"Kesedihan tidak akan merubah keadaan, bangkitlah. Ada begitu banyak kebaikan yang sedang menunggu untuk kau upayakan."
-MeyliaBagas sudah pergi, tidak perduli seberapa sedih hatiku tetapi jam akan terus berputar, hari terus berganti, dan hidup harus terus berlanjut.
Aku tidak boleh bersedih lagi atas kepergiannya. Aku harus percaya bahwa ini adalah yang terbaik menurut Tuhan. Ketika aku rindu padanya, aku cukup mengirimkannya do'a setiap kali aku usai menunaikan sholat.
Masa SMA ku ditutup dengan sebuah kenangan manis manakala aku menerima penghargaan sebagai peraih UN tertinggi mata pelajaran Fisika se-kota Palembang. Aku sangat senang dan bangga akan hal itu meski kini Bagas tidak hadir untuk memeberikan semangat padaku.
Usai pelaksanaan UN, kami sibuk mempersiapkan pengisian data untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Aku pun memilih jurusan Teknik Elektro dan Pendidikan Fisika di perguruan tinggi negeri yang sama, yaitu perguruan tinggi negeri terbaik di Palembang.
Aku memilih jalur SNMPTN dan beasiswa dengan konsekuensi bahwa aku harus repot mengurus semua surat-menyurat sebagai syarat administrasi, mulai dari kartu keluarga, surat rekomendasi prestasi, piagam penghargaan, NISN, dan lain-lain.
Aku sangat bersemangat saat mengisi semua data-data itu. Aku benar-benar berharap dan yakin jika aku pasti lulus karena secara kualifikasi aku sudah begitu mumpuni dengan modal sertifikat prestasi yang kumiliki.
Tetapi, takdir berkata lain. Aku tidak lulus di dua prodi yang kupilih. Sempat merasa down, tetapi aku tak kunjung menyerah.
Berselang satu bulan kemudian tepat di bulan Mei 2017 aku mengikuti tes SBMPTN dan memilih Teknik Elektro di perguruan yang sama, dan pilihan kedua di Teknik Elektro di salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di Jakarta.
Sebenarnya aku hanya iseng memilih pilihan kedua, karena rasanya itu sangat tidak mungkin untukku. Aku juga tidak akan mungkin meninggalkan ibu sendirian di sini. Aku hanya berdo'a jika aku akan lulus di Palembang jadi aku bisa dekat dengan ibu.
Tetapi takdir berkata lain, aku tidak lulus di pilihan pertama. Aku lulus di pilihan kedua dengan jalur beasiswa, yaitu di Jakarta. Sempat merasa bimbang dan tak ingin melanjutkan kuliah lantaran harus merantau, aku pun meminta saran ke ibu.
Dan benar saja, ibu tanpa ragu langsung mengizinkanku. Ia ikut senang dan bangga melihat anaknya bisa lulus dengan jalur beasiswa di perguruan tinggi negeri favorit di ibu kota. Atas izin ibu, dengan berat hati aku harus meninggalkan kota kelahiran ini demi menuntut ilmu dan demi perbaikan nasib yang lebih baik kedepannya.
Agustus 2017, aku membereskan semua pakaian dan keperluanku untuk tinggal disana. Kebetulan ada teman satu sekolahku yang juga lulus disana, kami berencana akan tinggal bersama di Jakarta.
Dan benar saja ketika aku menginjakkan kaki di ibu kota aku tak henti-hentinya berkata "Wow".
Akhirnya aku bisa melihat ibu kota secara langsung tanpa harus melalui televisi, tampak gedung-gedung pencakar langit, mobil mewah berlalu lalang, dan pemukiman elite yang menghiasi daerah sana.Kami tinggal di kos-kosan yang letaknya tidak jauh dari kampus, jadi kami hanya perlu berjalan kaki untuk sampai ke kampus.
Hiruk pikuk ibu kota memang benar-benar terasa saat kita tinggal disana. Dan aku pun merasa ketika jauh dari orang tua itu sulit, kita harus melakukan segala sesuatu secara mandiri. Seringkali aku kesulitan membagi waktu antara kuliah, kerja part time ku dan mengurus kos-an. Ya, sebagai mahasiswa beasiswa yang mengharapkan uang saku sebagai sumber kas utama maka aku harus memutar otak agar bisa menghasilkan uang sebagai tambahan.
Aku bekerja di salah satu tempat forokopian di dekat kampusku. Banyak mahasiswa yang kerja disana, mereka di shift menyesuaikan waktu kuliah. Kami dibayar per 1 jam sebesar 10 ribu rupiah, lumayan untuk uang makan sehari-hari. Toko fotokopian ini sangat sibuk karena memang letaknya yang strategis yaitu tepat di depan area kampus maka otomatis banyak mahasiswa yang ngeprint, memfotokopi atau membeli ATK disana.
Untuk mengatasi kejenuhan hidup di perantauan aku selalu menelepon ibu setiap malam untuk menanyakan kabar dan bercerita tentang kegiatanku disini. Selain itu, aku dan teman satu kampungku yaitu Lala sering jalan-jalan di akhir pekan untuk sekadar jalan santai atau menikmati keindahan taman-taman dan kota tua di Jakarta.
Satu hal yang mengesankan saat jalan-jalan kami di kota tua waktu itu, aku melihat sosok yang mirip dengan seseorang yang pernah ada di masa laluku. Ia mengenakan ransel laptop dan kemeja yang terbuka dengan kaos oblong didalamnya. Ia tampak sedang memotret bangunan itu dengan sebuah kamera digital.
Sesekali, ia melihatku dengan penuh senyuman. Aku seperti tidak percaya, ah apakah mungkin ia adalah orang yang sama dengan yang kumaksud ??? Aku bahkan sudah pergi menyebrangi selat untuk sampai ke kota ini, mana mungkin aku akan bertemu lagi dengan sosok itu. Lagipula kami sudah sangat lama tidak berkomunikasi.
"Siapa pria itu ?" tanyaku pada diri sendiri.
Lelaki itu berjalan ke arahku dengan senyum.
Bersambung ke chapter terakhir Jawaban ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Panggil Aku, Mey (Completed)
General FictionAda begitu banyak pertanyaan yang tersimpan rapi dalam pikiran dan berusaha kutemukan sendiri jawabannya. Enggan rasanya membagikan apa yang kualami pada siapapun, mereka semua menyebalkan bagiku. Sejak kecil, aku terlatih untuk melakukan segala ses...