Kita Saudara, Tapi Kita Asing

4.1K 251 7
                                    

Sejak kejadian beberapa hari yang lalu Dara lebih sering mengunjungi Revan di sela-sela kesibukannya sebagai pelajar. Hari ini Dara dan Revan sedang duduk di bangku sebuah taman. Revan merengek ingin keluar dan berjalan-jalan walau hanya di sekitar komplek. Mereka sudah menghabiskan banyak waktu dengan naik sepeda dan makan es krim.
"Kak makasih ya udah ajak Evan main." Ucap Revan menyandarkan kepalanya pada bahu Dara, suaranya terdengar parau.
"Sama-sama dek kakak juga suka jalan sama kamu." Dara berucap sambil memeluk Revan dari samping.
"Udah mau magrib ayok pulang, kakak juga mau pulang soalnya nanti mamah nyariin." Tambah Dara dan Revan tidak membantah ia mengangguk lalu bangkit dari tempat duduknya diikuti Dara. Keduanya langsung berjalan saling menggenggam. Entah kenapa rasa nyaman selalu muncul baik Dara maupun Revan. Padahal keduanya baru kenal beberapa hari ini, Revan yang sebenarnya bukan tipikal orang yang mudah akrab, tapi dengan Dara ia merasa nyaman. Setelah berjalan 15 menit mereka akhirnya sampai. Napas Revan sudah terlihat sangat berat padahal ia baru berjalan 15 menit. Tapi, karena tubuhnya yang memang tidak fit itu membuatnya lelah.
"Beneran nggak papa nih kamu dek?" Tanya Dara dengan nada khawatir. Revan tersenyum lalu berkata.
"Iya nggak apa-apa koq, kakak hati-hati ya pulangnya kalo udah sampai hubungi Evan kak." Setelahnya Dara masuk ke dalam mobil. Setelah memastikan sang kakak pergi Revan duduk diteras sambil mengatur deru napasnya. Rasanya sangat lelah padahal ia hanya berjalan sekitar 15 menit. Sedangkan dulu sebelum sakit itu datang ia bermain basket tidak pernah merasa capek.

"Den kenapa nggak masuk?" Tanya mang Didin tukang kebun rumah Revan, sekaligus suami mbok Sumi. Revan sedikit terlonjak kaget.
"Ehh mang ngagetin aja, capek jadi istirahat bentar mang." Ucap Revan sambil memerkan senyumnya. Revan memang sosok ramah berbeda dengan sang kakak yang lebih dingin terhadap orang lain.
"Ya sudah mamang masuk dulu ya." Revan hanya mengangguk. Sepeninggalan mang Didin, Revan berdiri lalu masuk dengan langkah gontai. Ia segera berjalan ke dapur dan dilihatnya mbok Sumi sedang memasak. Revan segera menghampiri mbok Sumi.
"Mbok masak apa hari ini?" Tanya Revan sambil berdiri di samping mbok Sumi. Mbok Sumi terlihat terlonjak kaget.
"Ehh den Evan kebiasaan deh ngagetin mulu, ini masak kesukaan den Evan sama den Ival." Ucap mbok Sumi sambil menatap sekilas tuan mudanya, lalu lanjut memasak.
"Oh gitu iya deh yaudah Evan ke kamar dulu ya hehe."
"Iya, nanti kalo udah matang mbok panggil, den mandi pake air hangat ya mukanya pucat tuh."
"Iya mbok, oke hehe." Revan segera menuju kamarnya dengan langkah yang gontai. Ia dapat merasakan tubuhnya kembali demam. Ia jadi lebih sering terserang demam akhir-akhir ini. Belum lagi ia juga merasa napasnya sudah tidak selancar sebelumnya. Revan menghentikan langkahnya tepat pada pijakan ketiga tangga. Ia merasakan kepalanya sangat pusing. Ia mendudukkan dirinya dan menyenderkan kepalanya. Satu tetes darah kembali keluar dari hidung mancungnya. Revan hanya bisa terdiam membiarkan tubuhnya meluruh, ia sudah tidak kuat. Ia tidak bisa melakukan apa-apa sekarang. Kepalanya benar-benar pusing, pandangannya mulai kabur. Ia hanya berharap seseorang datang membantunya dan tidak lama seseorang benar-benar datang.
"Loe kenapa?" Tanya orang itu dengan suara yang terdengar datar. Revan mendongak menatap sang empunya suara. Dilihatnya sang kakak berdiri di depannya. Tapi, gelap tiba-tiba menghampirinya. Tubuhnya meluruh, untung dengan sigap Rival menompangnya.
"Bisanya nyusahin orang." Gerutu Rival, tapi meskipun menggerutu ia tetap membantu Revan. Rival mengangkat tubuh Revan, menuju kamar Revan. Ia langsung merebahkan tubuh kecil itu di ranjang. Rival segera mengambil tissue untuk membersihkan bercak darah yang mengotori wajah Revan. Setelahnya, ia mengganti baju Revan. Mengambil baskom berisi air untuk mengompres Revan. Sambil mengompres ia menatap lekat wajah adik yang selama ini ia benci dengan alasan yang konyol. Hanya karena kematian bundanya. Revan mengerejapkan matanya, rasanya masih pening. Ia menatap samar seseorang disampingnya. Rival, lagi-lagi orang itu yang ada didekatnya saat ia sakit seperti ini.
"Udah sadar loe, kirain nggak akan sadar selamanya." Ucap Rival ketika menyadari sang adik sudah sadar, tapi lain di lubuk hatinya, ia mengucapkan syukur karena adiknya kembali sadar. Ucapan Rival cukup menyakitkan bagi Revan. Ia hanya bisa tersenyum kecut.
"Kalo mau gue tidur selamanya, kenapa loe nolongin gue?" Tanya Revan dengan suara parau nya.
"Karena ayah nyuruh gue jagain loe, kalo gue nggak nurut fasilitas yang ayah kasih ke gue bakal dia ambil." Ucap Rival yang bangkit dari duduknya, lalu keluar meninggalkan Revan yang sedang terkulai lemah.
"Gue nggak akan nyusahin loe terus, makasih udah bantuin gue lagi." Ucap Revan, Rival mendengarnya tapi ia abai, ia segera menuju kamarnya. Revan hanya tersenyum miris ketika melihat tubuh sang kakak sudah lenyap di balik pintu. Padahal ia berharap bahwa sang kakak akan mengurusnya. Saat ini ia butuh seseorang untuk membantunya. Revan mengalihkan handuk kecil yang bertengger di keningnya, lalu dengan pelan ia duduk.

Tentang Dia RevanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang