16. Drama Dinda

12 2 6
                                    

Tak akan ada yang mampu untuk bertahan, jika itu tanpa kepastian.

Maka, setidaknya berilah aku sedikit saja harapan untukku memperjuangkan.

*

Ini hari pertama gue untuk memainkan drama gue.

Terlihat kuat, padahal enggak.

Meira melihat gue saat gue duduk di samping dia. Gue balas dengan senyuman.

"Jujur, gue merasa bersalah sama lo Din," kata Meira memulai pembicaraan.

"Santai kali," kata gue acuh.

"Gue udah nyoba move on dari dia lagian. Meskipun sampe saat ini gue tetep ngejer dia, ga bakal juga kan gue jadian sama dia. Sikapnya aja kayak gitu." ujar gue.

"Mungkin kalo sama lo beda," lanjut gue lagi.

"Boleh gue meluk lo?" tanya Meira ke gue.

Gue jawab dengan anggukan.

"Makasih, buat kerelaan lo." kata Meira.

Gue menghela nafas pelan, dan tersenyum.
"Selagi lo gak sia-sia in, gue gak bakal nyesel udah ngerelain dia ke lo Ra,"

"Jaga dia,"

*

"Deketin aja kali," kata gue ketika ngelihat Meira dari tadi sibuk ngelirik Kak El.

Kita lagi di kantin btw.

"Nggak ah!" tolak dia.

"Kenapa nggak?" tanya gue.

"Malu,"

"Kapan lo bisa jadian sama dia Ra kalo deket aja malu,"

"Nih, kasih." suruh gue dan ngasih air minum botol.

"Be-bener?" tanya dia ragu.

"Boong. Ya bener dong," jawab gue.

Dan selanjutnya, Meira nyamperin Kak El dan ngasih air itu. Kok baik banget ya dia? Dia mau nerima air itu.

Boro-boro, gue dulu selalu ditolak.

Sepertinya Meira sama Kak El udah mulai seru ngobrol.

Gue memutuskan balik ke kelas.

Bukan itu alasan gue, cuman hati gue aja belum terbiasa.

*

Udah 15 menit yang lalu bel pulang berdering. Gue sama Meira lagi nunggu jemputan di depan gerbang sekolah.

"Lo bawa hp gak Ra?" tanya gue.

"Nggak, lo?"

"Sama," jawab gue murung.

"Kak El!" teriak Meira tiba-tiba.

Gue pun melihat ke arah pandang Meira.

Kak El berjalan menghampiri kami. Tepatnya menghampiri Meira. Dia berdiri di depan kita.

"Kenapa?" tanya dia.

"Kita boleh pinjem hp kakak? Dari tadi belum dijemput soalnya,"

Gue mendelik sekejap.

Perasaan gue gak minta pinjem.

"Boleh." Kak El ngasih hp dia ke Meira.

Meira ngetik beberapa angka di hp itu, beberapa detik kemudian panggilan itu dijawab.

Setelah itu, Meira ngasih hp itu ke gue.

Gue ngeliat Kak El ragu. Gue terima hp itu dan melakukan hal yang sama seperti Meira. Tentunya berbeda angka.

Namun ini beda, bukan suara mama yang gue denger.

Melainkan, suara mbak-mbak yang memberi tau bahwa pulsa hp ini habis.

"Pulsanya habis," adu gue ke Meira.

Gue bingung kewalahan.

Meira sudah dijemput, dan gue belum.

Menghindari terjadinya gagal move on, gue putuskan untuk berpura-pura.

"Makasih kak," kata gue dan ngasih kembali hp itu.

Kak El hanya ngangguk dan pergi.

Gimana gue pulangnya ini?! Batin gue

Di tengah kebingungan gue, derum motor terdengar oleh telinga gue.

Gue pun menoleh ke asal suara.

Cowok itu melambaikan tangan menyuruh gue menghampirinya.

Gue nurut anehnya.

Setelah cowok itu buka helmnya, "kenapa gak bilang kalo pulsanya abis?"

6 kata dari pertanyaan dia aja udah bikin deg-deg an.

Belum gue jawab, Kak El ngomong lagi.

"Sini, gue anterin"

"HAH?!" kali ini 3 kata darinya udah buat jantung gue merosot.

Gue mau move on! Ga boleh!

Gimana cara gue nolaknya?

Tin tinn

Klakson mobil mengalihkan perhatian kami.

Pak Anto keluar dari mobil dan lari ke gue.

"Maaf neng telat, bannya kempes tadi.." kata dia.

"Makasih ya kak, tawarannya. Duluan," pamit gue.

Gue jalan dan masuk mobil.

Ada rasa senang saat Kak El memberi tawaran itu ke gue. Tapi, kenapa baru sekarang? Disaat gue memutuskan untuk move on. Ini salah.

Gue pilih Meira.
Gue harus relain dia.

*

Vomment ya😉

Cek work baru aku, 'SEBUAH KARYA' isinya quotes" gitu.

Salam, author 😋

MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang