TIGA PULUH DUA

11K 731 23
                                    

Leo dan Ruri tidak beranjak dari dalam mobil. Mereka sudah tiba ditujuan, dan mesin mobilpun sudah dimatikan. Seakan ada keraguan dalam hati mereka untuk masuk ke bangunan bercat putih ini.

Rumah Sakit Ibu dan Anak Belai Asih.

Tulisan itu membentang besar di tembok bangunan.

"Sekali lagi..." Ruri memiringkan tubuhnya menatap Leo, "Apapun hasilnya kita tidak tidak akan saling menyalahkan. Kita akan fight bersama. Berjuang..."

"Ya.." Leo membawa Ruri ke pelukannya.

Setelah satu tahun tiga bulan pernikahan mereka, tanda tanda kehamilan Ruri belum juga ada. Ia dan Leo awalnya santai menjalani rumah tangga mereka. Tapi belakangan pressure dari orang orang di sekitar makin terasa.

Pertanyaan tentang anak selalu tak terlupa diajukan setiap orang. Membuat Leo dan Ruri sepakat untuk berkonsultasi ke dokter spesialis kandungan.

Bergandeng tangan keduanya melangkah masuk ke RS. Menuju meja pendaftaran untuk mengisi bio-data, cek berat badan, dan tekanan darah.

Perasaan Ruri tidak menentu. Dia cemas kalau pihak yang salah di sini adalah dirinya. Masyarakat memberi tekanan lebih pada pihak perempuan bila pasangan suami istri tidak juga mempunyai keturunan.

Perempuan mandul..

Ruri tidak siap jika ia dilabeli seperti itu. Rasanya ia ingin menangis. Matanya mulai berembun, tetapi genggaman tangan Leo menguatkannya.

Mereka menunggu antrian dengan hening. Tidak saling bicara.

Leo tidak pernah merasa ada yang kurang dengan pernikahannya. Ia menikahi Ruri karena ia mencintainya. Jika belum dianugrahi buah hati, bukankah itu berarti kesempatan berduaan layaknya orang pacaran masih ada?

Tapi melihat perubahan sikap Ruri yang cendrung diam, membuat ia mengambil keputusan ini. Mereka akan memeriksakan kesehatan reproduksi. Jika sakit akan berobat, dan jika sehat berarti hanya perlu doa plus ikhtiar.

Ikhtiar untuk mendapatkan anak akan selalu menjadi kegiatan yang menyenangkan... Leo tidak akan komplain. Tidak akan pernah...

"Itu..." tubuh Ruri menegang melihat siapa yang datang melewati mereka berjalan menuju tempat pendaftaran.

Leo menengok ke arah pandangan istrinya.

Rahadi!! Dan istrinya...

Perasaan Ruri tidak enak. Bulu remangnya berdiri. Bergidik.

Terakhir ia bertemu karyawannya itu adalah di pengadilan. Hakim menghukum Rahadi dua tahun penjara.

Ini belum dua tahun.. kenapa ia sudah bebas?

Leo menangkup wajah Ruri yang pucat, berbisik," Jangan lihat dia. Pandangi aku saja. Ok.."

" Kenapa dia disini? Kenapa sudah bebas?"

"Dua tahun dikurangi remisi, lalu jika masa tahanan tinggal sedikit, bisa bebas bersyarat.."Leo mengeratkan genggamannya," Aku di sini. Tidak apa..."

Tangan Ruri berkeringat. Ia tidak sabar ingin pergi. Berada dalam satu ruangan dengan lelaki yang pernah berniat ingin memperkosanya terlalu menakutkan.

Leo dengan sudut matanya memperhatikan gerak gerik Rahadi. Di luar terlihat tenang, tetapi sebenarnya dada Leo terbakar amarah. Ia mengendalikan diri agar tidak terbawa emosi. Kasihan Ruri...

Rahadi dan sang istri berbalik dari meja pencatatan pasien, celingukan mencari tempat duduk kosong.
Saat itulah..mata Leo dan mata Rahadi bertemu.

Membeku... Wajah Rahadi pias di bawah tatapan tajam Leo. Mengarahkan istrinya duduk ke arah belakang, ia mengangguk sedikit pada Leo.

Leo hanya diam.

Syukurnya, nama Ruri segera dipanggil perawat.

Masuk ke ruangan dokter, Ruri masih belum fokus.

" Sudah lama tidak bertemu dok.." dokter Laras mengulurkan tangannya. Ia lumayan kaget bertemu mantan rekan kerja yang sudah cukup lama resign ini di sini. Di ruang praktiknya.

Ruri tergagap. Pikirannya bak kaset recorder mengulang mengingat peristiwa malam ia diserang Rahadi cs. Ia tidak connect dengan percakapan di depannya.

Leo mengambil alih perhatian dokter Laras. "Iya dok.. sudah lebih setahun istri saya break dari kerjaan.. Ayo sayang... Kangen kangenan dulu.." mengelus lembut punggung Ruri, Leo menyadarkan istrinya.

Ruri cepat menjawab uluran tangan dokter Laras. Berpelukan sebentar, dan cipika cipiki.

Setelah dipersilakan duduk, Leo berinisiatif memulai pembicaraan dan menyebutkan tujuan mereka.

Dokter Laras sangat komunikatif.
Ia menanyakan gaya hidup pasangan itu, frekuensi seks yang membuat Ruri tersipu karena jumlahnya yang sering dalam seminggu, siklus menstruasi Ruri, dan detil-detil lain yang berguna untuk diagnosa.

Melakukan pemeriksaan dengan USG transvaginal dokter Laras berkomentar bahwa sel telur Ruri bagus. Rahimnya juga sehat, tidak ada kista.

Dokter Laras memberi kalender khusus untuk berhubungan.

"Pas tanggal yang saya lingkari merah, itu artinya waktu untuk berhubungan."

Alis Leo terangkat...
Ooh jadi ikut program hamil berarti waktu berhubungan juga di schedule...? Ada rasa kecewa sedikit di hatinya, tetapi buru buru ia buang jauh

" Ini vitamin saya resepkan."

Dokter Laras memandang kedua pasangan itu. "Kalau dalam dua bulan ke depan belum menunjukkan hasil, baru kita coba tes fertilitas.

"Tes fertilitas?" Leo mengulang

Ruri menoleh pada Leo, "Tes darah untuk cek hormon, USG yang complete, HSG, dan juga analisa sperma"

Leo manggut manggut...

Tunggu! Kening Leo berkerut. Sperma??? Mau menganalisa sperma siapa?

Oow.. apa itu artinya ia harus menyerahkan sejumlah sperma untuk dianalisa?? Oh God... Seriously???

THE LOVE I NEEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang