Om Rico membelikanku banyak sekali barang bermerk dan berharga mahal. Padahal statusnya saat ini itu, dia masih orang asing di kehidupanku.
Cara berbicara denganku. Menatapku. Ekspresi wajahnya. Kehangatan yang ia berikan untukku. Dan juga --- kenapa setiap orang -- maksudku para spb dan spg outlet-oulet yang kami kunjungi itu -- selalu mengatakan, kalau aku ini adalah anaknya Om Rico. Dan konyolnya mereka mengatakan kalau wajah kami berdua sekilas terlihat mirip.
Aku tidak lantas angkuh. Tapi aku malah minder dan rendah diri.
Aku gak tahu apakah yang mereka lontarkan itu, sebuah pujian atau sindiran halus.
Karena aku sendiri, merasa bahwa aku tidak tampan dan sempurna seperti Om Rico.
Hidungku pesek. Mataku besar. Wajahku aneh. Tubuhku sedang dan pendek. Daun telingaku juga lebar.
"Davi, menurutmu apa sweater ini cocok untuk kita berdua?"
Aku membelalak. Bagaimana mungkin, Om Rico bisa menemukan sweater kuning cerah dengan dua ukuran yang berbeda, dan juga tulisan yang berbeda pula.
Satu sweater berukuran XL -- yang artinya seukuran dengan tubuhnya Om Rico, bertuliskan, 'He's my Son'.
Dan satu lagi, sweater berukuran M -- yang artinya seukuran dengan tubuhku. Bertuliskan -- 'He's my Daddy'.
"Tapi -- kayaknya masih kebesaran, Om.."
"Gak masalah. Kan bisa disimpan." Om Rico memegang kepalaku. "Yang ini ya, mas.." Om Rico pun memberikan dua sweater itu ke SPB yang selalu mengiri kami selama berada di dalam outlet baju ini.
Aku berdiam di depan sebuah cermin besar. Kupandangi pantulan diriku yang sungguh aneh ini.
Lalu, Om Rico berdiri di belakangku. Kurasakan, dia amat menempel sekali dengan tubuhku. Kedua tangannya yang kokoh, meremas pundakku.
"Kalau kamu rajin berenang dan basket, Om yakin -- pasti nanti Om bisa kesusul tingginya.."
Selesai berkeliling membeli beberapa barang dan makan di mall yang sebelumnya belum pernah aku datangi ini, aku dan Om Rico memutuskan untuk pulang.
Aku gak tahu kalau jalan-jalan di dalam mall itu waktu yang berlalu beneran gak terasa. Begitu aku keluar, tiba-tiba langit udah gelap aja. Dan juga seluruh jalanan yang kulalui sudah basah seluruhnya.
Apa tadi habis hujan ya? Kok aku bisa sama sekali gak denger dan tahu ya...?
"Iya. Sepertinya Davi capek sekali. Kamu gak keberatan? Baik.." Om Rico menyerahkan hapenya padaku. "Mamahmu ingin bicara.."
"Iya.."
Aku gak tahu apa yang ingin mamah bicarakan padaku. Tapi aku memelotot ketika mamah mengatakan hal yang tak pernah kuduga itu.
"Kalau Davi tidak mau, Om tidak akan memaksa. Kita bisa pulang saja ke rumah mamahmu." Om Rico berbicara padaku.
"Ehmm --- kalau boleh.." Suaraku serak dan parau. Aku takut dan malu kalau sampai supir pribadinya Om Rico mendengar.
"Hmmm, baiklah. Kalau begitu, kita langsung ke apartemen aja, Pak."
"Baik, Pak Rico."
Sebenarnya aku agak ragu juga. Soalnya ini kan pertama kalinya aku nginep di rumah orang asing. Okelah, Om Rico dan mamah itu dulu satu sekolahan. Tapi kan -- bagiku, Om Rico itu tetap...
Hmmm..., kira-kira apartemen itu kayak apa ya? Pasti bagus kan ya? Kok aku jadi deg-degan dan gak sabar ya...!? Hhiihii...
Bintang mengirimiku sms. Menanyakan aku sedang apa. Kubalas aja, aku sedang jalan-jalan sama Om Rico. Dia itu baik di sms ataupun ketemu langsung, orangnya enak diajak ngobrol. Setiap apa aja yang aku dan dia bicarain, pasti akan nyambung.
![](https://img.wattpad.com/cover/182737323-288-k708803.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
WHEN MONEY TALKS
Teen FictionHai, namaku Davi. Dan ini adalah cerita keluargaku yang amat sangat rumit dan menyebalkan...!! Doakan, semoga aku tidak berfikir untuk 'bunuh diri' ya... [[Cerita gay paling absurd nih. Lagi males bikin cerita yang serius soalnya. Jadi ya harap makl...