14

3.4K 283 1
                                    

Aku lagi diri-diri di teras masjid, sambil menunggu papah yang masih ngobrol sama pengurus masjid dan beberapa tetangga lainnya. Aku harap kalau dia --- baru keluar dari dalam masjid, dan melempar senyum padaku.

"Belum balik, Dav?" Cara bicara Bintang sedikit banyak udah berubah. Dia kini kelihatan tidak sekaku waktu pertama kali aku mengenalnya.

"Lagi nunggu papah.."

Aku duduk di dekat salah satu tiang masjid. Dan Bintang ikutan duduk di sebelahku.

"Aku tadi dengar di dalem, Dav.."

"Soal?"

"Kepindahanmu.."

Aku ngangguk-ngangguk. Bagaimanapun juga Papah Rico adalah kepala keluarga, dan dia harus memberitahukan kepindahanku dan mamah ke rumahnya, kepada tetangga sekitar.

"Jadi ---" Bintang menatapku. "Kamu ---"

"Malam ini."

Aku langsung bisa melihat air muka Bintang yang berubah. Aku memang pindah ke rumahnya papah. Tapi aku kan gak jadi pindah sekolah. Toh, aku dan dia masih bisa ketemu di sekolah, kan?

Kulirik dia. Tangan kanannya merogoh saku celana panjang hitamnya.

"Untukmu.."

"Hei...!" Alisku naik satu.

"Bukan barang mahal sih. Tapi -- yaa -- anggep aja sebagai tanda terima kasih dari aku."

"Davi, kita pulang sekarang?" Papah memegang kepalaku.

"Ehhmm -- aku pulang sama Bintang ya pah.."

"Papah duluan ya. Soalnya orang-orang Papah sudah datang."

"Oke!"

Seharusnya aku dan Bintang melewati jalan yang biasanya aku dan papah lewati saat berangkat maupun pulang dari masjid. Tapi malam ini, Bintang mengajakku untuk memutar jalan.

Dia mengajakku ke minimarket. Membelikanku es krim. Bukan magnum. Karena aku emang gak suka.

"Aku aja yang bayar!" Bintang menahan tanganku.

Aku melempar senyum. Untuk Bintang, dan kartu atm milikku. Ternyata hidup itu memang praktis, dengan hanya membawa satu kartu plastik ini saja.

Rasanya masih seperti mimpi saja sampai saat ini. Aku gak nyangka kalau papah memberikanku sebuah kartu atm. Meski dia memberikannya dengan satu syarat. Aku tidak boleh memberitahu mamah tentang kartu atm ini.

Saat aku menanyakan alasannya, papah tidak mau menjawabnya secara jujur. Tapi aku yakin-yakin sekali, kalau papah pasti punya alasan sendiri yang tidak bisa diberitahunya padaku.

"Aku mau minta maaf, Dav.."

"Uhmm..." Aku memonyongkan bibir. "Minta maaf apa?"

Deghh..!!

Jantungku serasa berhenti berdetak dan mataku seolah tak bisa berkedip, saat jempol Bintang menyentuh lembut bibirku.

"Sorry, tadi --" Bintang menarik tangannya dengan kikuk. "Sorry, Dav.."

"Aku mau pulang!" Aku sontak berdiri. "Takutnya papah sama mamah ---" Mataku membulat.

Aku bukan terpesona dengan Bintang -- meski aku gak munafik kalau Bintang itu emang cowok yang sangat sempurna di mataku -- tapi dengan sosok cowok berjaket hijau tua dan bercelana pendek, yang berdiri di belakang Bintang dengan nafas tersengal dan banjir peluh itu.

"Ini -- buat lo.." Fajar menyodorkan sebuah tas kertas berwarna biru muda dengan sebuah pita kuning di bagian atasnya. "Semoga lo suka ya, Dav.."

Aku ragu untuk menerimanya. Tapi, aku juga tidak enak dengan Fajar. Sebantet-bantenya Fajar kan, dia itu temanku dari kecil. Banyak hal yang telah aku dan dia lalui bersama.

"Makasih, Fajar.."

Kami bertiga berjalan bersamaan menuju rumahku. Aku berada di tengah. Diapit oleh kedua teman terbaikku. Dan aku merasa sangat-sangat tidak nyaman sekali.

"Gak nyangka ya Dav, kalo akhirnya lo pergi juga.." Suara Fajar memecah keheningan.

"Kamu bisa main kapan aja kok.." Entah apa yang membuatku harus mengatakan hal konyol seperti itu padanya.

"Lo inget gak waktu kita abis disunat, kita kan dapet uang -- tapi Mas Noval, ngambil uang punya lo.."

Aku menyengir aja. Aku gak tahu apa maksud Fajar mengatakan kembali peristiwa yang sudah bertahun-tahun berlalu itu.

"Biasanya kalo malem minggu, gue suka nginep di rumah lo. Hhhahh.." Fajar menghela nafas. "Kalo nanti gue bete di rumah, gue main kemana lagi ya?"

Wajahku rasanya panas sekali. Aku memang masih sebal sama si Fajar. Tapi, ketika dia mengatakan sesuatu yang mengingatkanku akan kejadian-kejadian di masa lalu itu -- rasanya membuatku ingin menangis.

Cuma Fajar satu-satunya cowok yang gak pernah ngerasa risih tiap kali aku sedang sebal sama Mbak Nova, dan aku curhat semalaman sama dia.

Cuma Fajar cowok yang gak pernah marah apalagi benci sama aku, meskipun aku kadang suka ngatain dia dengan julukan yang gak kira-kira jahatnya.

"Dav, kayaknya beres-beresnya belum selesai deh.." Bintang membuyarkan lamunanku.

Kulihat beberapa orang sedang mengangkat barang-barang dari dalam rumahku, ke atas mobil-mobil box yang berderet rapih di depan rumahku.

"Davi ---" Fajar meraih tanganku. "Gue gak tahu apa gue ini gay apa bukan. Tapi satu hal yang harus lo tahu, gue suka sama lo, Dav..."

Aku ngerasa kepalaku seperti baru aja di hantam oleh meteor segede gaban!!

"Gue gak pernah punya perasaan kayak gini ke cowok lain. Tapi sama lo ---"

"Semua keputusan ada di tangan kamu, Davi.." Bintang ikutan bicara. Kulihat raut wajahnya yang tetap terlihat tenang dan santai.

"Bintang.."

"Kalaupun aku tidak bisa memilikimu, aku harap kita bisa tetap menjadi teman."

Aku benar-benar bingung. Aku merasa semua ini sangat aneh dan janggal. Kedua cowok yang kukenal sebagai teman-teman terbaikku, ternyata mereka mempunyai rasa yang sama kepadaku.

Fajar melepaskan tanganku. "Gue sadar diri kok Dav, dengan keadaan gue ini. Tapi satu hal yang harus lo tahu -- gue gak akan pernah berhenti untuk bisa dapetin hati lo.."

$$$$$$

WHEN MONEY TALKSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang