Epilog

5.8K 619 295
                                    

Bismillahirrahmanirrahiim...

Andai bisa memilih,
Aku tetap memilih orang tua seperti mereka.
Meski segalanya penuh dengan aturan.
Setidaknya aku tahu,
Iman memang tak dapat diwariskan
Tapi doa selalu menyelamatkan.
Doa mustajab dalam lirih merintih mereka di sepertiga malam
Yang menggiringku kembali ke jalan yang benar setiap kali hampir ku tenggelam dalam kelam.

Sebab tak ada yang lebih indah dari ketetapan Tuhan
Maka aku mencoba berdamai pada segala yang telah ditetapkan jauh sebelum aku dilahirkan.
Dan nyatanya, tak ada apapun yang kuperoleh dari perlawanan selain rasa sakit yang tak berkesudahan.

Kehamilanku yang memasuki trimester ketiga pun, ternyata berperan penting dalam pemulihan jiwaku yang semula gersang.
Bacaan alquran yang kukhatamkan tiga kali setiap bulan berhasil mengembalikan kepingan-kepingan hapalan quranku yang dulu sempat hilang.

Allahu Akbar.
Maha besar Allah dengan segenap pengaturan yang disempurnakan.

Sembilan bulan sejak Abati dinyatakan hilang dan benar-benar tak bisa ditemukan dengan cara apapun yang telah kami lakukan, kami mulai terbiasa dengan kehilangan hingga mampu kembali bangkit meski pada awalnya isak tangis terus menerus menjadi teman.

Ujian ini berat, kami mengakuinya. Tapi kepergian Abati membuat kami--aku khususnya, semakin baik dalam sangkaan kepada Allah.
Abatiku, bahkan dengan kepergiannya menghadirkan pelajaran besar dan kesadaran kepada kami putra-putrinya. Bahwa mudah saja, segalanya diputar balikkan sesuai kehendak-Nya. Dan manusia memang benar hanyalah sebutir debu yang seringkali angkuh merasa lebih hebat dari segalanya.

Kami bertahan dalam ikhtiar melanjutkan perjuangan. Menjalankan tugas-tugas baru kami yang awalnya terasa asing.
Ammu Hasan menggantikan Abati memimpin pesantren. Kahfi pun terjun seutuhnya menjadi dewan pembina sekaligus menjadi pengganti Abati berkeliling memenuhi undangan ceramah. Meski memang butuh waktu, syukurlah masyarakat bisa menerimanya seperti saat dulu Abati masih ada.
Dan yang paling aku syukuri adalah suamiku. Bang Odi yang juga memutuskan untuk terlibat dalam dakwah pesantren, ketika ia resmi menjadi pemimpin di perusahaannya dan bisa bebas bekerja dari mana saja dengan ponsel dan laptopnya karena perusahaan kini berada dibawah kendalinya.

Dan kini, sisa menghitung hari untuk segera bertemu dengan sepasang bayi kembar yang sedang menendang-nendang perutku dari dalam. Indah sekali rasanya, semakin indah karena kehadirannya menambah cintaku pada ayah mereka.

Catatan besar yang aku garis bawahi dari perjalanan ini adalah, bagaimana aku akan menjadi orang tua nanti. Seperti apa aku akan mendidik anak-anakku nanti. Jika aku mengharapkan anak-anak shalih yang menyelamatkan, maka sejak sekarang aku sudah harus mempersiapkan.

---(Khansa Nabila)

******

Gue pernah salah.
Gue pernah hilang arah.
Tapi Abati bilang gak papa. Asal aku mau nanggung akibatnya.

Iya emang bener. Manusia itu suka sok jagoan.
Sok kuat bakalan bisa nahan sakitnya azab Allah. Padahal waktu jadwal vaksin di sekolah aja masih nangis jejeritan.

Jadi, kalo gak kuat sama azab Allah nanti mending berhenti deh ngerjain hal-hal yang Allah gak ridhoi.
Kalo misalkan udah terlanjur dilakuin?
Ya taubat dong..

Allah Maha Pengampun, asal lo bener-bener janji gak bakal dosa lagi.

Gue setuju banget sama statement Abati dulu yang kaya gini, "Rosulullah gak bilang jangan jatuh. Tapi beliau bilang, orang beriman itu gak jatuh ke lubang yang sama dua kali."

Yaa Abati [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang