13

3.6K 297 10
                                    

"Papah, ayo bangun udah mau subuh!!"

Aku terbangun seperti orang kesetanan. Berteriak sambil lompat dari tempat tidur, dan keluar dari kamar dengan nafas tersengal.

Papah sedang duduk di sofa ruang tamu. Memakai celana piyama kotak-kota hijau muda, dan kaos putih polos yang kelihatan masih baru.

"Kan Papah bilang apa semalam? Jangan kebanyakan main game. Hampir kesiangan kan?"

Aku menyengir. Kucuci mukaku ala kadarnya. Dan aku segera makan sahur dengan papah di ruang tamu.

Pagi ini menunya sama rolade daging, nasi, tumis pokcoy, dan juga sup tofu. Meski cuma ala kadarnya, tapi semua ini yang masak papah loh.

Aku kaget banget waktu tahu si papah itu jago banget masak. Semua masakkannya gak ada yang gak enak. Setiap apa yang papah masak buat aku, pasti aku habisin gak bersisa.

Aku tahunya papah bisa masak, waktu mamah lagi ada kerjaan dari kantornya dan mengharuskan mamah terbang ke daerah Jawa Timur sana.

Padahal baru empat hari awal bulan ramadhan. Tapi aku udah ditinggal berdua aja sama papah. Aku gak bisa ngebayangin kalau si mamah gak jadi nikah sama papah Rico.

Ditinggal mamah sama Mbak Nova di awal bulan ramadhan. Dan Mas Noval pun aku gak tahu keberadaannya.

"Kok anak Papah ngelamun?"

"Makasih ya, pah.."

"Terima kasih untuk apa, Davi?"

"Karena papah udah mau jadi papahku. Kalo gak ada papah, mungkin sekarang aku lagi sendirian aja. Dan gak puasa." Aku menyengir getir.

"Davi, ada yang mau Papah bicarakan sama kamu.." papah berpindah duduk ke sebelahku.

Aku seperti merasa ada yang aneh tiap kali papah Rico berada dekat sekali denganku. Perasaan yang aneh dan gak wajar menurutku.

"Bukannya Papah gak suka tinggal di rumah ini, tapi -- hmmm --"

Kuperhatikan wajah papah. Dia terlihat begitu tampan, pintar, dan mempesona sekali. Sekali lagi harus kukatakan, kalau mamah sangat-sangat beruntung bisa menikah dengan Papah Rico yang sangat baik dan perhatian ini.

"Davi mau gak kalau kita pindah rumah?"

Jantungku berdebar kencang. Kuletakkan sendok makanku. Dan nafsu makanku hilang seketika. Pikiranku langsung melambung kemana-mana.

Ketika aku melihat pintu ruang tamu, aku ingat ketika aku lagi kejar-kejaran sama Fajar, dan aku menabrak pintu itu, hingga gigi depanku tanggal satu.

Lalu, ketika aku melihat tv tabung berukuran 14 inchi yang sudah tidak menyala itu, aku ingat dengan papah. Maksudku, papah kandungku. Waktu itu aku bahagia sekali, ketika dia pulang kerja dan membelikanku tv tabung itu. Berulang kali mamah bermaksud ingin menjualnya ke tukang loak, tapi aku selalu melarangnya.

Dan juga sofa yang kududuki ini. Sudah berapa kali kainnya diganti dengan model baru, karena kain sebelumnya yang robek karena sering aku preteli dengan kedua tanganku yang iseng dan jahil ini.

Aku tahu kalau aku tidak boleh egois. Beberapa kali aku dengar saat papah dan mamah membicarakan masalah kepindahan ini. Dan pada akhirnya, papah yang menyampaikan langsung padaku.

Rumahku tidak seluas rumahnya Bintang, dan aku bisa mengerti gimana tersiksanya papah disini. Meski di kamar mamah ada AC, tapi tetap saja kulihat papah sering berkeringat. Mungkin karena AC di kamarnya mamah itu sudah kuno.

Belum lagi hadiah-hadiah pernikahan mereka yang memenuhi ruang makan dan sebagian ruang tamu rumah ini. Sungguh, rumahku ini seperti kapal pecah saja.

"Tapi, nanti sekolah aku gimana?"

WHEN MONEY TALKSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang