga gadis itu terduduk kembali di sampingnya. Ini sudah seminggu berlalu sejak kejadian ia meninggikan suara pada Ifabella di koridor sekolah.
Rama menyusupkan jarinya di sela jemari Ifabella. Menahan napas menunggu reaksi Ifabella. Gadis itu mengeratkan tautan. Sedikit memutar badan hingga menghadap gadis yang masih saja tak mengucapkan kata. Memperhatikan rambut hitam sebahu Ifabella bergerak-gerak tertiup angin. Ingin rasanya menyelipkan helaian rambut itu ke belakang telinga Ifabella, tapi tangannya terasa kebas, sulit untuk digerakkan. Kembali Rama menghela napas. Sekali lagi. Lagi dan lagi.
Mengapa semuanya jadi kacau seperti ini?
"Please....," mohon Rama saat merasakan Ifabella menarik tangannya.
Ifabella memutar badan menghadap Rama, "Aku ga bisa tahu kalau kamu ga cerita," ucap Ifabella lirih, "tapi aku takkan memaksa. Katakan kalau kamu udah siap. Aku menunggu." Ifabella melepas genggamannya lalu berdiri. Berjalan meninggalkan Rama menatap tangannya yang kosong.
Langkah Ifabella terhenti saat telinganya menangkap teriakan Rama, terdengar frustrasi. Tapi ia tetap melangkah menjauh. Memberi ruang untuk Rama, juga untuk dirinya menyiapkan hati bila yang terburuk yang terjadi. Entah ada apa dengan Rama, tapi bagi Ifabella, hubungan mereka sedang diuji, di mana kepercayaan serta kejujuran sangat dibutuhkan. Bila Rama tak bisa memberikan kedua hal itu, mungkin ini saat yang tepat untuk menghentikan cerita mereka. Sebelum ia dan Rama saling menyakiti lebih dalam.
Sekali lagi Rama melampiaskan emosi, yang entah apa itu, yang bercokol di dadanya. Namun masih juga belum mendapat ketenangan yang ia inginkan. Tarikan napasnya terengah, terasa berat. Tangannya mengusap wajah berulang kali dengan kasar, mencoba melupakan wajah Ifabella yang terus bermain di benaknya. Ingatannya kembali ke beberapa saat lalu. Ifabella bertingkah seolah mereka dua orang asing, menarik diri menjauh. Raut yang mulai berseri, kini kembali tanpa ekspresi. Dan ia tahu dirinya yang menyebabkan itu. Rama membenci dirinya, tak berhenti memaki sendiri.
Dering bel menyadarkan Rama dari pikirannya. "Maaf," bisik Rama sebelum berdiri, menyusul Ifabella yang kembali ke kelas. Meski Rama tahu Ifabella tak mungkin mendengarnya.
• ~~ • ~~ •
Sudah dua minggu Ifabella dan Rama bersikap layaknya orang asing. Mereka memang masih menghabiskan istirahat bersama, masih berjalan beriringan di koridor, tapi tak ada lagi tawa yang terdengar, hanya helaan napas yang mengisi diam di antara mereka. Rama tersiksa dengan keadaan ini. Ia yakin Ifabella juga merasakannya meski gadis itu tidak mengatakan apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
IF... (On Hold)
Teen FictionIfabella Srikandi Sucipto pindah sekolah dari SMA Harapan Pertiwi karena dicurangi sahabatnya. Di sekolah yang baru, If bertemu dengan ketua OSIS yang langsung mengklaim If sebagai pacarnya. Tentu saja hal itu membuat If langsung memasukkan Rama seb...