14 - Realita

34 9 3
                                    

"Percayalah bahwa semua yang terjadi di dunia ini sudah sesuai dengan porsinya masing-masing. Jika kau rasa itu berat, maka jelas kukatakan congratulations karena kau adalah orang kuat yang dipilih untuk itu."
-Meylia

Perubahan sikap Bagas masih terus berlanjut, sikapnya semakin dingin denganku hingga benar-benar tidak ada obrolan lagi diantara kami.

Aku masih bertanya-tanya mengapa ia bisa berubah. Tetapi aku sudah terlanjur pusing memikirkan hal ini. Saat itu bulan November 2016, Ujian Nasional tinggal beberapa bulan lagi. Aku harus menyiapakan semuanya dengan sebaik mungkin agar aku bisa menjadi peraih nilai UN tertinggi di mata kuliah Fisika.

Senin pagi kami memulai rutinitas seperti biasa yaitu upacara bendera. Seluruh siswa pun berbaris di lapangan, tetapi aku tidak melihat Bagas disana.

Seusai upacara aku pun datang ke kelasnya untuk menanyakan mengapa ia tidak masuk, salah seorang temannya bilang bahwa ia sedang sakit demam. Padahal kemarin nampaknya ia baik-baik saja.

Saat jam pulang sekolah, aku pergi ke ruang guru untuk menanyakan keadaan Bagas ke Pak Bambang. Tetapi Pak Bambang malah mengajakku ke suatu tempat sepulang sekolah itu. Aku bingung, mengapa aku diajak ke rumah sakit.

"Siapa yang sakit pak ?, tanyaku."

Pak Bambang hanya tersenyum penuh haru. Aku diajak menyusuri lorong-lorong rumah sakit hingga aku tiba di depan sebuah ruang rawat inap dan mengejutkan ada Bagas yang terbaring di atas ranjang.

Aku sontak terkejut, bagaimana mungkin aku bisa tidak mengetahui sesuatu yang sedang dialami sahabat dekatku sendiri. Aku malah sibuk bertanya mengapa ia berubah tanpa pernah berpikir sebab-sebab ia berubah. Aku duduk di samping ranjang Bagas, aku menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Bagas, kamu sakit apa ?" tanyaku dengan wajah serius

"Aku tidak apa-apa Mey, aku cuma sedikit kelelahan karena membaca buku-buku Fisika yang kupinjam di perpus." jawab Bagas dengan ringan.

"Ah kamu bohong. Mana mungkin kamu sampai di rawat disini."

"Kamu itu yah Mey masih saja suka tidak percaya denganku."

"Aku bukannya tidak percaya Bagas, aku hanya khawatir dengan kondisimu."

"Sudah Mey, aku tidak apa-apa kok. Aku cuma butuh istirahat yang cukup."

"Yakin ?"

"Iya Meyliaku. Yasudah aku mau tidur dulu yah karena kata dokter aku harus banyak-banyak istirahat."

"Iya, nanti biar aku tungguin kamu disini."

Aku begitu tak kuasa saat melihat keadaan Bagas saat itu. Tangannya diinfus, ia nampak lemas. Sebenarnya beberapa waktu terakhir ia memang nampak berubah, fisiknya nampak lemah, wajahnya layu seperti tanaman yang tidak disiram, tubuhnya agak sedikit kurus dari biasanya. Tetapi belakangan ini ia sering memakai jaket hoodie lengkap dengan topinya, mungkin untuk menutupi kondisi fisiknya yang sedang tidak baik.

Aku dipanggil ayah Bagas keluar ruangan. Aku pun keluar dan menuju koridor akuntansi, tampak Pak Bambang sedang duduk di salah satu bangku ruang tunggu disana dengan wajah serius.

"Pak Bambang ?"

"Eh iya, sini nak Mey."

"Ada apa pak ?"

"Mey, sebenarnya Bagas sekarang sedang mengidap penyakit kanker darah stadium 4 dan dokter bilang umurnya tidak lama lagi."

Aku sontak terkejut, seketika langit seperti mau runtuh, aku terduduk lemas di bangku itu dengan wajah seperti tidak percaya akan perkataan yang menghancurkan seluruh harapan-harapan besarku pada Bagas.

Kami pernah berkeinginan untuk menggapai mimpi bersama.
Kami bercita-cita untuk masuk di perguruan tinggi favorit di Jakarta.
Dan kami berjanji akan selalu bersama dalam suka maupun duka.

Meski tak pernah ada kata cinta yang terucap diantara kami, tetapi hubungan kami jauh lebih dekat dibanding sekedar status "berpacaran" seperti yang dilakukan orang-orang kebanyakan. Lagi pula tidak ada gunanya hubungan toxic itu, berteman memang jauh lebih menyenangkan dari pada pacaran.

Keadaan ini semakin menambah begitu banyak daftar pertanyaan di benakku. Selama ini aku bahkan belum menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan masa laluku, tetapi aku kembali menemui kondisi demikian. Sebuah kondisi dimana aku kembali bertanya-tanya pada semesta.

Bersambung ke bab Rain In The Morning ...

Panggil Aku, Mey (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang