"Stay strong. Make them wonder how you're still smiling."
Revan terdiam menatap sekelilingnya, sungguh ia sudah bosan dengan bau rumah sakit. Tapi, tubuhnya terus menolak untuk pulih. 3 hari sudah ia lewati hari-hari membosankan di ruang rawatnya. Tapi, ada beberapa hal juga yang ia syukuri. Salah satunya adalah kedekatannya dengan sang kakak. Entah ada angin apa, tapi Rival berubah meskipun terkadang ia juga menyebalkan. Tapi, selama Revan di rawat Rival sangat peduli dengan kondisi fisiknya. Kakaknya itu merawatnya dengan baik. Saat ini belum ada yang menengok Revan. Dara masih ke kampus, begitu pula dengan Rival. Kedua sahabatnya masih sekolah. Revan hanya bisa berbaring sambil sesekali melihat televisi. Ayahnya belum tau tentang kondisi dirinya. Mbok Sumi juga belum kunjung kembali. Karena saudaranya akan menikah. Revan duduk dengan perlahan. Ia ingin sekedar berjalan keluar kamar. Revan perlahan beranjak dari ranjangnya. Berdiri dengan bertumpu pada tiang infus. Setelah dirasa tubuhnya bisa berdiri tegak dengan baik. Ia melangkah dengan pelan keluar kamar. Ia tersenyum tipis akhirnya bisa melihat kembali dunia luar. Meski kali ini yang ia lihat hanya orang-orang pucat, wajah-wajah putus asa, kelelahan dari dokter dan juga perawat. Revan tak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berurusan dengan Rumah Sakit. Karena ia sangat membenci Rumah Sakit sejak kecil. Revan berjalan menuju taman Rumah Sakit. Ia mencari tempat teduh untuk duduk.
"Hah, capek banget jalan bentar juga." Gumamnya sambil menghela nafas dan duduk di kursi bawah pohon besar. Ia memejamkan matanya sebentar sembari menghirup udara segar. Rasa sejuk dari sepoi-sepoi angin membuatnya lebih relaks.
"Hah hah hah, bo-bo-leh ikut duduk nggak." Ucap seseorang yang membuat Revan membuka matanya dan ia cukup terkejut. Seorang anak laki-laki berada di sampingnya dengan napas tersengal-sengal dan cucuran keringat. Ia juga menggunakan baju pasien sama dengannya. Revan diam sejenak sebelum mengiyakan anak itu ikut duduk di sampingnya.
"Boleh." Ujarnya sambil menggeser badannya. Anak itu langsung duduk sambil mengatur napasnya yang berat dan terdengar mengi. Sesekali anak itu terbatuk.
"Napas, pelan-pelan, tarik napas hembuskan, tenang oke tenang." Revan membantu agar anak itu kembali bernapas normal. Ia mendengar komando dari Revan. Perlahan ia bisa bernapas normal lagi.
"Udah enakan?" Tanya Revan memastikan, anak itu mengangguk.
"Makasih kak." Ucap anak itu sambil melihat Revan.
"Sama-sama."
"Kamu kenapa?" Tanya Revan, saat melihat gelagat anak itu yang celingukan seperti mencari seseorang, tapi dengan wajah takut.
"Takut disuntik." Ujarnya dan berhasil membuat Revan tertawa.
"Kenapa takut?"
"Bosen, nggak mau sakit lagi." Ujar anak itu dengan raut wajah yang memelas.
"Bosen? Emangnya kamu sering di suntik?" Wajah Revan berubah serius.
"Iya dan aku gamau lagi."
"Jadi ini kamu kabur." Anak itu mengangguk.
"Haishhh, anak nakal." Spontan saja kalimat tersebut keluar dari mulut Revan.
"Aku, bukan anak nakal." Bantah anak itu.
"Terus kenapa kabur, kalo nggak nakal?"
"Karena aku gamau disuntik, aku udah capek." Keluh anak itu sambil menunduk.
"Emangnya kamu sakit apa?" Tanya Revan pelan-pelan, takut anak itu marah karena Revan menanyakan hal privasi. Anak itu terdiam, ahh dan dia menangis.
"Kalo nggak mau kasih tau kakak nggak papa, tapi jangan nangis ya.." Revan merasa bersalah dan langsung memeluk anak itu. Anak itu semakin kuat menangisnya dan membuat Revan bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Dia Revan
Teen FictionIni tuh cuma cerita seorang Revan yang jalani hari-harinya sebagai penderita kanker. Cara dia lewatin masa sulitnya. Selesaiin semua harapannya dan belajar ikhlas menjalani hidupnya. Nggak lebih dari itu semua, ini cerita pertamaku. Makasih ya udah...