21. Hilangnya Kebanggaan

2.5K 471 24
                                    

Bismillahirrahmanirrahiim...

Khansa's Pov

Setiap orang pernah terjatuh pada sisi terendah dalam hidupnya. Entah apapun permasalahannya, ada suatu waktu dimana seseorang benar-benar merasa buntu, terjatuh, tenggelam dan kehilangan daya bahkan untuk sekedar merangkak kembali ke atas puncak.

Aku pun mengalaminya.
Meski tak kuduga titik terendah hidupku adalah sekarang. Ketika segalanya terasa tak lagi sudi berdampingan denganku. Saat semuanya menjauh, mungkin karena terlalu malu.

Tidak...
Bukan menjauh.
Aku yang justru memberi jarak lebih dulu dengan mengubah sudut pandang dan target utamaku. Saat itu pula aku mulai tak mengindahkan peringatan Tuhanku yang berusaha merangkulku, mendamaikan hatiku, namun tak kuacuhkan dan memilih makhluk-Nya yang menjadi sumber bahagiaku.

Dari sana, kekacauan mulai memporak-porandakan segalanya.
Saat tak lagi bisa kubedakan mana musuh mana keluarga, mana cinta dan mana fitnah.
Inginku bahagia namun yang kujalani ternyata mengundang murka.
Bahkan hafalan quranku pun seolah lenyap tanpa tersisa.

Dan inilah puncaknya.
Ketika kukira selangkah lagi impianki akan terwujud sempurna. Ternyata Tuhan tak merestui begitu saja. Dia membongkarnya disaat aku benar-benar merasa bahwa kemenangan melawan takdir telah berada di tanganku sepenuhnya.

Ummi yang menemukannya. Masa laluku yang akupun dibuat bergidik ngeri jika kuingat lagi.
Darimana kuperoleh keberanian yang mendukungku melakukan hal itu?
Bahkan menyalahkan syaitanpun rasanya aku malu. Sebab saat itu, mungkin memang aku yang menjelma makhluk terlaknat itu.

Aku tersungkur sejatuh-jatuhnya, tepat seusai Ummi menggedor pintu kamarku. Disana kutangkap sorot mata Ummi penuh kecewa berurai airmata.

Bisa-bisanya aku mempermalukan mereka, katanya sembari menjulurkan ponselku yang sedang disita itu dalam kondisi menyala. Saat itu aku paham, Ummi telah tahu semuanya.
Kuraih tangannya, kuciumi berulang-ulang. Air matanya yang semakin tak terkendali setetes demi setetes membasahi puncak kepalaku.
Kudekap kedua kakinya, disana aku memohon maaf atas kekhilafanku yang fatal.

Ummi menangis semakin deras sembari mengeluarkan semua isi hatinya yang tak lagi dapat kudengar seluruhnya. Kedua telingaku mendenging, mengepul akibat aliran darahku yang sepertinya berkumpul menjadi didihan suhu tinggi di kepalaku.
Ku akui kesalahanku, dan kujelaskan bahwa semua itu hanya masa lalu seraya kujanjikan aku takkan kembali melakukan itu. Meski ku tahu, akan sulit bagi mereka untuk serta merta memaafkanku dan menghapus ingatan tentang skandal itu.

Yang paling menyakitkan adalah, Abati yang bersikap tenang seolah tak ada apa-apa, meski seisi rumah tahu dialah yang paling terluka atas hal ini.
Ummi bilang padaku, semalaman Abati hanya berdoa tanpa tidur ataupun bicara. Beliau memanjangkan shalatnya dengan permohonan ampun yang terdengar jelas dari bibirnya.
Abati...
Lagi-lagi menyangka, musibah ini adalah akibat dari dosanya.
Padahal Ummi katakan padaku sebesar apa Abati membanggakan seorang putri kecil yang pertama kali mengubahnya menjadi seorang ayah. Yang ia timang sejak kecilnya, ia rawat dan sanjung-sanjungkan hingga dewasa, ia asuh dengan didikan sempurna. Ternyata putri kebanggannya itulah yang menghancurkan hatinya lebih besar dari yang lainnya.

Abati masih sama.
Beliau tersenyum, bercengkrama pada siapapun kecuali aku yang sengaja dihindarinya.
Aku menjadi asing di rumahku sendiri.
Air mataku merebak tak berkesudahan tatkala terang-terangan Abati tak merespon satupun dari ucapanku tetapi merespon orang lain.
Itu sangat menyiksa.
Abati menolak apapun jika aku yang membuatnya. Bahkan tanpa merasa iba, berkali-kali Abati menolak saat kucoba mendapatkan maafnya.
Sia-sia.

Adik-adikku pun mulai tak tega. Tapi mereka pun tak bisa apa-apa. Bahkan Khaula berulang kali menangis meminta maaf sambil memelukku erat. Sebab katanya, andai saja dja bisa menjaga bibirnya saat itu mungkin takkan sekacau ini kami sekarang.
Dan diantara kemelut yang tak ada ujungnya ini, kami semua tahu, Abati yang paling menyesali diri. Abati, tetaplah seorang ayah yang memegang tanggung jawab atas kesalahan sang putri. Maka, selain menghukumku dengan mendiamkanku setiap hari, menutup aksesku keluar masuk rumah sesuka hati, Abati pun menghumum dirinya sendiri dengan berpuasa lebih sering dari yang biasa ia jalani. Dan terhadap tugaanya sebagai da'i, Abati memutuskan untuk berhenti.

"Abati berkoar-koar mendakwahkan, tapi anak abati sendiri yang melanggar. Apa yang nanti Abati bisa bilang di hadapan Tuhan?"

Hanya itu, hal pertama yang diucapkan Abati seusai Ummi memperlihatkan pesan berbalasku dengan Kak Farhan. Kalimat pertama dan terakhir yang diucapkan Abati sebelum akhirnya mengunci rapat bibirnya atasku hingga kini, setelah berhari-hari kemudian.

Bagaimana aku menjelaskan rasanya?
Jika ku uraikan satu persatu, bisakah seseorang menerka sesakit apa aku seolah terkatung-katung dalam rumah yang kuanggap surga?

Saat Abati merasa tidak enak badan, pusing di kepalanya tak tahan untuk tidak ia keluhkan. Abati meminta Kahfi untuk mengukur tekanan darahnya menggunakan tensimeter. Padahal seisi rumah tahu, hanya aku yang bisa mengoperasikan alat itu. Kahfi kebingungan, tapi Abati tetap memaksa tanpa sedikitpun berniat untuk menurunkan perintah agar aku saja yang mengeceknya. Dan akhirnya, Abati minta diantar ke dokter saja.
Sebuah fenomena langka, karena seorang Abati tidak pernah mau diajak berobat ke dokter meski dipaksa.
Marahnya padaku bahkan membuatnya bersedia ke dokter!
Lalu benar, Abati memang sedang tidak baik-baik saja. Tekanan darahnya melonjak hingga 200/110 yang disinyalir dari beban pikiran yang terlalu besar dibawanya.

Aku merasa teramat durhaka.
Sempat terbersit rasa ingin mengakhiri hidupku saja, namun itu lebih menakutkan jika hidupku berakhir dengan masih dalam kemurkaan. Bisa dipastikan aku akan menjadi penghuni neraka paling dasar.
Na'udzu billah..

Perlahan aku mulai merasakan sesuatu merambat di lubuk terdalam hatiku, sesuatu yang mulai membuka pikiranku seusai tangisku meluruh, menghiba pada Tuhanku agar terbuka hati Abati mencurahkan keridhoannya lagi.
Entah mengapa serta merta aku terdorong untuk memelas, merayu dengan serangkaian lafazh taubat. Memohon ampunan sebesar-besarnya, atas segala sikapku yang terlalu angkuh menantang-Nya.
Bertaubat merendahkan diri, sembari belajar berdamai pada segala ketetapan dari Ilahi.

Andai mungkin kesalahanku ini akan takkan pernah terlupakan hingga ku mati, dan membuat Abati selamanya takkan percaya padaku dan takkan membanggakan diriku lagi.
Setidaknya aku yakin akan janji-Nya dalam hadits qudsi, bahwa setiap dosa akan terampuni jika disertai taubat dengan kesungguhan hati.

Dari Anas Radhiallahuanhu dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Allah Ta’ala berfirman: “Wahai anak Adam, sesungguhnya Engkau berdoa kepada-Ku dan memohon kepada-Ku, maka akan aku ampuni engkau, Aku tidak peduli (berapapun banyaknya dan besarnya dosamu). Wahai anak Adam seandainya dosa-dosamu (sebanyak) awan di langit kemudian engkau minta ampun kepada-Ku niscaya akan Aku ampuni engkau. Wahai anak Adam sesungguhnya jika engkau datang kepadaku dengan kesalahan sepenuh bumi kemudian engkau menemuiku dengan tidak menyekutukan Aku sedikitpun maka akan Aku temui engkau dengan sepenuh itu pula ampunan “

(Riwayat Tirmidzi dan dia berkata : haditsnya hasan shahih).

•••••

To be continued

Yaa Abati [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang