Dua Puluh Dua

16 1 2
                                    

Happy Reading!!!

-PROMISE-

***

"Makasih ya Al" Kayla turun dari motor sambil melepas Helm.
"Sama sama Kay. Enak ya jadi gue"
"Kenapa?" Kayla mengerutkan dahinya.
"Kalau kebanyakan orang pacaran pasti mereka kalau libur ngeluh 'duh libur gabisa liat doi' tapi gue engga"
"Terserah Lo Alvaro!!!" Kayla tertawa sambil memukul bahu Alvaro pelan.
"Mau masuk?"
"Engga dulu deh ada Abang Lo. Tar aja kalo udah berangkat kuliah lagi, gue nginep sekalian"
"Alva!" Kayla mencubit pinggang Alvaro.
"Maaf Kay, Sorry, mianhae" Alvaro memelas.
"Hmm yaudah gue masuk ya"
"Eh tunggu Kay"
Kayla berbalik badan, Alvaro mencium dua jarinya dan di tempelkan di pipi Kayla.
"Karna gue yakin. Kalau gue ngelakuin langsung Lo bakal ngamuk."
Pipi Kayla bersemu merah. Ia tidak bisa berbicara apa apa, ia hanya tersenyum sambil masuk ke dalam rumahnya. Dan Alvaro menyalakan mesin motor dan pulang ke rumahnya.

***

Kayla masih belum bisa menghilangkan senyum di bibir nya itu, sampai senyumnya perlahan memudar. Saat ia melihat 'surat perceraian' di atas meja makan. Ia mengerutkan dahinya.

Maksudnya apa?
Siapa yang cerai?
Apa mungkin..

Kayla langsung bergegas menuju kamar Kakaknya, tetapi Arya tak ada. Ia lupa bahwa saat di bazar, Arya mengirimkan pesan melalui WhatsApp

"Kay, kayanya gue pulang agak maleman soalnya lagi ada acara kumpul kumpul sama temen temen SMA"

Kayla semakin bingung. Si bibi juga sudah pulang, apa maksudnya semua ini? Di dalam surat juga tertera nama kedua orang tua Kayla.
Rossa Austy dan Rico Purnama.

Kayla menangis sejadi jadinya, ia pergi ke kamar kedua orang tuanya namun tetap saja mereka tidak ada. Kayla putus asa, ia duduk di salah satu Anak tangga yang ada di rumahnya, sambil memandangi surat itu, Kayla meneteskan Air matanya yang terus mengalir di pipinya yang sangat lembut itu.

Ia mulai menangis lagi tangisnya semakin pecah sampai ia tersedu-sedu. Sampai pada akhirnya terbuka lah pintu ruang tamu, Kayla langsung berlari ke arah Arya.

"Kak Aryaaa" Kayla yang berlari sambil menangis.
"Kenapa Kay?"
Tak ada jawaban, Kayla masih menangis.
Arya langsung berfikir, tadi berangkat sama Alvaro, ga kenapa kenapa terus pulang sama Alvaro dan nangis.
"Alvaro apain Lo Kay" Arya yang ikut sedih karena adiknya menangis, ia membelai halus rambut Kayla.
"Bukan kak.. bukan hiks hiks"
"Terus apa dong, yaudah duduk dulu. Sekalian gue ambilin minum"
Kayla menurut, ia duduk. Tak lama Arya datang.

"Kenapa? Coba cerita satu satu dari awal dengan detail" Kata Arya sambil menyodorkan air putih.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Kayla memberikan surat itu. Arya mengerenyitkan dahinya. Ia perlahan membuka isi surat itu, membacanya. Dan mencoba tenang.

Sejujurnya, hatinya rusak. Hancur. Rapuh. Tapi sebisa mungkin ia tetap tegar dan kuat di depan adiknya ini, ia tak boleh menangis walaupun sejujurnya hatinya ingin menangis.

Arya langsung memeluk adiknya dengan sangat pelan pelan, mengelus rambut Kayla dan mencium kepala Kayla. Ia sangat sedih, Kayla kamu harus kuat.

"Kak gue hiks hiks, sedih hiks kak kok harus kaya gini" Kayla yang masih menangis sambil memejamkan matanya.
"Sutt.. sutt jangan dulu ngomong. Udah nangis dulu aja sampe puas. Puas puasin janji sama gue hari ini hari terakhir Lo nangis. Besok jangan nangis lagi ya?" Arya menatap dalam gadis kecil itu dan kembali mendekapnya erat.
Kayla tidak menjawab ia menuruti kakaknya dengan menangis terus menerus seharian itu.

15 menit berlalu, Kayla mulai kelelahan.

"Laper" Kayla menatap matanya Arya.
"Iyaa, mau apa?" Tanya Arya dengan lembut.
"Mau.. pecel lele yang waktu itu gue makan sama Alvaro"
Arya bergegas mengambil jaket dan kunci motor.
"Kita naik motor aja ya? Lo gapapa kan?" Arya memastikan.
"Gapapa kak" jawab Kayla sambil mengenakan helmnya.

Di perjalanan, keduanya bungkam. Malam yang masih ramai dengan gemerlap lampu lampu jalan, ramainya aktifitas orang orang sehingga kita kota ini terlihat tidak pernah sepi.

Sesampainya di tempat tujuan, raut wajah Kayla makin saja kusut. Dengan perasaan yang sedang tidak baik ia menundukkan kepala. Terpaksa menerima kenyataan karna Tempat pecel lele tersebut tutup.

"Its ok, kita cari tempat makan lain ya?" Arya mencoba menghibur Kayla.
Kayla tidak menjawab ia hanya mengangguk.

Di motor, Kayla berpegangan erat pada tubuh Arya. Kayla yang menyederkan kepalanya di punggung Arya yang terasa hangat, nyaman dan menenangkan.

Sampai akhirnya mereka berhenti di tukang sate yang letaknya tak terlalu jauh dari rumah mereka. Mereka duduk di kursi lalu memesan sate.

"Kak maksud nya apa sih?"  Tanya Kayla sambil membuka bungkus kerupuk.
"Apanya Kay?" Arya yang mengerenyitkan alisnya karena bingung.
"Itu mama sama papa. Serius mereka mau pisah?" "Trus kalo gitu gue bener bener sendiri dong. Kan nanti kalau Arya berangkat lagi ke London".
Arya terdiam. Ia bingung harus jawab apa.
"Kay" Arya mendekat dan mengelus rambut Kayla pelan.  "Kamu sekolah dulu aja. Ngga usah mikirin orang tua kita--"
"Ya kak gabisa gitu dong:("
"Gue paham kok Kay, cuma kalau berlarut larut di fikirim yang ada Sekolah Lo nanti berantakan" saran Arya dengan nada suara yang sangat tulus. Kayla tak berkutik, ia hanya diam dan memakan satu persatu tusuk satenya.

"Cuci kaki dlu dek" kata Arya yang melihat adiknya langsung masuk ke kamar. Kayla tidak menghiraukan, ia langsung masuk kamar dan tertidur.
Arya menghela nafasnya berat, ia mengambil segelas air putih, duduk di kursi meja makan dan memijat keningnya pelan.
Pukul 23:03, dini hari. Arya merasa tak tenang ada firasat aneh dan itu sangat mengganggunya sehingga ia tidak bisa tidur. Ia berjalan ke arah kamar Kayla, perlahan mulai mengetuk pintu kamar Kayla.
Ia mendengar ada suara tangisan di kamar adiknya itu. Ia ketuk perlahan pintunya.
"Dek.. gue masuk ya?" Tanya Arya lembut sambil membuka knop pintu. Ternyata tak di kunci. Tetap tak ada jawaban, hanya ada suara tangisan.
"Dek.."

PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang