10

3.2K 269 10
                                    

"DUIT LO MANA LAGI, BANGSAT?!"

Bintang berteriak sambil menjenggut rambut Fajar. Wajahnya dan matanya memerah. Dari mulutnya pun tercium aroma alkohol yang begitu kuat.

"Gak adalagi, Bin. Sumpah. Ini aja hasil kerjaku selama sebulan.."

"TAIK LO!! LO TAKUT GUE GAK GANTI, HUH?!! LO INGET GAK SIAPA YANG UDAH NOLONG DAN BANTU LO SELAMA INI?!"

Jduutt...!! Gdbukk..!!

Bintang membenturkan kepala Fajar ke lemari. Lalu ke lantai. Lalu dia menendangnya beberapa kali.

"GUE GAK MAU TAU! POKOKNYA SORE INI LO HARUS BAWA DUIT BUAT GUE!!"

"Aku harus pinjem kemana lagi, Bintang? Kakek dan nenekmu saja sudah tidak percaya denganku."

"PUNYA OTAK TUH DIPAKE, GOBLOK!!" Bintang menendang kepala Fajar. "LO KAN BISA PINJEM KE SI DAVI! ATAUU, LO KAN BISA PINJEM KE PASANGAN HOMO LAKNAT ITU!"

"Aku gak mau, Bin! Aku..."

Jduutt...!!

Bintang membenturkan kepala Fajar ke lantai.  "Lo kan bisa jual diri, huh. Lo tinggal sms para gay laknat kenalan lo itu -- terus lo puasin deh kontol mereka sama lobang lo itu!"

"Tapi, Bin..."

"HALAHHH...!! POKOKNYA SORE INI GUE MINTA DUIT SEPULUH JUTA!! KALO SAMPE GAK ADA, TERPAKSA LO YANG HARUS GUE JUAL..!"

BRAKK...!!

Fajar duduk seorang diri di dalam kamar kosannya. Ia menangis dan menyalahkan Tuhan atas takdirnya ini. Ia merasa semua beban ini terlampau berat, dan ia sudah tidak sanggup untuk menahannya lagi.

Uang hasil kerjanya selama berbulan-bulan di cafe, sudah raib. Begitu juga uang tabungan peninggalan dari almarhum bapaknya, dan juga uang santunan yang ia terima dulu. Bahkan uang tabungan yang diberikan oleh kakeknya Bintang, dan juga motor, dan juga emas seberat 25gr pemberian neneknya Bintang, semuanya sudah raib diambil sama Bintang.

Uang hasil dia menjual diri demi membayar hutang ke Davi pun, sudah diambil Bintang semalam. Tanpa sepengetahuan dirinya.

"Sorry -- lo Fajar kan?"

Fajar menegakkan kepalanya. Ia kaget setengah mati saat melihat sosok yang kini tengah berdiri di depan pintu kamar kosannya.

Dia buru-buru mengusap wajahnya, dan merapihkan penampilannya.

"Edwin?"

Tanpa ada yang mempersilahkan, Edwin melangkah masuk ke dalam kamar Fajar. Dia agak kaget melihat kamar Fajar yang porak poranda itu.

"Tadi gue abis cari barang. Kayaknya keselip." Tukas Fajar.

Edwin menujuk pada bibir Fajar. "Itu lo, kenapa?"

"Gapapa. Tadi -- gue -- kebentur meja."

"Wait..!"

Edwin berlari menuju kamarnya. Dan ia kembali dengan membawa kotak P3K. Dia mengambil sedikit kapas dan dibubuhinya betadine. Lalu dia mengoleskannya pada sudut bibir Fajar yang tampak berdarah dan sobek itu.

"Ehh sorry.." Edwin seperti baru sadar. Dia melepaskan tangannya, dan sikapnya berubah canggung sekali.

"Thank's." Ujar Fajar dengan senyum yang sama canggungnya. "Lo mau balik atau --- maksud gue -- gue mau nutup pintu. Gak enak kalo yang lain sampai liat."

"Gue..." Edwin garuk-garuk kepalanya. "Gue balik aja deh."

"Sorry ya.."

"Nih, buat lo!" Edwin menyodorkan nasi bungkus yang baru dibelinya.

WHEN MONEY TALKS -END-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang