Chapter 10

684 31 0
                                    

Sebelumnya aku mau minta maaf karena telat update. Bukan apa-apa, hanya saja beberapa hari ini lagi sibuk banget sama urusan sekolah dan sebagainya jadi gak bisa update.

Aku tahu kalian pasti nunggu dan mungkin ada beberapa dari kalian yang kecewa. Intinya aku minta maaf banget:) semoga kalian mau mengerti:)

Budayakan vote sebelum membaca dan komentar sesudah membaca:)

***

Chapter 10

Jangan nangis, gue gak bisa lihat lo sedih kayak gini. Yang gue mau lo selalu tersenyum.

***

Sudah sebulan lebih Friska memakai seragam putih abu-abu dan selama itu juga dia tidak bertemu dengan Erlan. Ralat, bukan tidak bertemu, melainkan Friska yang selalu menghindar dari cowok resek yang sering memenuhi ruang pikirannya belakangan ini.

Bayangan Erlan saat tersenyum manis padanya selalu teringat di pikiran Friska, tanpa sadar Friska pun tersenyum saat memikirkan Erlan.

Entahlah, Friska tidak tahu perasaan apa yang ada di hatinya. Yang jelas dia tidak bisa menyimpulkan perasaannya sebagai rasa yang lebih dari teman. Dia tidak mungkin mencintai Erlan. Lantas, harus Friska simpulkan sebagai perasaan apa ini? Ah, Friska benar-benar sangat bingung saat ini. Friska tidak pernah merasakan ini sebelumnya.

Jika benar itu adalah rasa cinta, sebisa mungkin Friska akan membunuh rasa itu. Dia tidak boleh mencintai seseorang yang sudah memiliki pasangan. Apalagi sampai menghancurkan hubungan sepasang kekasih yang tengah berbahagia. Percayailah, merusak kebahagiaan orang lain untuk bahagiamu sendiri itu sungguh sangat menjijikan.

Seperti biasanya, Friska berangkat ke sekolah bersama dengan Andra. Mereka berjalan beriringan menuju kelas, bahkan Andra menggandeng tangan Friska. Menggenggamnya dengan erat. Friska sama sekali tidak keberatan perihal Andra yang selalu menggenggam tangannya, bagi Friska itu hal yang wajar yang dilakukan oleh seorang Kakak kepada Adiknya. Anggap saja Andra sedang ingin melindungi Friska agar tidak terjatuh atau agar tidak ada yang menculiknya. Ya, Friska memang menganggap Andra sebagai sahabat sekaligus Kakaknya.

Tapi, apakah Andra beranggapan yang sama dengan Friska? Bagaimana jika ternyata Andra memiliki perasaan yang lebih dari itu?

Suasana kelas masih terlihat sepi karena waktu yang bisa dibilang masih cukup pagi. Hanya ada beberapa teman sekelas mereka yang sedang membaca buku atau sekedar bermain ponsel, mereka bisa dibilang siswa-siswi yang rajin karena mau datang sepagi ini ke sekolah.

Sudah sebulan lebih ini, Friska memang sengaja menyuruh Andra untuk menjemputnya lebih awal, berangkat ke sekolah lebih pagi, karena dia tidak mau bertemu dengan Erlan apalagi jika sampai bertatap wajah dengannya.

Friska menaruh tas di mejanya dan dijadikannya tas itu sebagai bantal. Dia terdiam tanpa suara sedikit pun. Andra yang melihat Friska seperti itu, dia duduk di sebelah tempat duduk Friska dan menatapnya lekat-lekat.

"Lo kenapa, sih? Belakangan ini lo tuh aneh tahu, nggak? Minta berangkat lebih awallah, gak mau ke kantin, bahkan lo selalu minta pulang saat sekolah udah sepi," omelan Andra terdengar membuat mood Friska semakin kacau.

"Diem, deh!" jawab Friska datar.

Andra mengedikkan bahunya. Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam masih menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit. Masih ada banyak waktu untuk mengisi perut, sejak Friska memintanya untuk selalu menjemput lebih pagi, Andra memang sering sekali tidak sarapan, mau tidak mau dia harus membawa uang lebih untuk sarapan di kantin.

Terdalam [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang