Chapter 31

480 13 0
                                    

Ada yang nungguin? :v buat yang nungguin maaf banget atas keterlambatan updatenya.

***
Chapter 31

Untuk apa kamu mencarinya? Bukankah kemarin sepertinya kamu sudah tidak memperdulikannya?

***

Hari ini Friska tidak masuk sekolah, dia terkena demam akibat bermain hujan kemarin. Friska berterima kasih pada hujan yang telah membuatnya seperti ini, setidaknya dia bisa untuk menghindar dari Erlan untuk sehari saja.

Selesai melaksanakan shalat subuh, Friska hanya bermalas-malasan diatas kasur. Dalam hati dia berniat untuk melupakan Erlan untuk hari ini saja, tapi semakin Friska berusaha melupakan Erlan justru Erlan selalu hadir di pikirannya, memenuhi semua ruang pikiran Friska tanpa memberi Friska sedikit pun celah untuk memikirkan hal yang lain. Friska mendengkus sebal, dia membenci Erlan yang menurutnya sekarang telah banyak berubah sejak mengenal gadis itu.

Kemarin Erlan mengatakan dia akan ke rumah Friska untuk meminta maaf secara langsung, tapi nyatanya tidak. Kalimat yang Erlan katakan hanyalah sebuah kalimat penenang tanpa sebuah bukti yang pasti.

Ucapan selamat pagi yang biasanya pagi-pagi sekali sudah muncul di layar ponsel Friska pun kini sudah tidak ada lagi. Erlan tidak mengirimkan pesan apapun padanya. Apa mungkin Erlan melupakannya?

Tidak. Friska tidak memblokir kontak Erlan sehingga pesan dari Erlan tidak menghampiri layar ponselnya. Kemarin sebelum tidur Friska sudah membuka blokiran pada kontak Erlan dan berharap saat terbangun nanti banyak sekali pesan sekaligus panggilan tidak terjawab dari Erlan. Namun, lagi-lagi ekspetasi memang tidak seindah realita.

Friska melemparkan ponselnya di atas tempat tidur. Sekarang harapannya tinggal satu, Erlan akan datang menjemputnya atau tidak. Friska berharap Erlan akan datang kemari untuk menjemputnya seperti biasa untuk pergi ke sekolah bersama, meski nanti Friska tidak akan menemui Erlan dan mengatakan pada Bundanya bahwa dia tidak akan berangkat ke sekolah hari ini karena demam, setidaknya jika Erlan datang kemari Friska merasa bahwa dirinya masih penting di hati Erlan.

Tok...,

Tok...,

Tok....

Pintu kamar Friska terketuk untuk beberapa kali, dia yakin sekali itu Bundanya dan Bundanya pasti akan berkata bahwa Erlan sudah menunggunya di bawah.

"Masuk aja, Bun!" teriak Friska sambil menarik selimut agar menutupi sebagian tubuhnya.

"Friska, kamu kok jam segini masih belum siap-siap?" tanya Rista.

"Badan Friska lagi nggak enak, Bun. Erlan udah nunggu di bawah ya?"

Rista berjalan mendekat ke arah Friska, tangannya menyentuh dahi Friska. Panas.

"Yaudah kamu istirahat aja, ya, biar nanti Bunda yang nelepon Andra buat minta izin ke wali kelas kamu," ucap Rista penuh perhatian, dia kemudian berjalan keluar kamar Friska.

"Erlan gimana, Bun?"

Rista menoleh ke arah Friska. "Erlan belum ke sini, Fris," ucap Rista kemudian dia meninggalkan kamar Friska dan menutup kembali pintu kamar Friska.

Terkadang ekspetasi memang tidak seindah kenyataan. Dan rasa kecewa adalah hasil dari ekspetasi yang terlalu tinggi.

Friska melirik jam yang ada di mejanya, dia tersenyum meremehkan. Terlalu percaya diri bahwa Erlan masih menganggapnya. Seharusnya Friska sadar, bahwa dirinya sudah tidak penting untuk Erlan, posisinya telah tergantikan. Bahkan jika dibandingkan dengan Rena, sepertinya Rena lebih cocok bersanding dengan Erlan. Rena yang berpenampilan elegant sangat cocok jika dipadukan dengan Erlan yang cool dan selalu berpenampilan rapi. Berbeda dengan Friska yang selalu berpenampilan sederhana dan apa adanya. Jika bersama dengan Erlan, Friska selalu merasa bahwa dirinya sangat kecil dan sama sekali tidak ada sisi yang menarik pada dirinya.

Terdalam [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang