19

3.3K 264 5
                                    

"Davi, Davi janji ya tidak akan memberitahu ini pada siapapun.."

"Tapi, pah..." Aku meremas selimutku.

Aku sungguh bingung. Kenapa hati kecilku mengatakan kalau aku harus tetap berada di samping Papah Rico dan juga membelanya?

Kenapa bukan mamah? Padahal kan mamah adalah wanita yang sudah mengandung dan melahirkanku ke dunia ini.

"Kita jadi jenguk Bintang kan?"

"Emangnya papah gak ke kantor?" Tanyaku. "Aku bisa sendiri kok."

"Davi --" Papah memegang daguku. "Davi itu anaknya siapa?"

"Papah.."

"Jadi, Davi itu adalah segalanya buat Papah."

Aku sudah salah menduga selama ini. Ternyata papah dan Tante Natalie itu tidak pernah menjalin sebuah hubungan apapun. Papah tidak berselingkuh dengannya. Dan dengan wanita manapun di sekitarnya. Padahal aku yakin, papah bisa mendapatkan wanita manapun, yang jauh lebih cantik dari mamah.

Papah adalah pria yang keren, kaya, dan pintar. Dan yang membuatku kagum adalah, dia sangat mencintai mamah. Meskipun mamah adalah wanita yang sudah tidak muda lagi. Wanita yang sudah pernah menikah dengan pria lain. Dan wanita yang sudah mempunyai tiga orang anak.

"Tante Natalie gak marah kan, pah?"

"Dia itu orang yang sangat baik, Davi. Bahkan, pagi ini saja dia masih menanyakan kabarmu. Dia sangat cemas dan khawatir padamu."

Aku jadi beneran menyesal. Udah iPhoneku pecah. Ditambah lagi aku buat orang lain terluka, dengan sikap konyolku.

Aku dan papah pergi ke rumah sakit. Aku gak tahu, apa Bintang masih mau menerimaku sebagai temannya atau tidak. Karena sudah seminggu dia dirawat, baru sekali ini aku datang menjenguknya.

Di jalan, kami mampir dulu di tukang buah. Papah membelikan satu keranjang parcel buah-buahan untuk Bintang.

"Aku juga mau dong, pah. Kayaknya bagus ya buat di pajang.."

"Kamu ini ada-ada aja, Davi.." Papah meremas bahuku.

Selama di perjalanan menuju rumah sakit, papah tidak banyak bicara. Aku bisa melihat raut kesedihan di wajahnya. Apakah papah terluka dengan sikap tidak setianya mamah?

Aku merebahkan kepalaku di atas pahanya. Dia agak terkejut. Tapi kemudian tersenyum. Aku lebih suka melihat papah tersenyum, daripada murung seperti tadi.

Aku pegang tangannya yang besar dan hangat itu. Lalu kutempelkan di pipiku.

Kalau mamah memang tidak mencintai papah, kenapa mamah harus menikah dengan papah?

Apakah mamah sampai setega itu menyakiti dan membohongi papah?

Kami sampai di rumah sakit. Perasaanku tidak enak. Takut-takut kalau Bintang akan mengusirku.

Aku terus memegang tangan papah. Kalau ada apa-apa, aku tinggal berlindung di belakang tubuhnya aja.

Papah tidak perlu bertanya lagi ke suster dimana Bintang dirawat. Karena rupanya, papah dan Tante Natalie sudah sering menjenguk Bintang tanpa sepengetahuan diriku.

"Permisi.." Papah memberikan salam. Suaranya dalam dan besar. Aku sampai merinding dan takjub. Papah begitu sempurna di mataku.

"Pak Rico, mari silahkan masuk." Neneknya Bintang menyambut dengan ramah sekali. "Nak Davi juga ikut ya?"

"Davi..?!!" Bintang yang tadinya kulihat sedang tertidur, tiba-tiba terbangun dengan wajah sumringah sekali.

"Hai, Bintang. Aku cuma kebetulan aja kok.."

"Aku kira, kamu gak akan pernah dateng..." Bintang meraih tanganku. Tapi aku langsung menariknya. Aku cuma gak mau kalau sampai papah memandangku aneh.

"Kakimu gimana?"

"Yahh -- seperti inilah." Bintang berusaha menyembunyikan kesedihannya. Aku tahu itu. "Aku gak tahu, apa aku bisa jadi pemain basket nasional lagi.."

Rasanya aku mau menonjok pelaku tabrak lari itu. Karena aku kasihan dan gak tega, ngeliat Bintang harus duduk di kursi roda selamanya.

"Fajar gimana, Dav?"

Aku angkat bahu. Aku juga gak pernah tukeran kabar sama dia, sejak sekolah diliburkan kembali di pertengahan bulan ramadhan ini.

"Aku kasihan sama dia."

"Kamu kenapa mesti kasian sama dia?! Dia itu kan maling!"

"Tapi dia juga teman kamu kan? Dari kecil malahan.."

Aku jadi malu dengan kata-kataku sendiri waktu itu. Aku harus berteman dengan siapapun, tak peduli dia itu siapa. Dan sebisa mungkin, aku tidak mencari musuh, walau itu hanya satu orang.

Kulihat papah keluar dengan kakek dan neneknya Bintang. Aku gak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Tapi sepertinya, sesuatu yang amat serius.

"Dav --"

Kali ini kubiarkan Bintang memegang tanganku.

"Aku sekarang gak bisa jalan lagi.."

"Kamu gak boleh ngomong kayak gitu, Bintang."

"Aku minta maaf, kalau nanti -- aku gak bisa menemanimu kemana-mana lagi.."

"Bintang.." Aku menatapnya lekat-lekat. Dan entah apa yang merasukiku, tubuhku tiba-tiba condong ke depan -- dan kudaratkan sebuah ciuman di dahinya.

"Davi ---" Bintang menahan belakang leherku.

Jantung berdegup kencang. Hidungku dan hidungnya nyaris bersentuhan.

Hembusan nafasnya yang panas dan juga aroma kuat obat dari mulutnya, bisa kurasakan menelisik masuk ke dalam hidungku.

Aku nyaris tak berkedip saat Bintang menaikkan kepalanya, dan dia --- mencium bibirku...

Aku -- aku -- aku...

Aku ingin melepasnya, tapi Bintang makin kuat menahan belakang kepalaku.   Aku tak bisa menolaknya. Karena aku sangat menikmatinya.

"Bintang..!" Aku refleks mendorongnya. Aku ingat kalau aku kan lagi puasa. Ya Allah, apa puasaku batal ya?!

"Bibir kamu enak ya, Dav.." Bintang mengulas senyum.

Aku menonjok dadanya. "Aku lagi puasa Bintang! Aku kan bisa batal..!"

Bintang meraih tanganku. "Emmm, kalau nanti malem -- berarti aku boleh cium lagi sepuasanya dong?"

"Bintang...!! Apaan sih kamu..!!"

"Davi, i love you.."

"Enggak..!" Aku menggeleng.

Bintang menggoyangkan tanganku. "Please..."

"Enggak, Bintang!! Aku itu cuma sayang dan cinta sama satu orang!"

"Pasti aku kan?"

Aku menggeleng. "Papah dong pastinya..!"

"Davi --" Bintang mencium punggung telapak tanganku. "Will you be my lover...?"

Mataku memelotot. Wajahku rasanya panas sekali. Aku -- aku -- aku...

"Davi, please -- answer..."

"Bintang --- yang tadi kamu bilang itu --- apa sih artinya? Hhheehee..."

$$$$$$

WHEN MONEY TALKSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang