5

4.9K 381 17
                                    

"Mamah mau menikah sama Om Rico ya?"

Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku. Kutatap wajah mamah. Kulihat perubahan raut wajahnya yang semakin menua namun tetap terlihat cantik dan menawan bagiku.

"Davi..." Mamah meraih tanganku.

"Aku gak keberatan kok."

"Davi.." Mamah agak kaget mendengar kalimatku.

"Om Rico itu orang yang sangat baik. Aku yakin kalau Om Rico tidak akan pernah menyakiti mamah.."

"Davi, sebenarnya Mamah tidak ---"

"Aku akan bicara sama Mas Noval."

"Tidak usah, Davi." Mamah seperti berusaha menutupi kesedihannya. "Bagi Mamah, melihat kalian bertiga bahagia -- itu sudah lebih dari cukup.."

"Tapi, aku tidak akan bisa selamanya tinggal dengan mamah. Dan aku gak mau mamah sampai kesepian.." Aku meneguk segelas air putih. "Mbak Nova nanti akan menikah sama Mas Rian. Lalu Mas Noval juga sudah tidak disini. Dan aku --- bagaimana kalau ternyata aku meninggal lebih dulu?"

"Davi kok ngomongnya gitu?" Mbak Nova muncul dari belakangku. "Mbak gak suka ya.."

"Tapi kan umur siapa yang tahu, mbak.."

"Kalian adalah anak-anak Mamah. Harta yang paling berharga yang Mamah miliki selamanya.."

Malamnya, aku mengendap-ngendap masuk ke kamarnya Mbak Nova. Aku bicara empat mata. Mengutarakan maksudku, supaya Mbak Nova memberikan izin agar mamah dan Om Rico bisa menikah.

Mbak Nova tidak keberatan. Hanya saja dia mengatakan sesuatu yang membuatku kembali jadi ragu.

Yaitu tentang keyakinan yang dianut Om Rico. Kami semua tahu kalau Om Rico itu beragama kristen. Dan Mbak Nova tidak setuju kalau mamah harus mengikuti keyakinan yang dianut oleh Om Rico.

Aku terus memikirkan satu penghalang terbesar itu. Aku mencoba mencari jalan keluar. Tapi umurku baru 14 tahun. Dan aku tak tahu harus melakukan apa?

Sabtu, keesokkan paginya...

"Aku berangkat dulu ya, mah.."

"Hati-hati ya, sayang. Jangan terlalu lama main airnya." Pesan mamah.

Aku, Bintang, dan Fajar, bergantian mencium tangan mamah. Sebenarnya aku gak menyangka, kalau Fajar sudah duduk di teras depan rumahku, sejak pukul setengah enam pagi. Dan dia kelihatan bersemangat sekali.

"Dav, gue bawain roti bakar nih." Fajar menyodorkan setungkup roti bakar yang dibungkusnya dengan kortas cokelat nasi. "Gue bikin sendiri loh.." Katanya sambil mengusap hidung.

"Makasih. Tapi aku belom laper." Jawabku.

"Kamu kenapa, Dav? Gak enak badan ya?" Kata Fajar yang duduk di sebelah kiriku. Dia memegang dahiku dengan raut wajah khawatir.

"Aku gak papa, Bintang."

"Mas Davi kelihatan agak pucet. Kurang tidur ya semalam?" Pak Yus ikut nimbrung dari balik kemudinya.

"Lo tiduran aja dulu, Dav. Mumpung masih ada waktu.." Dan Fajar yang biasanya cuek, kini sok-sok perhatian padaku.

"Pak Yus, apa aku boleh tanya sesuatu?"

Pak Yus menatapku dari kaca spion tengah. "Tanya apa, mas?"

"Hmmm --- Pak Yus udah berapa lama kerja sama Om Rico?"

"Sepuluh tahunan, mas."

"Berarti udah lama dong ya.." Aku setengah menunduk. Pagi ini, pikiranku benar-benar kacau sekali. "Pak Yus.."

WHEN MONEY TALKSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang