Sejak sakitnya beberapa hari lalu Revan memang sempat sehat. Tapi hari ini ia kembali ambruk, bahkan seharian ini Revan hanya bisa berbaring di ranjangnya. Ia merasakan tubuhnya sangat lemas. Ia sadar bahwa sakitnya sudah tidak lagi bisa ia anggap remeh. Bahkan untuk duduk rasanya tubuhnya sudah tidak lagi kuat. Ia berkali-kali mimisan.
"Loe mau ke rumah sakit?" Tanya Rival yang tiba-tiba datang ke kamar Revan sambil membawa semangkuk bubur instan yang ia buat. Ia berjalan mendekati Revan yang sudah terkulai lemah. Revan hanya menatap kakaknya.
"Kalo mau ayok. Daripada loe gini, nanti kalo ada apa-apa gue juga yang kena omel ayah." Rival menatap sang adik.
"Nggak usah gue nggak papa, bukannya ini yang loe mau kak?"
"Loe udah sekarat gini aja masih keras kepala." Omel Rival.
"Bentar lagi gue juga mati." Ucap Revan asal dan membuat Rival kesal.
"Nggak usah ngaco.""Bukannya loe suka kalo gue mati dan itu kemauan loe dari dulukan?"
"Van bisa diem nggak!!!" Rival tidak bisa lagi mengontrol emosinya. Rasanya sakit mendengar ucapan Revan."Nggak usah bahas itu, loe lagi sakit nggak usah sok kuat. Sekarang makan terus minum obat kalo nggak mau ke Rumah Sakit." Seru Rival menurunkan nada bicaranya. Revan hanya menatap sang kakak jengah.
"Nggak mau makan, rasanya mual." Keluh Revan.
"Yaudah terserah. Gue udah peduli sama loe tapi loe gini, terus gue harus gimana?"
"Loe cuma pura-pura peduli sama gue kak dan gue nggak suka." Lirih Revan sambil memejamkan matanya. Karena kepalanya kini sangat pusing. Rival menghela napasnya dan menatap sang adik. Revan hanya diam menahan semua rasa sakitnya.
"Mau gue telponin ayah?" Tanya Rival dengan suara lebih lembut, sangat berbeda dari biasanya.
"Nggak usah." Lirih Revan. Lagi-lagi Rival menghela napasnya. Ia bingung harus berbuat apa.
"Ini nggak mau itu nggak mau terus mau loe apa sih hah? Jangan bikin gue panik dong." Seru Rival.
"Mau kak Dara." Ucap Revan yang membuat Rival bingung.
"Kak Dara?" Revan mengangguk ia butuh sosok Dara saat ini.
"Tolong teleponin dia please." Revan membuka matanya.
"Yaudah sini." Rival mengambil HP Revan yang terletak di meja kecil sampingnya.
"HP loe nggak pernah loe kunci?" Tanya Rival sambil mencari no yang Revan maksud.
"Buat apa, lagian nggak ada apa-apanya." Lirih Revan.
"Yang ini no nya bukan?" Rival menunjukkan kontak yang Revan maksud, ia memastikan jika itu benar no nya. Revan hanya mengangguk. Setelahnya Rival segera menghubungi no tersebut. Tak menunggu lama akhirnya telepon mereka tersambung.
"Hallo, ada apa dek?" Seru Dara dari sebrang telepon.
"Ini bukan Revan, gue kakaknya dia, loe bisa ke sini adik gue sakit dan minta buat teleponin loe." Ujar Rival. Revan yang mendengar ucapan sang kakak hanya tersenyum. Apa ia tidak salah dengar kakaknya mengakuinya sebagai adiknya.
"Revan sakit? Oke oke aku segera kesana setelah ini, tolong temenin dia dulu ya." Terdengar suara khawatir dari Dara.
"Oke..." Rival langsung menutup teleponnya.
"Udah, katanya bentar lagi dia kesini." Rival meletakkan kembali ponsel milik Revan.
"Makasih kak, udah baik sama gue hari ini." Lirih Revan. Beberapa Minggu belakangan ini keduanya memang terlihat dekat, melihat kondisi kesehatan Revan yang sering kali memburuk membuat Rival juga merasa iba. Nyatanya ia tidak seburuk itu, ia juga manusia yang punya hati. Meskipun rasa kesalnya pada Revan belum bisa ia hilangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Dia Revan
Novela JuvenilIni tuh cuma cerita seorang Revan yang jalani hari-harinya sebagai penderita kanker. Cara dia lewatin masa sulitnya. Selesaiin semua harapannya dan belajar ikhlas menjalani hidupnya. Nggak lebih dari itu semua, ini cerita pertamaku. Makasih ya udah...