June pulang kerumahnya begitu matahari memaksanya untuk membuka mata.
Semalam, June menginap dirumah Rose.
Dan berkat sebuah kesepakatan yang sama sama mereka setujui, June merasa ia baru saja mendapat anugrah dari tuhan.
Kesepakatan yang terjadi antara dirinya dan Rose. Yang pertama, Rose dan June mulai berteman, karna jujur saja dan bukan apa apa.
June nyaman bercerita dengan Rose, sejak semalam, June menceritakan Saeron yang masih dicintai sekaligus dibenci June. Sampai pria itu menangis, dan tertidur dan…entahlah, mungkin June malu. June baru dua kali menangis di hadapan perempuan. Yang pertama ibunya, dan yang kedua Rose. Jadi, June merasa ia harus terus mendekati Rose agar gadis itu tudak membocorkan semuanya.
Sementara Rose, ia membuka gerbang pertemanannya dengan orang asing yang, hanya akan mengasihaninya, atau memang benar benar tulus? Rose tidak tau. Rose merasa, ini saatnya untuk kembali membuka semuanya pada seseorang. Bahkan orang asing lebih baik daripada orang yang sudah di kenalnya. Setidaknya Rose akan dikenal dan mengenal June. Seperti apa yang seharusnya.
Dan hari ini, Rose siap membuka lembaran terlarang pada June. Ah, tapi haruskah? Apa ini tidak berlebihan?
"Sudah siap? Huh, belum bersiap siap? Kau bilang kita akan-"
"Tunggu sebentar" sela Rose.
June datang lagi kerumah Rose setelah pulang, tadi. June sudah memakai setelan jas hitam, dan pantofel yang juga hitam. Sedangkan Rose masih memakai kaos hitam tipis, dan celana olahraga.
"Ada apa?" tanya June yang kali ini melihat Rose gelisah didalam kamarnya. Ada sebuah dress hitam, dengan pita putih dibagian pinggangnya. Terlihat mahal, seperti tidak pernah terpakai. "Kau bilang kita akan memulai pertemanan kita di rumah abu, setelah kau menemui seseorang" ucap June melembut, mengusap rambut Rose
"Ini dress- terakhir-"
"Aku tau," sela June kemudian memeluk Rose, sekedar menenangkannya. June tidak benar benar tau. Hanya saja, June tau kalau Rose berat mengenakan dress itu. Mungkin karna ini orang spesialnya? Orang tuanya mungkin? June rasa, itu hadiah atau mungkin baju pemakaman terakhir yang Rose pakai—sebelum mengucapkan selamat tinggal.
Dress hitam selutut, dengan pita di bagian pinggangnya, dan high heels yang Rose tidak ingat kapan terakhir kali memakainya. Yang pasti itu sudah lama sekali.
Rambut coklat keemasannya di kepang menyamping, dan sebuah tas yang berbeda dengan tas yang sering dipakainya. Tas keluaran terbaru pada jamannya, yang kini sudah terlihat kuno, tapi tetap bagus. Tentu saja karna tas itu dipakai Rose, dan memang tidak petnah keluar dari tempatnya.
Ah, dan jangan lupakan make up Rose, yang membuatnya terlihat semakin cantik. Walaupun bertahun tahun tidak mengenakan make up, setidaknya Rose tidak lupa caranya menggunakan make up.
"Cantik" celetuk June tanpa sadar. Rose tersenyum dan June salah tingkah, begitu menyadari ucapannya.
"Ini hari pertemanan kita, kuharap kau memberiku kesan yang baik" ucap June ditengah perjalanan kerumah abu.
"Apa aku bisa mempercayaimu, dengan benar? "
"Aku tidak tau" balas June, sembari melirik Rose. "Kau yang bisa menentukan sendiri. Aku sudah percaya padamu, dan, kurasa kau bisa berlajar mempercayaiku"
"Kenapa kau mau berteman denganku?"
"Tidak tau. Hanya, aku senang bercerita denganmu. Walaupun baru tadi malam, tapi kau membuatku merasa lega"
"Bukan karna kau mengasihaniku?"
"Bohong kalau aku tidak peduli padamu. Tapi kasihan? Kurasa aku tudak mengasihanimu," balas June. Rose ingin membalasnya juga, tapi June kembali membuka suaranya. "Rose, aku tau kau tidak butuh dikasihani, walupun dari matamu terlihat sangat berat. Ada ribuan kerikil menumpuk dipundakmu, ada ratusan meter tali mengikat dadamu hingga kau sangat sesak, tapi kau tidak terlihat seperti itu. Kau kuat, dan tidak ada yang bisa mengerti bagaimana kau berjalan mengikuti takdirmu. Kau, memang tidak menyembunyikan kesedihan itu dalam wajah ceriamu, seperti yang lain, tapi, dari raut wajahmu yang datar seperti jalan, dingin, dan sinis, kau terlihat memang tidak peduli. Kau terlihat tidak memiliki beban itu dan, kau berhasil menipu semua orang. "
"Aku tidak tau harus percaya pada ucapanmu atau tidak"
June menghentikan mobilnya dengan cepat. Untung saja, mereka sudah betada di area rumah abu. "Lihat aku kalau kau masih tidak percaya" ucap June kemudian, menatap mata Rose.
Rose menatap mata June mencari kebohongan dari sana. Tapi nihil. Yang Rose lihat hanyalah, June dengan tatapan lembut sama seperti… astaga, apa Rose bermimpi?
"Bagaimana aku bisa percaya denganmu? Kenapa kau berusaha membuatku untuk percaya denganmu? Kau hanya ingin tau hidupku, dan semuanya tentangku. Lalu setelah itu, kau pergi meninggalkanku. Kau- kau, sama seperti yang lainnya. Kenapa kau begitu mudah menerima pertemanan ini, sementara kau adalah orang asing yang, tidak ku kenali?" tanya Rose bertubi tubi.
"Karna aku tidak tau! Aku tidak tau, kau- kau membuatku sesak, sejak malam itu. Aku tidak tau apa yang ada dalam dirimu, tapi, sejak kita berdua terjebak hujan di depan toko waktu itu, kau membuatku sesak. Lalu aku kembali di hari berikutnya, kau… menyedihkan"
"Menyedihkan?" lirih Rose.
"Malam itu, aku melihatmu, menari, berlari, tersenyum, tertawa, dan menangis. Di depan caffe belakang agensi. Kau menyedihkan, saat itu aku ingin menhentikanmu, tapi melihatmu, aku- aku merasa sangat sesak. Sampai seorang pria datang membantumu, kalian terlihat bertengkar. Aku tidak tau apa yang kalian bicarakan, lalu kau pulang setelahnya. Aku tidak tau kenapa aku merasa sangat sesak, aku mencoba mengalihkanmu dari pikiranku, tapi itu tidak bisa"
"Itu sebabnya kau terus datang, ke Platte? Dan kau ingin mencari tahu tentaku"
"Ya, karna kau, misterius. Kau inspirasiku kalau aku boleh jujur"
"Inspirasi?"
"Untuk laguku"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain
FanfictionSatu hari yang mengubah segalanya. Dia, si gadis pelayan, yang meninggalkan sejuta kemewahan hanya karna satu alasan. Pria itu adalah alasannya menyukai hujan, "ada masanya kau tidak akan menyukai hujan lagi" pria itu mengatakan hal yang tak terduga...