3 - Ayah

135 32 42
                                    

"Jangan terburu-buru berburuk sangka atas takdir yang menimpamu, percayalah selalu ada hikmah yang terselip di setiap kejadian pahit yang kau alami."
-Meylia

Sejak kecil, aku bahkan belum pernah melihat ayahku secara langsung. Aku hanya bisa melihatnya melalui album foto yang telah usang, ya album pernikahan ayah dan ibuku yang telah ada sejak 20 tahun lalu. Sebuah album dimana momen-momen bahagia diabadikan lalu dicetak dan dikumpulkan menjadi satu.

Meskipun aku belum terlahir ke dunia, tetapi aku bisa melihat betapa bahagianya mereka saat itu. Bagaimana tidak, karena pada hakikatnya pernikahan adalah momen bersatunya dua insan manusia yang berjanji untuk saling menemani sampai akhir hayat nanti.

Kulihat wajah sumringah dari ayah dan ibu dengan balutan pakaian pengantin khas Jawa, ibu terlihat cantik dengan sanggul dan hiasan di kepala, sedangkan ayah terlihat lebih tampan dengan blangkon khas Jawa yang dikenakannya.

Ibuku keturunan Jawa Tengah tetapi lahir dan menetap di Palembang, sedangkan ayahku asli Sunda, Jawa Barat. Sekilas sama, namun keduanya memiliki beberapa perbedaan meskipun masih berada dalam rumpun suku yang sama, yaitu Jawa. Perbedaan itu dapat dilihat dari pakaian adat, cara berbicara hingga makanan khas daerah.

Mereka berasal dari dua daerah yang berbeda, bertemu secara tidak sengaja ketika ibuku merantau dan bekerja di sebuah pabrik tekstil di Bandung. Singkat cerita, mereka saling mengenal selama tiga tahun lalu menjalin asmara dan menikah.

Resepsi pernikahan itu berlangsung meriah di Palembang, dihadiri seluruh kerabat dari mempelai wanita, teman serta tetangga dan juga beberapa perwakilan dari mempelai laki-laki yang datang langsung dari Bandung.

Tetapi sayang, nampaknya momen bahagia itu tidak berlangsung lama, hanya satu minggu saja sejak resepsi itu dilaksanakan. Ya, ayahku pamit pergi lagi ke Bandung untuk melanjutkan pekerjaannya. Sementara ibuku memilih untuk berhenti bekerja dan menetap di Palembang.

Mereka menjalin hubungan jarak jauh, saat itu belum ada smartphone seperti sekarang ini. Hanya ada telepon rumah, itupun hanya dimiliki oleh orang-orang kaya pada masa itu. Mereka hanya berkomunikasi melalui kertas yang dikirim melalui kantor pos, dan sampainya pun bisa dua sampai tiga minggu lamanya.

Berdasarkan surat terakhir yang diterima ibu, ayah bilang ia akan segera pulang ke Palembang. Saat itu aku berumur 5 bulan dalam kandungan ibuku.

Dengan penuh harap, ibu menanti kedatangannya.

Satu minggu berlalu sejak tibanya surat itu di rumah, ayah tak juga datang.

Ibu masih menunggu, mungkin saja ayah masih ada kerjaan di Bandung.

Waktu berlalu,
detik,
menit,
jam,
hari,
bulan,

Hingga akhirnya aku dilahirkan ke dunia tanpa kehadiran ayah.

"Andai aku bisa bertemu dengamu, merasakan kasih sayang layaknya anak perempuan yang dimanja dan disayang okeh ayahnya. Mungkin dibelikan ice cream atau sejenisnya, menyaksikkan momen bertambahnya usiaku, atau bahkan menyaksikkan momen wisudaku nanti hmmmmm.... aku pasti senang", gumamku sembari membuka lembaran album foto pernikahan ayah dan ibu di kamar.

Lalu tiba-tiba ibu datang dan menepuk pundakku. "Nak, sedang apa ?" tanya ibu yang datang dari arah ruang tamu menuju kamarku.

"Tidak, aku hanya sedang membereskan beberapa buku pelajaran." Aku bersegera menutup dan menyimpan kembali album foto itu ke tempat asalnya.

"Ini, makanan kesukaanmu sudah matang. Ayo makan, nanti kalo di Jakarta kamu gakbisa makan masakan ibu, mumpung masih masa liburan Palembang."

"Iya bu."

"Sampai detik ini ayah masih menjadi pertanyaan yang mendominasi di pikiranku. Entah kapan aku bisa bertemu dengannya. Kuharap suatu saat nanti, semoga saja."

Bersambung ke bab Sepucuk Surat Kehidupan ...

Panggil Aku, Mey (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang