"Kamu tahu kan kalo papahku sampai tahu?!"
Meskipun kepalaku masih sakit, rasa kesalku sama Edwin gak akan hilang gitu aja. Apalagi dia jelas-jelas bawa aku pergi, dengan cara yang boleh dibilang seperti --- penculikkan.
"Ngikutin aku mulai dari apartemen, terus bawa aku sampai ke --- kemana nih?!!"
Edwin tak banyak bicara. Dia memberiku segelas air putih dan juga soto daging dengan nasinya.
Gara-gara laper, aku tadi lemes banget dan jadi pingsan. Untung dia yang bawa aku pergi. Coba kalau orang lain? Orang jahat benar misalnya?
Aku makan dengan lahap sekali. Bahkan tak ragu, Edwin menyodorkan jatah soto miliknya kepadaku. Tapi aku menolaknya. Karena dia kan bukan pacarku. Masa iya aku makan bekas punya dia?
"Sekarang kamu bilang, kamu mau apa?!"
"Ehmmm..."
"Jangan ahmm--ehmm--ahmm aja kayak orang gagu..!"
"Kita balikkan lagi, Dav.."
"Ya ampun, Edwin. Kenapa sih kamu sampai.."
Edwin menoleh padaku. Dan dia langsung melumat habis bibirku.
"Gue gak bisa hidup tanpa lo, Dav.."
Apa aku sudah melakukan sebuah kesalahan besar? Hanya gara-gara waktu itu aku bilang, aku akan menjadi pacarnya kalau dia bisa mengungguli nilaiku saat ujian dan dia jadi beneran jatuh cinta kepadaku?
"Tapi kamu kan tahu gimana kerasnya papah, Edwin.."
"Tapi lo cinta kan sama gue?!"
"Edwin.."
"Gue bisa kok ngidupin lo, Dav. Gue bisa cari kerja. Gue bisa banting tulang, buat cari rumah dan biaya kita berdua sehari-hari."
"Edwin.."
"Please, bilang sekali aja -- kalo lo masih sayang dan cinta sama gue.."
"Aku..."
Edwin menyingkirkan meja di hadapanku. Lalu dia bersimpuh di kakiku. "Jangan pernah tinggalin gue, Dav."
"Edwin.."
Aku membantunya berdiri. Aku kasihan melihat dirinya. Aku merasa Edwin seperti sudah kehilangan akal sehatnya.
"Tapi kamu harus janji satu hal.."
"Oke!"
"Gak ada seorang pun yang boleh tahu hubungan kita."
"But why, Davi!!?"
"Kamu mau sampai papah tahu?! Kamu mau papahku sampai melakukan tindakan kasar?"
"I don't care, Davi!!"
"Edwin..."
"Dav, please..."
Aku menghela nafas. Gak ada jalan lain lagi. Aku pun menurut saja ketika dia membawaku ke kasurnya.
Aku berdiri di dekat kasurnya yang tidak terlalu besar. Aku tahu ini adalah kamar kos-kosan. Tapi aku tidak tahu dimana tepatnya. Kuperhatikan dia yang mulai melucuti satu persatu pakaiannya.
Aku pun mengikutinya. Dengan perasaan canggung dan aneh. Padahal aku dan dia -- sudah beberapa kali melakukannya.
"Gue ada kondom dan lubricant.."
Aku tak menjawabnya. Aku naik ke atas kasur, dan merebahkan diriku yang sudah dalam keadaan telanjang bulat.
"Gue boleh..."
Tanpa menunggu jawaban dariku, Edwin langsung menaiki tubuhku. Hidungku menangkap jelas aroma tubuhnya. Aroma parfum dan keringatnya yang bercampur.
Bibir kami kembali saling beradu. Melumat. Menggigit. Dan kubiarkan lidahnya itu menelisik tiap bagian di dalam rongga mulutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHEN MONEY TALKS -END-
Teen FictionDavi memutuskan untuk tidak jadi kuliah di University of Tokyo. Dan dia berencana akan memberikan Edwin surprise, dengan kuliah ditempat yang sama dengannya. Namun dia sama tidak tahu, kalau di kampus inilah -- dia bertemu lagi dengan Bintang, Faja...