Kilat Kebencian

5.8K 391 1
                                    

Ia menengok mencari suara yang menyambut kepulanganya dan kini tatapannya tertuju pada sosok laki-laki yang sedang menatapnya juga dengan sinis. Alih-alih menjawab pertanyaan dari sosok itu Revan malah mengabaikannya. Ia kembali melanjutkan langkahnya menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Laki-laki tadi yang tidak lain adalah kakak Revan mendengus kesal karena adiknya semakin hari semakin dingin dan kurang ajar. Jika hari-hari biasanya ia akan memahari sang adik maka tidak untuk hari ini. Rasa ibanya muncul untuk hari ini, karena melihat sang adik terlihat pucat. Sebenarnya kakak Revan tersebut peduli pada Revan, namun karena sesuatu hal rasa benci lebih menguasainya. Sesampainya di kamar Revan langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjangnya. Matanya kini menerawang melihat ke setiap sudut kamarnya. Tatapannya kosong dan tidak bermakna. Rasa sepi benar-benar menyiksanya. Matanya perlahan menutup dan akhirnya ia terlelap dalam dunia mimpinya. Masih dengan baju sekolah dan sepatu yang berteger di kakinya.

***

Tidak terasa waktu sudah beralih matahari sudah menuju peristirahatannya dan gelap kini mendominasi langit. Revan yang sejak tadi masih tertidur belum juga bangun masih asik dengan mimpinya yang entah buruk atau indah. Tanpa ia sadari seorang paruh baya sudah berada di kamarnya menatapnya iba. Wajah pucatnya yang damai terlihat sangat lelah. Membuat orang tersebut yang tak lain adalah pembantu di rumahnya tak tega membangunkannya. Namun, waktu memaksanya harus membuatnya bangun, dengan pelan-pelan ia membangunkan Revan.
"Den, bangun sudah magrib." Ucapnya dengan sangat lembut sambil mengusap rambut Revan penuh dengan kasih sayang. Hal ini wajar mengingat ia sudah merawat Revan sejak bayi karena ibu Revan yang sudah meninggal dan ayahnya yang sibuk. Sedangkan sang kakak tidak terlalu peduli dengannya. Perlahan matanya terbuka.

"Eumm iya mbok." Ucap Revan dengan suara parau.

"Aden mandi abis itu makan ya." Hanya anggukan dari Revan. Ia segera duduk dan melepas sepatunya. Lalu melangkah gontai menuju kamar mandi, sedangkan mbok Sumi hanya geleng-geleng melihat tingkah tuan mudanya itu. Mbok Sumi segera membereskan tempat tidur Revan, setelah itu menyiapkan baju Revan. Memang sudah jadi hal wajar untuk mbok Sumi menyiapkan semua kebutuhan Revan, walau Revan sudah beranjak dewasa. Namun, dimatanya Revan tetaplah Revan yang membutuhkan begitu besar akan sebuah kasih sayang.

"Den bajunya sudah mbok siapkan nanti langsung turun dan makan ya." Ucap mbok Sumi sebelum melangkah keluar dari kamar Revan.
15 menit kemudian Revan sudah selsai mandi dan keluar dari kamarnya menggunakan celana joger panjang dan t-shirt pendek polos. Ia berjalan menuruni tangga menuju ruang makan. Manik matanya menangkap seseorang yang bertahun-tahun membencinya sedang berada di meja makan juga. Sesampainya di meja makan ia langsung duduk dan mengacuhkan sosok yang sedang berada di depannya yang kini menatapnya sinis.

"Nggak usah natap gitu bisa kali." Ucap Revan datar sambil mengambil nasi dan lauknya. Bukan hal aneh lagi memang sudah seperti ini sejak dulu hanya ada sepatah atau dua patah kata antara keduanya. Walau dalam hati masing-masing rasa peduli itu ada.

"Kenapa tadi nggak masuk?" Tanyanya dengan nada datar dan masih dengan tatapan sinisnya.

"Bukan urusan loe, sejak kapan loe peduli sama gue?, gue kira loe nggak bakal peduli sama gue sampai gue nyusul mamah dan loe bakal bahagiakan bukannya itu yang loe mau?"

Deg...
Entah kenapa ucapan Revan barusan sangat menusuk hatinya. Ia memang membenci adiknya. Semua yang dikatakan adiknya barusan memanglah benar. Dulu ia ingin adiknya pergi, bukan mamahnya yang pergi. Namun sekarang entah kenapa ia tidak ingin adiknya pergi. Ia hanya bungkam tidak menanggapi adiknya.

"Kenapa loe diem?" Tanya Revan lagi karena tidak ada respon dari kakaknya, kecuali tatapan sinisnya. Kakaknya masih tetap diam, tersirat dari wajahnya jika ia ingin marah. Namun, entahlah ia masih ingin bungkam. Hingga akhirnya ia memutuskan pergi, meninggalkan sang adik sendirian.

"Dasar aneh." Ucap Revan sambil menatap sang kakak dengan tatapan sinisnya. Sedangkan sang kakak hanya diam. Aneh memang untuk Revan karena baru hari ini kakaknya diam tidak menanggapi ocehannya. Revan tidak ambil pusing dengan sikap kakaknya ia pun makan. Setelah ia makan ia berjalan menuju taman belakang dan langkahnya terhenti di trampolin ia merebahkan tubuhnya menatap langit penuh bintang.
"Bun, kapan Evan bisa sama bunda." Gumam Revan.
"Evan nggak pernah dapet kasih sayang bunda, Evan kangen Bun." Tak terasa bulir air mata mengalir membasahi pipi Revan. Lemah, ya seperti itulah sosok Revan ketika sedang sendirian.
"Hah bodoh ngapain juga gue ngeluh bodoh bodoh." Revan meruntuki dirinya sendiri ia segera bangun dari trampolin dan menghapus air matanya dengan kasar. Sejenak ia diam hingga tiba-tiba ia ingat dengan kartu nama yang diberikan oleh Andara. Raut wajahnya mendadak seumringah, dengan segera ia mengambil benda pipih dari sakunya dan kartu nama yang tadi. Ia pun mulai mengetik no HP yang tertera di kartu nama tersebut. Setelah itu ia menghubungi no tersebut dan tak perlu waktu lama terdengar suara lembut dari benda pipihnya.

"

Hallo siapa ini?" Tanya Andara yang belum mengetahui itu adalah Revan.
"Revan kak." Ucap Revan sambil duduk.

"Oh kamu hehe kirain siapa."

"Kakak lagi apa?"

"Lagi duduk aja, kamu sendiri?"

"Sama juga lagi duduk."

"Kamu ya ngikut aja hehe, udah makan belum kamu?"

"Dihh kakak yang ikut-ikut tuh hehe, udah dong kak, kalo kakak udah belum?"

"Kamu tuh kakak udah dari tadi tau duduknya, bagus deh kalo udah terus obatnya udah belum?, kakak juga udah kok dek barusan."

"Hehehe iya deh iya kak, ohh iya belum kak lupa hehe."

"Hehe gitu dong dek, minum dulu sana biar cepat sembuh dek ahh."
Revan diam merasakan sesuatu mengalir dari hidungnya ia segera meraba hidungnya dan cairan merah pekat ya itu yang Revan tahu.

"Ahh shit". Reflek Revan berteriak, membuat Andara kaget bukan main.

"Dek kamu kenapa?" Terdengar suara khawatir dari ponsel Revan. Pening kini yang Revan rasakan membuat ponselnya terjatuh pandangannya memburam. Darahnya masih saja mengalir dari hidungnya. Revan berusaha berdiri namun ia malah terjatuh dan ia tidak sadarkan diri sekarang. Kakak Revan yang sedari tadi memperhatikannya dari teras kaget bukan main ia segera berlari mendekati sang adik tidak ada rasa benci sekarang yang ada adalah rasa iba. Ia segera menggendong Revan masuk ke dalam.

Huahh mentok-mentok :-D aishh :-(
Butuh saran dan kritik :-D

Tentang Dia RevanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang