16

2.8K 264 10
                                        

"Papah..."

"Ya Allah, Davi. Memangnya kamu masih belum mengantuk juga?" Papah malah menarikku ke dalam dekapannya.

"Hmmm..." Kumainkan telunjukku di dada papah. "Tadi, kencannnya sama Om Sapto gimana?"

"Gak ada kencan-kencanan lagi mulai detik ini."

"Maksudnya?!" Mataku memelotot. "Papah sama Om Sapto udah end gitu? Udah cerai?"

Papah membuka matanya. Dia memencet hidungku keras sekali. Sampai-sampai aku menjerit dan nyaris kehabisan nafas.

"Papah sudah menjelaskan semuanya sama Om Sapto. Dan untungnya dia bisa memaafkanmu."

"Ahh gak seru ahh!!" Aku berbalik memunggunginya. "Aku kan cuma mau ngeliat papah bahagia. Masa seumur hidup mau jadi duda terus?! Emang gak pengen apa punya pendamping? Emang papah gak pengen ngeseks gitu?"

Papah memelukku dari belakang. Kurasakan dia menggesekkan penisnya ke area bongkahan pantatku.

"Kan ada kamu, sayang..."

Aku memejam mata. Kugigit erat bibirku. Kurasakan lidah papah yang mulai bermain di tengkuk dan leherku.

Perlahan, penisku mulai bereaksi. Semakin keras dan mengeras saja.

"Papah! Aku aduin ke hyung ya!!" Aku langsung turun dari kasur papah. "Jangan coba-coba macem-macem sama anak sendiri ya?"

Papah bangun dari tidurnya. "Davi itu anak siapa?"

"Ya anak papah-lah! Masa anak siluman!?"

"Davi sayang gak sama papah?"

"Pake nanya lagi! Ya sayanglah, papah! Pake banget!"

"Mana buktinya kalau sayang?"

Aku menyilangkan tangan di depan dada. "Jangan cabul!"

"Satu kali aja ya..."

"Please..."

"Enggak!"

Papah kini bergerak seperti mau turun dari kasurnya. Lalu dia memelorotkan celana panjang tidurnya itu.

"Ayolah, anak Papah sayang..."

Aku menelan ludah. Melihat tubuh papa yang seksi dan indah itu. Membuat birahiku bergejolak. Tapi, apa yang harus aku lakukan?

Papah tidak boleh begini terus! Dia harus cari lawan yang seimbang! Bukan diriku pastinya.

Tluuitt -- Tluuiitt..

"Hapenya bunyi tuh, pah!"

Papah naik kembali ke atas kasurnya. Aku hampir tak percaya, kalau papah yang umurnya sudah berkepala empat itu, masih tetap awet muda, dan menggairahkan.

"Innalillahi. Kapan? Baiklah. Saya dan Davi akan kesana."

Papah menatapku dengan lesu. Dan itu membuat perasaanku jadi cemas.

"Kenapa, pah? Siapa yang meninggal?"

"Bintang, Dav."

"BINTANG MENINGGAL?!!" Kepalaku rasanya sakit sekali. Memaksa kembali memutar semua memori ingatanku tentang dirinya.

Disaat pertama kali aku bertemu dengannya. Ketika dia datang ke rumahku dengan membawakan nasi kotak dan kue dari pengajian syukuran rumahnya.

Dia yang kukenal adalah orang yang sangat baik, manis, keren, dan banyak mengalah kepada Fajar.

Dia yang pernah menyatakan rasa cintanya padaku, walau umur kami saat itu barulah 13 tahun.

'Makasih ya, Dav. Kamu udah mau jadi temanku.'

Mungkin, kalimat itu -- tidak akan pernah kulupakan sampai kapanpun.

"Davi..." Papah mengusap air mataku.

"Kenapa Bintang meninggal, pah?"

"Sekarang kita ke rumah sakit ya."

Kakiku lemas sekali rasanya. Hingga aku, seolah tak mampu menopang tubuhku sendiri.

"Kamu yang kuat ya, sayang..."

Bintang yang kukenal belakangan ini adalah Bintang yang sudah menjelma menjadi sesosok monster yang sangat mengerikan. Aku tidak akan pernah bisa lupa, bagaimana rekaman demi rekaman kameraku yang memperlihatkan bagaimana Bintang yang sedang menyiksa Fajar habis-habisan.

Tidak hanya menendang, meninju, menampar, membenturkan kepala Fajar ke lemari dan lantai, tapi dia juga dengan sadis dan tega memasukkan tongkat baseball dengan paksa ke dalam pantatnya Fajar.

Apa mungkin aku telah datang terlambat? Hingga aku tidak bisa menyelamatkan nyawanya? Tapi kenapa ia yang harus pergi?

Aku dan papah tiba di rumah sakit kepolisian di jam satu dini hari. Kulihat kakek dan neneknya menangisi kepergian Bintang dengan rasa sakit dan sedih yang amat mendalam.

"Davi.."

"Hyung..."

Hyung mengusap air mataku. "Bintang tidak bisa bertahan dalam masa kritisnya. Dia overdosis narkotika."

"Apa ini salahku, hyung?"

"Tentu saja bukan, Davi."

"Bu Karin.." Tangisku makin menjadi saat melihat Bu Karin. Aku semakin ingat saat dimana aku, Bintang, dan Fajar selalu bersama ketika SMP dulu. Meski waktu itu, terasa cepat sekali berlalu.

"Apa kamu ingin melihat jenazahnya?"

Aku menggeleng. Lebih baik aku duduk disini, dan mencoba menghapus semua ingatanku tentangnya.

Aku tidak kenal dengannya. Aku tidak pernah bertemu dengannya. Dia, hanyalah orang asing -- yang datang dan pergi begitu saja.

Aku mendekati Fajar yang sejak tadi duduk saja sendirian.

"Fajar..."

Dia menegakkan kepalanya. Menghapus air mata dan berusaha mengembangkan senyum kepadaku.

"Dav, Bintang..."

"Kamu yang kuat ya.."

"Aku kasihan sekali dengan kakek dan nenek..."

"Kalau kamu kasihan dengan mereka, kamu harus buktikan pada mereka, kalau kamu adalah cucu angkat yang hebat, berprestasi, dan bisa membuat bangga."

"Davi.."

"Mungkin, rasa sakit itu akan selalu membekas dalam dirimu. Tapi -- jangan pernah lupakan kebaikan Bintang. Maafkanlah semua kesalahannya, meski kamu belum sepenuhnya ikhlas."

"Davi, aku..." Fajar mengepalkan kedua tangan di atas pahanya sendiri. "Aku tidak bisa, Dav!! Aku tidak bisa hidup tanpa dia!!"

"Bintang sudah pergi, Fajar. Kamu harus ikhlas. Lihatlah, masih ada begitu banyak orang yang sayang dan peduli sama kamu disini."

"Aku sudah sering diperlakukan kasar olehnya. Dan setiap kali dia meminta maaf, aku pasti akan memaafkannya. Tapi kali ini --- dia belum mengatakannya! Dia belum mengatakan permohonan maaf itu, Dav..."

"Malem ini, kamu ikut denganku ya. Nanti kita nonton film kartun sama makan sate kambing yang banyak."

"Davi..."

"Ehhhmmm, aku ajak Edwin juga deh. Oke!?"

"Terima kasih, Davi."

$$$$$$

WHEN MONEY TALKS -END-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang