Bismillahirrahirrahmanirrahiim...
••••••
Author's pov
"Tidak ada dosa besar jika dihapus dengan istighfar, dan tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus" - HR. Dailami, Nashaihul Ibad
Dulu, Khaula tidak sama seperti Khansa yang tidak terlalu mengambil pusing ucapan orang-orang tentang dirinya.
Khaula selalu terbawa perasaan jika mendengar orang lain berkomentar buruk tentangnya.
Khaula memang tidak sama, tapi dia tidak suka dibanding-bandingkan dengan Khansa yang pintar dan Kahfi yang penurut.Bagaimana cara Khaula berekspresi dengan jiwa khas anak-anak yang sedang akan bertransformasi menjadi remaja memang sering menimbulkan keributan. Beberapa orang mungkin terganggu dengan hal itu, beberapa orang menganggap sifat Khaula tidak wajar sebagai seorang anak ustadz. Dan sisanya, orang-orang yang menyebut dirinya teman Khaula, terlihat mendukung dan senang bermain bersamanya namun ternyata mereka hanya berlindung dibawah nama Khaula yang adalah putri pimpinan pondok mereka. Hukuman tidak berlaku untuknya, dan jika dihukum pun pastinya tidak mendapatkan hukuman yang berat.
Khaula sering mengadukan hal itu pada kakaknya. Tapi Khansa tertawa saja.
"Selamat datang di kehidupan liar" begitu kata Khansa suatu hari. Seolah Khansa sudah tahu sekali kesedihan Khaula itu. Karena memang begitu, Khansa mengerti, karena Khansa pun mengalami tapi dia mampu mengatasi.
Tidak puas dengan jawaban Khansa, Khaula beranjak ke umminya. Jawabannya pun sama, "Sabarin aja. Orang-orang itu transfer pahala ke adek, masa dikasih pahala malah sedih..." terang ummi dengan senyum lembutnya.
"Kenapa semua orang tidak mengerti?" pekiknya dalam hati.
"Kenapa anak ustadz harus jaga sikap? Kenapa rasanya susah sekali ngapa-ngapain sesuai maunya Khaula? Kenapa sih orang selalu ngatain, anak ustadz kok begitu? Emangnya anak ustadz harus baik terus?"
Ditengah kegundahan hatinya, selalu ada abati yang meredakannya dengan sabar.
"Bukan cuma anak ustadz yang harus baik, dong. Semua manusia juga." jawab abati."Tapi, kenapa kalau anak ustadz bikin salah kayanya jadi dosa banget, Ba? Kalau orang lain malah gak apa-apa. Emangnya kita gak boleh salah gitu? Emang kita harus baik terus? Kita kan bukan malaikat..." cerocos Khaula tanpa henti.
Abati menyela, "Khaula, coba Aba tanya..." Khaula tiba-tiba mengarahkan fokus matanya pada wajah abati.
"Khaula sholehah karena Allah atau karena Khaula itu anaknya abati?"Pertanyaan abati itu tentu sanggup dijawab Khaula tanpa perlu berpikir, "Ya karena Allah, Ba."
"Ya sudah kalau begitu..." belum selesai abati menerangkan, Khaula lebih dulu melanjutkan, "tapi.... Karena Khaula anak Abati, cucunya Jaddi, terus juga cucunya Puang Nenek, jadi Khaula harus baik. Harus solehah biar gak bikin malu." lanjut Khaula pelan-pelan membuat abati tertawa sejenak.
"Bukan begitu, Sayang. Kalau Khaula baik karena ingin dianggap baik, karena keluarganya baik... Berarti baiknya Khaula itu tandanya belum karena Allah.
Itu masih baik karena manusia, yang baiknya di depan orang, biar dinilai baik. Kalau sendirian, berubah lagi.
Nah, kalau baik karena Allah, ada atau tidak ada yang lihat tetap beramal shalih karena tau Allah selalu menyaksikan.
Itu secara umum."
KAMU SEDANG MEMBACA
Yaa Abati [SELESAI]
EspiritualTidak ada yang bisa memilih untuk dilahirkan menjadi apa dan menjadi bagian dari keluarga seperti apa. Hal itu sepenuhnya merupakan goresan tangan Tuhan. Mungkin memang benar... Tertakdir lahir sebagai anak ustad, adalah suatu keberuntungan sebab...