4 - Sepucuk Surat Kehidupan

99 27 6
                                    


"Pada akhirnya aku menyadari bahwa ada beberapa hal dalam hidup ini yang sifatnya misteri. Tidak ada yang tahu pasti kapan semuanya bisa terjawab, hanya Tuhan lah yang Maha Mengetahui segalanya."

-Meylia

Tidak ada surat lagi dari ayah, ibu mencoba mendatangi rumah kerabat yang letaknya dekat dengan kantor pos, alamat dimana surat dari ayah biasanya sampai. Karena saat itu letak rumah kami jauh dari pusat kota, dan sulit untuk dijangkau maka setiap surat menyurat akan beralamatkan rumah kerabat.

Ia coba menanyakan kabar surat Bandung, tetapi tak ada.

Ibu bahkan tak pernah lelah menanyakannya.
Setiap dua minggu, ibu mengunjungi rumah kerabat hanya untuk menanyakan kabar surat balasan itu sembari menggendongku yang masih kecil.

Berkali-kali datang ke rumah kerabat harapannya akan menerima sepucuk surat. Namun nampaknya perjuangan ibu tak juga membuahkan hasil. Aku tahu betul betapa banyak pengorbanan yang ibu lakukan, ia harus menahan lelah karena menggendongku, belum lagi harus mengeluarkan ongkos untuk membayar angkot. Terlebih ibuku saat itu tidak bekerja karena harus mengasuhku, masih mengandalkan bagi hasil tanaman padi di lahan milik orang. Menyedihkan, itulah realitanya.

Satu tahun kemudian ...

Sejak menerima surat terakhir dari ayah, ibu bahkan masih meratap dan berharap akan segera ada kejelasan.

Tok tok tok ...
"Assalamualaikum"
"Waalaikumussalam", jawab ibu sembari membuka pintu.

Ternyata yang datang adalah teman seperjuangan ibu sewaktu bekerja di Bandung, namanya Rina. Ia datang bersama calon suaminya dengan maksud kedatangan untuk menghantarkan undangan. Ia sengaja pulang ke Palembang untuk merayakan pesta pernikahannya disini.

"Ini undanganku, minggu depan aku akan menikah", sembari memberi selembar kertas undangan.

"Wah selamat ya"

"Kamu apa kabar Rika ? Sudah lama sejak kepulanganmu ke sini, kita tidak pernah bertemu lagi"

"Aku alhamdulillah baik, kamu gimana ?"

"Aku alhamdulillah baik juga, eh kamu sudah melahirkan kan ? Mana anakmu aku mau lihat"

"Dia lagi tidur di ayunan, ayo kalo mau lihat", ibu mengajak tante Rika menuju ayunanku di kamar kala itu.

"Wah anakmu cantik sekali, siapa namanya?"

"Namanya Meylia Cintya Putri."

"Nama yang indah."

"Hehe."

"Eh kamu sudah menerima kan semua surat Bayu dari Bandung ?"

"Surat apa Rika? Aku bahkan tak pernah menerima surat darinya lagi sejak setahun yang lalu. Ia seolah menghilang tanpa kabar, pesan terakhir yang ia berikan bahwa ia akan pulang. Aku pun membalas surat terakhir itu. Tetapi setelah itu tidak ada balasan lagi."

"Lah kenapa begitu ? Bukankah sudah enam kali ia mengirim surat dalam waktu satu tahun ini ? Kenapa tidak sampai juga ?"

"Ah yang benar saja ? Aku sudah lama menunggu tetapi tak ada kabar sama sekali."

"Seperti biasa alamat surat ditujukan di alamat keluargamu di Sukabangun," Sukabangun adalah salah satu daerah di Palembang.

"Yang benar saja kamu rika ? Iya, dia menitipkan surat itu padaku untuk mengirimkannya ke kantor Pos."

"Aku sudah berkali-kali ke rumah kerabatku tetapi ia bilang tak ada satupun surat dari Bandung."

Percakapan serius itu berlangsung lama, lebih kurang dua sampai tiga jam di ruang tamu persegi yang terbuat dari kayu. Suasana diwarnai rasa penuh harap, penasaran sekaligus isak tangis ibu yang spontan saja terjadi ketika menceritakan perihal ayah dan pedihnya perjuangan untuk menafkahiku seorang diri.

Jujur saja aku bingung ketika mendengar cerita ini dari ibu tepat 8 tahun lalu, saat aku berusia 12 tahun. Sebelum itu ibu hanya menceritakan sekilas, tak sedetail ketika aku sudah berusua 12 tahun. Mungkin aku yang sudah kelas 1 Sekolah Menengah Pertama itu dianggap ibu cukup memahami takdir yang dialaminya, dan tak perlu bertanya lagi perihal ayah.

Aku tidak tahu pasti siapa yang berbohong dalam hal ini, yang jelas ayah disana menunggu surat balasan ibu begitu juga sebaliknya. Ayah berpikir bahwa ibu marah dan tak mau melanjutkan hubungan mereka lagi karena tak kunjung membalas suratnya, kata tante Rika.

"Andai saja terdapat kejelasan atas surat kehidupan itu, mungkin saja sampai detik ini mereka tidak akan berpisah. Surat di masa itu seperti tali penyambung hubungan jarak jauh diantara mereka. Tetapi, sampai saat ini benar-benar tidak ada kejelasan atas surat itu. Kerabat yang dialamatkan atas surat itu pun bilang tidak tahu dan tidak ada surat dari Bandung. Sedangkan ayah berpikiran ibu tak ingin membalas surat itu lantaran tak cinta lagi. Ah, mungkin mereka memang tidak berjodoh."

Dewasa ini, seringkali pemikiranku dihiasi oleh stereotip terhadap kejadian masa lalu yang menimpa ibu. Entah mengapa aku berpikiran bahwa surat itu benar-benar sampai di Palembang tetapi kerabat yang dialamatkan surat itu tidak berkenan memberikannya kepada ibu.

Waktu itu ibu pernah bercerita bahwa mereka tidak menyetujui hubungan ibu dan ayahku, mereka iri karena ayahku orang Bandung dan juga berasal dari keluarga yang berada sedangkan ibu dari keluarga yang jauh di bawah ayah. Selain itu, sepupu ibuku yang tak lain adalah anak mereka juga sempat menaruh rasa pada ayah. Aneh kan, padahal ayah hanya tinggal di Palembang lebih kurang 2 minggu. Secepat itukah jatuh cinta ? Entahlah.

Ibu bilang, perempuan itu sempat mengajak ayah jalan-jalan dan menyatakan perasaannya pada ayah tepat beberapa hari sebelum hari resepsi pernikahan. Sungguh tak masuk di akal, ayah mau saja diajak jalan-jalan karena ia berpikir semuanya adalah keluarga, terlebih perempuan itu terpaut usia 7 tahun dengan ayah dan ibuku. Mungkin tepatnya lebih dianggap sebagai adik.

Jujur saja hal ini terasa aneh, bagaimana mungkin seorang perempuan baik-baik bisa menyukai calon suami orang. Ah entahlah, aku pun bingung.

Bisa dibilang surat itu adalah nyawa penyambung kehidupan ibu andai surat itu benar-benar diterima. Tetapi entahlah, sampai saat ini masih misteri dimana keberadaan surat itu.

Sebenarnya bisa saja ibu menyusul ayah ke Bandung, tetapi nenek melarangnya. Kata nenek jika ia memang jodoh ibu maka ia akan pulang lagi ke Palembang tanpa harus disusul, terlebih ibu tak punya cukup uang untuk menyusul kesana karena kondisi finansial sedang tidak baik saat itu.

Tetapi aku juga kesal, mengapa tidak ayah saja yang menyusul ke Palembang ?
Mengapa seolah mereka saling menunggu ?
Sesulit itukah permasalahan di zaman dahulu ?
Hanya karena komunikasi lantas hubungan pernikahan menjadi korbannya ?

Bersambung ke bab berikutnya Kejelasan ...

Panggil Aku, Mey (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang