8 - My Childhood

48 18 0
                                    

"Tidak perlu mengeluhkan sesuatu yang sudah menjadi takdirmu, percayalah Tuhan punya maksud baik."
-Meylia

Orang bilang, masa kecil itu masa yang paling indah dan sulit untuk dilupakan. Tetapi istilah ini sepertinya tidak berlaku untukku. Masa kecilku bisa dibilang tidak terlalu bahagia, karena aku tidak pernah merasakan kasih sayang ayah dan ibu sibuk bekerja. Terlebih, rumah kami berada di daerah terpencil dan jauh dari tetangga, sehingga aku tidak punya banyak teman bermain kala itu. Hanya ada dua rumah yang berada di dekat rumahku, keduanya adalah keluarga keturunan bangsa Tionghoa. Berbeda dengan kondisi lingkungan rumahku yang sekarang, sudah ramai oleh para warga pindahan dari desa yang mencoba mengadu nasib ke daerah ini.

Sejak kecil, aku hanya punya satu orang teman. Ia adalah anak tetanggaku yang berperawakan tinggi, berkulit putih dan bermata sipit, rambutnya lurus seperti habis direbonding. Usianya saat itu empat tahun diatasku, saat aku duduk di kelas satu SD ia sudah berada di kelas lima. Sekolah kami berbeda, ia bersekolah di Sekolah Swasta yang mayoritas adalah orang Tionghoa karena memang sekolah itu mahal dan memiliki kualitas pendidikan yang bagus.

Meskipun ia adalah anak lelaki, tetapi kami sering bermain masak-masakan. Entahlah mengapa ia mau, mungkin karena kami juga merasakan hal yang sama, yaitu kesepian. Aku bermain dengannya sejak aku belum sekolah, mungkin sejak usiaku lebih kurang tiga tahun. Ia sering datang kerumahku dan mengajakku bermain, atau untuk sekadar makan bersama di teras rumahnya yang menghadap langsung ke tepian Sungai Ogan.

Tetapi masa itu tidak berlangsung lama, saat ia mulai memasuki Sekolah Menengah Pertama kami sudah jarang bermain. Ia sibuk, pergi pagi dan pulang sudah hampir sore. Sejak saat itu kami tidak pernah bermain lagi, mungkin juga karena ia sudah mulai remaja dan enggan bermain dengan anak kecil sepertiku lagi. Aku pun mulai merasakan kesepian.

Meskipun tidak dengan Iwan, aku tetap bermain meskipun sendirian. Aku ingat kala itu aku bermain masak-masakan seorang diri, dimana aku bertindak sebagai pembuat makanan, penjual sekaligus pembeli. Haha.. lucu sekali rasanya jika ingat akan hal itu.

Saat aku memasuki kelas satu Sekolah Dasar, ibuku masih bekerja. Tetapi selang beberapa bulan ia memutuskan untuk berhenti dan memilih berjualan di SMP Negeri yang berada tidak jauh dari rumahku. Ia berpikir jika dengan berjualan maka ia akan punya lebih banyak waktu untukku. Tetapi nyatanya tidak juga.

Sejak ibu berjualan di salah satu kantin di SMP itu, ibu malah semakin sibuk. Dari pagi hingga sore ia habiskan untuk berjualan karena memang kegiatan belajar mengajar di sekolah itu terbagi menjadi dua waktu, yaitu pagi dan siang. Ia berjualan bersama bibiku yang tidak lain adalah adik kandungnya sendiri.

Waktuku semakin tersita kala ibu berjualan, aku selalu diminta untuk membantu setiap hari. Selepas pulang sekolah, sekitar jam 12 siang aku langsung bergegas ke kantin untuk membantu ibu sampai sore. Tidak ada waktu bermain, aku belajar pun di kantin saat para siswa SMP sedang belajar di kelas maka aku mengisi waktu-waktu luang itu dengan belajar di kantin milik ibuku, nanti jika jam istirahat maka aku berhenti belajar dan membantu melayani para pembeli.

Sebenarnya aku ingin sekali bermain seperti anak-anak pada umumnya, tetapi apalah daya aku benar-benar tidak punya waktu. Aku tidak pernah berani melawan kata-kata ibu, aku tahu ia lelah mencari uang untukku. Aku tidak akan membiarkannya sendirian, meskipun aku harus kehilangan waktu bermainku.

Sesekali aku bermain dengan sesama anak pemilik kantin, tetapi ia menyebalkan. Namanya Iqbal, anak lelaki yang nakal dan suka menjahiliku.

Sebenarnya sejak aku mulai sekolah aku tidak terlalu kesepian lagi, aku bisa bermain saat jam istirahat di sekolah. Aku juga menemukan banyak teman-teman baru walaupun rumahnya terbilang jauh dari rumahku. Seringkali mereka menjemputku di rumah untuk mengajak bermain, meskipun jarak rumah kami sekitar 15 menit jika ditempuh dengan berjalan kaki tetapi mereka tetap saja datang. Aku sering tidak bisa, karena harus membantu ibu.

Kadang aku berpikir mengapa hidupku berbeda dengan yang lain ?
Mengapa aku tidak bisa mendapatkan apa yang anak-anak dapatkan pada masanya ?
Mengapa aku dilahirkan dalam keadaan keluarga yang tidak utuh ?
Kasih sayang ?
Cinta ?
Waktu bermain ?
Kebebasan ?

Sungguh aku sangat ingin mendapatkannya. Tetapi sejak kecil aku memang dituntut menjadi pribadi yang mandiri dan mampu memaklumi segala kenyataan yang terjadi.

Bersambung ke bab Putih Biru ...

Panggil Aku, Mey (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang