19. Gemuruh rasa

2.7K 480 139
                                    

Bismillahirrahmanirrahiim..

Author's Pov

Badai menyambar-nyambar, kilatan petir menggelepar dalam dada Abati sedetik setelah mendengar uraian polisi tadi.

Oh Nabi dituntut atas penipuan sejumlah uang yang cukup membuat mata terbelalak.

Benar. Itu Oh Nabi, Abati tahu sekali nama itu milik siapa. Milik putrinya, Khaula Nabiha.

Andai demi menyelamatkan ego dan rasa malunya, Abati tentu akan berbohong saja dan membiarkan dua polisi tadi pergi tanpa membawa apa-apa. Bukankah seperti itu biasanya seorang ayah melindungi putrinya? Menutupi kesalahannya atau justru rela menanggungnya.

Sayangnya, Abati bukan ayah biasa. Abati adalah ayah yang tahu hukumnya dan paham syariatnya.
Andai hanya maksiat saja, taubat pada Allah dengan sungguh-sungguh bisa menghapus dosanya. Itupun jika Allah mengampuninya. Namun kasus ini juga menyangkut sesama manusia yang akan menyulitkan di pengadilan Maha Besar kelak di akhirat jika tak diselesaikan di dunia.

Ini kriminal, pelakunya akan mendapat hukuman seberat-beratnya.

Membayangkan itu, Abati rasanya ingin bumi menelannya saja.

Tapi lagi-lagi Abati bukan ayah biasa.

Dia seseorang yang dibebankan amanah syiar di pundaknya.

Seperti Nabi Ibrahim yang diperintahkan meninggalkan anak istrinya di padang pasir tanpa sanak keluarga ataupun perbekalan yang dibawa serta, lalu setelah bertahun lamanya, saat pertemuan yang baru sebentar saja, diperintah pula agar menyembelih putranya.
Nabi ibrahim menyanggupi tanpa tapi, bahkan putranya pun dengan serta merta merelakan diri. 

Lalu apakah Abati harus menyerah bahkan jika seorang kekasih Allah pun ujiannya penuh derita?

"Oh Nabi anak saya, Pak. Putri saya yang bungsu. Nama aslinya Khaula Nabiha.. Maaf atas ketidak nyamanannya. Saya izin panggil dia dulu"

Bahkan pak polisi pun kehilangan kata-kata ketika dengan besar hati ustaz Fuad menyerahkan putrinya tanpa perlawanan.
Saat ia mulai melangkah hendak memasuki pintu rumahnya, polisi yang malah menjadi tak tega, meminta maaf lalu menyarankan agar investigasi dilangsungkan di rumah saja. Mungkin hanya kesalah pahaman atau tuduhan tak berdasar semata.

*****

Khansa's pov

Aku merebahkan tubuh di kamar seusai shalat zhuhur yang kutunaikan disela-sela kesibukan hari tasyrik yang penuh dengan daging-daging sembelihan.
Dapur umum pesantren yang selalu beralih fungsi sebagai tempat pembagian daging kurban setiap idul adha dipenuhi ibu-ibu jamaah dan guru yang turut membantu memotong dan mengiris daging setelah disembelih dan dikuliti oleh bapak-bapak di lapangan bagian luar dapur.
Aku, Khaula, Ummi dan Natasha bergabung disana, lebih sibuk karena harus menyediakan makan siang untuk semua yang ada.

Belum lama aku merebahkan diri, ummi datang menghampiri.

"Sudah shalat, Kak?"

"Udah, Mi, tapi istirahat dulu sebentar hehe"

"Bang Odi gak pernah telepon?"

Yaa Abati [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang