7 - Putih Merah

61 24 6
                                    

Lebih kurang empat belas tahun silam, aku adalah seorang gadis kecil yang baru akan memasuki Sekolah Dasar.
Masih teringat dengan jelas, kala itu aku mengenakan seragam SD lengkap dengan topi, dasi, ikat pinggang serta tak lupa tas dan sepatu baru. Dengan penuh semangat aku menyusuri jalan menuju ke sekolah bersama teman-teman dengan berjalan kaki. Masing-masing mereka diantarkan oleh ibunya di hari pertama sekolah tetapi tidak denganku. Aku hanya pergi seorang diri, tanpa ibu apalagi ayah. Sedih saat melihat mereka mendapat perhatian lebih ketika diantar dan ditunggu oleh orang tua mereka di koridor kelas. Sedangkan aku ? Hanya seorang diri. Ibu tidak mengantarkanku, ia hanya menyiapkan pakaian sebelum pergi bekerja. Ya, ibu sibuk mencari uang itulah mengapa ia tidak bisa mengantarkanku di hari pertama masuk sekolah seperti ibu-ibu pada umumnya.

Sejak kecil, aku memang terkesan kurang mendapat perhatian dari ibu. Waktu ibu banyak tersita untuk pekerjaan, pergi pagi dan pulang sore. Saat petang tiba ia sudah lelah selepas bekerja, belum lagi harus memasak dan membereskan rumah. Beruntung, ibu masih satu rumah dengan kakek dan nenek jadi aku tidak terlalu kekurangan perhatian, karena ada mereka.

Aku bersekolah di salah satu SD Negeri di pinggiran kota Palembang. Letaknya didekat sungai, dan akses menuju kesana pun harus menggunakan "ketek". Ketek adalah sebutan bagi moda transportasi air yang biasa digunakan di daerah Palembang, sekilas bentuknya mirip perahu tetapi memiliki atap untuk melindungi para penumpang dari teriknya matahari dan hujan yang turun.

Aku adalah satu dari sekian banyak murid pindahan di SD itu, sebelumnya sekolahku berada dekat dari rumah. Tetapi, dikarenakan akan ada pembangunan Pasar Induk Palembang maka sekolahku digusur dan kami para siswanya dipindahkan ke sekolah-sekolah terdekat.

Waktu aku memilih sekolah itu, tetanggaku sempat mengeluarkan ucapan yang cukup membuat ibuku merasa sakit. Ia bilang bahwa SD itu pinggiran, tidak berkualitas, pendidikannya tidak baik, dan kampungan karena letaknya di pinggiran sungai. Ya, aku akui memang kebanyakan yang diucapkannya adalah benar. Tetapi bukankah lebih baik diam dan menghargai pilihan orang lain daripada harus mencaci ?

Ibu memilihkanku sekolah itu bukan tidak beralasan, sebenarnya ada dua pilihan sekolah sebagai alternatif. Satunya berada di tengah kota dan memiliki kualitas pendidikan yang jauh lebih baik dari sekolahku sebelumnya. Dan yang satunya adalah sekolah yang menjadi pilihan ibuku sekarang.

Dulu, kami belum mempunyai kendaraan. Angkot juga masih jarang pada masa itu, terlebih aku masih kecil dan belum berani berpergian sendiri menggunakan transportasi umum. Jadi, ibu merasa lebih aman jika aku pergi ke sekolah menggunakan ketek yang dikendarai oleh tetangga dekat rumahku, mayoritas teman-teman dekat rumahku juga bersekolah di tempat yang sama dikarenakan orang tua mereka juga belum punya kendaraan untuk mengantar ke sekolah yang berada di tengah kota. Kami membayar ketek setiap sebulan sekali di awal bulan.

Meskipun terbilang sekolah pinggiran dikarenakan letaknya, sekolahku juga terbilang kurang dalam hal kuantitas dan kualitas tenaga pengajar, kurangnya sarana dan prasarana sekolah seperti perpustakaan, toilet, lapangan upacara, lemari kelas, serta kursi dan meja.

Sekolahku juga terbilang tidak cukup besar, hanya bangunan panggung terbuat dari kayu yang berbentuk huruf L jika dilihat dari atas, hanya diberi cat dua warna yaitu biru pada sisi bawah dan putih pada sisi atas.

Ruang gurunya pun terkesan seadanya, berbeda dengan SD di tengah kota dengan segala fasilitasnya. Ruangan itu terpisah dari bangunan sekolah, letaknya lebih dekat ke sungai, bentuknya sekilas seperti rumah panggung terbuat dari kayu tetapi hanya saja dicat dan diberi tulisan "Ruang Guru".

Sekolahku juga tidak memiliki lapangan, selama enam tahun bersekolah disana aku tidak pernah mengikuti upacara bendera sekalipun. Kami juga tidak pernah berolahraga di lapangan, hanya sebatas senam-senam biasa di teras-teras kelas.

Panggil Aku, Mey (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang