13 - A Boy You Can Call Him "Bagas"

31 11 5
                                    

"Bersiaplah untuk perubahan, apapun itu termasuk perubahan sikap dari orang terdekatmu. Karena jika kau tidak bersiap dari sekarang maka kau akan menghabiskan banyak waktu untuk bertanya mengapa ia berubah."
-Meylia

Tidak habis sampai disitu, satu tahun masa SMA pertamaku waktu itu benar-benar dihiasi keanehan lantaran sikap lebay Bagas. Aku bahkan tidak tahu lagi apa yang harus aku katakan padanya.

Namanya Bagas, anak guru IPS yang berperawakan tinggi sekitar 170cm, berkulit putih, berambut rapi, berkacamata dan memiliki sifat serupa sepertiku. Ya, kami sama-sama introvert dan antisosial. Tetapi seketika bertemu denganku ia bahkan seperti seorang ekstrovert yang begitu terbuka dan selalu bersemangat untuk mengawali pembicaraan.

Aku bahkan pernah merasa bahwa ia sepertinya telah mencintaku. Ah entahlah, aku tidak ingin terlalu pede. Tetapi memang, jika dilihat dari sikap dan perilakunya selama itu ia memanglah seperti seseorang yang sedang berusaha melakukan pendekatan dengan sosok yang disukai.

Kisahku dengan Bagas mungkin mirip seperti istilah sekeras apapun batu, jika terus ditetesi air maka akan hancur juga. Sikapku yang keras, tertutup, antisosial dan tidak mudah percaya pada orang lain ini akhirnya luluh lama-kelamaan akibat kebaikan-kebaikan yang Bagas lakukan.

Satu tahun berlalu, memasuki semester 1 kelas 11 aku mulai bersikap baik dan percaya bahwa dia tidak seburuk yang aku pikirkan. Aku sering belajar bersama dengannya, meskipun aku bisa belajar sendiri di rumah tetapi ya hitung-hitung balas budi baik. Ia terkadang main ke rumahku, ataupun menjemputku untuk belajar bersama di rumahnya.

Aku mengenal ayahnya karena ia adalah salah satu guru di sekolahku, sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Keduanya baik, bahkan aku sudah dianggap seperti anak sendiri karena terlalu sering belajar bersama disana.

Sejak saat itu kami jadi berteman dekat, kami selalu bersama kemanapun, ke kantin, perpustakaan, toko buku, dan ia juga sering mengantarku pulang.

Aku tidak punya teman lain selain Bagas, aku enggan mengenal orang lain entahlah rasanya aku teramat malas untuk membaur dengan orang-orang yang tidak sejalan denganku.

Sebenarnya Bagas bukanlah anak yang pandai, tetapi ia punya kemauan keras untuk tahu tentang Fisika dan penyelesaian soal-soalnya. Sebagai bentuk balas budi atas kebaikan Bagas selama ini, aku pun dengan senang hati mengajarinya setiap hari.

Berteman dengan anak laki-laki itu jauh lebih menyenangkan, tidak ada canggung, mulutnya tidak ember, dan tidak suka menggosip. Maka dijamin obrolannya jauh lebih baik karena tidak berisi hal-hal yang sifatnya "ghibah".

Sejak hadirnya Bagas yang mengisi hari-hariku, nampaknya kekecewaan di masa lalu karena rasa yang tidak terbalas mulai memudar. Aku lebih menikmati masa-masa sekarang bersama sosok sahabat dekat yang selalu ada untukku.

Meskipun kami berbeda gender tetapi kami selalu sama dalam segala hal seperti kesamaan hobi, makanan, dan pemikiran. Ku akui sulit mencari sosok sahabat demikian, ia seperti cerminan diriku meskipun ia tidak secerdas diriku hehe. Tetapi ia punya tekad yang kuat untuk bisa sepertiku.

Sebagai sahabat maka aku selalu mendukungnya dalam segala hal yang sifatnya kebaikan, begitupun sebaliknya. Ia bahkan selalu menyemangatiku saat aku akan mengikuti suatu perlombaan. Kami benar-benar tidak berkomunikasi melalui telepon, hanya sebatas bertemu di sekolah saja. Biar fokus, katanya. Ah Bagas memang paling oke deh.

Memasuki semester 2 kelas 11 aku semakin sering mengikuti event perlombaan Fisika untuk mewakili sekolahku, karena memang ini adalah kesempatan terakhir sebelum kami naik ke kelas 12. Ketika sudah berada di semester akhir, kami tidak boleh mengikuti perlombaan apapun agar lebih fokus untuk mempersiapkan Ujian Nasional.

Hari itu, 15 Mei 2016 adalah kesempatan terakhir aku mengikuti lomba sebelum menyandang status sebagai kakak tingkat tertua di sekolah. Tetapi ada yang berbeda, Bagas tidak menyemangatiku lagi.

Ada yang berubah dari Bagas, entah mengapa. Ia pelan-pelan menjauhiku. Ah mungin perasaanku saja karena memang dalam 1 bulan terakhir aku sedang sibuk mempersiapkan lomba. Seperti biasa, kami tidak komunikasi melalui telepon agar aku fokus belajar. Tetapi biasanya Bagas akan datang ke kelas untuk menyemangatiku, mengajakku ke kantin, atau mengantarku pulang.

Kali ini Bagas tidak seperti biasanya, ia benar-benar cuek. Aku pun mencoba mendatangi ke kelasnya pada jam istirahat.

"Hey, ada Bagas ?", tanyaku pada salah satu anak famous di kelas itu.

"Ada, kenapa sih nyari-nyari Bagas ?"

"Bukan urusan kamu."

"Bagassss.. tuh ada yang mencarimu."

Bagas pun melirik ke arah pintu dan melihatku. Tetapi ia pura-pura membaca buku dan memasang earphone. Aku pun mencoba menerobos pintu yang didepannya berdiri cewek-cewek famous yang sedang tebar pesona.

Tetapi sayang, baru saja aku akan masuk tiba-tiba datang seorang guru untuk membagikan kertas hasil ulangan semester di kelas itu. Aku pun mengurungkan niatku untuk mendatanginya dan kembali ke kelasku.

Dua bulan berlalu ...

Kami sudah memasuki kelas 12, Bagas benar-benar cuek dan semakin cuek. Ia bahkan tidak pernah menyapaku lagi. Jangankan menyapa, ia saja tidak membalas pesanku, tidak menghiraukanku, juga tidak pernah lagi main ke rumahku. Saat aku panggil ia selalu saja cuek dan pura-pura tidak mendengar. Jujur aku kesal dengannya.

Bagas berubah drastis, ia seperti orang asing. Tidak ada lagi canda, tidak ada lagi tawa, tidak ada lagi penyemangatku ketika lelah, tidak ada lagi temanku ke toko buku. Aku sendirian, kembali ke situasi seperti awal aku masuk sekolah ini dulu.

Aku mencoba datang ke rumah Bagas saat weekend. Aku rela berpanas-panas naik angkot dan berjalan kaki menuju rumahnya karena memang letaknya masuk gang yang lumayan jauh dari jalan besar dimana angkotku berhenti.

Tok.. Tok..

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam, eh nak Meylia. Ayo masuk.", jawab ibu Bagas.

"Iya bu terimakasih." aku pun masuk ke dalam.

"Ada apa nak ?"

"Mau ketemu Bagas bu, Bagas nya ada ?"

"Ada, sebentar ya ibu panggilkan."

Bagas pun datang dengan wajah terpaksa, terlihat dari raut wajahnya ia benar-benar enggan menemuiku.

"Ibu tinggal dulu ya nak Meylia."

"Iya bu."

Aku pun menatap mata Bagas, tetapi ia enggan menatap ke arahku. Ia justru berpaling dari tatapanku.

"Bagas, kamu kenapa sih ? Sebenarnya apa yang terjadi sama kamu ?"

"Apaan sih Mey."

"Kok kamu begitu Bagas ? Hey Bagas jawab aku. Kamu kenapa berubah ? Kenapa kamu tidak pernah menjawab pesanku padahal sedang online Facebook ? Kamu kenapa pura-pura tidak dengar saat aku memanggilmu ? Mengapa kamu menjauhiku ? Mengapa ? Apa yang salah dariku ?, tanyaku.

"Kamu tidak salah apa-apa Mey. Aku yang salah." Jawabnya lirih.

"Terus kamu kenapa sudah dua bulan belakangan ini bersikap aneh denganku ?"

"Sudahlah Mey, aku tidak ingin berhubungan denganmu lagi."

"Aku tidak akan pergi sebelum kamu menjelaskan semuanya."

"Sudahlah Mey, aku capek mau istirahat."

Bagas meninggalkanku sendirian di ruang tamu yang penuh tanda tanya itu. Tidak lama kemudian ibu Bagas keluar dan menyapaku. Aku bersegera izin pamit pulang. Aku tidak tahan, inginku menangis saat melihat perlakuan Bagas padaku. Jujur, aku mulai menaruh rasa pada anak 17 tahun berkacamata itu.

Ia telah berubah, apakah ini berarti aku harus kehilangan orang terdekat lagi ? Setelah sebelumnya Rendi meninggalkanku lantaran mempunyai pacar baru ?
Tetapi apa yang membuatnya berubah sedrastis ini ?
Apakah ia sama seperti manusia pada umumnya yang suka mengacak-acak suasana hati seseorang lalu meninggalkannya ?

Bersambung ke bab Realita ...

Panggil Aku, Mey (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang