Andara masih setia menatap lekat-lekat Revan yang masih bergulat dengan alam bawah sadarnya. Wajahnya terlihat damai, walaupun wajahnya sangat pucat.
"Euggh.." Lenguhan itu terucap dari bibir pucat Revan, mata sayunya mulai terbuka. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Kamu udah sadar?" Tanya Andara sambil membelai pucuk kepala milik Revan. Revan hanya mengangguk sambil menatap heran Andara yang kini berada disampingnya.
"Jangan heran gitu saya bukan orang jahat kok." Ucap Andara yang sadar akan tatapan Revan.
"Hm iya maaf, kamu siapa?"
"Iya nggak papa, ahh iya kenalkan nama saya Andara saya putri dokter Nerin," ucap Andara memperkenalkan dirinya. Revan hanya mengangguk. Kini keheningan melanda mereka. Tak ada sepatah katapun dari mereka, canggung itu yang mereka rasakan. Namun, Andara tidak suka dengan kecanggungan ini hingga ia kembali mengajak Revan berbicara.
"Kamu kelas berapa?" Tanya Andara memecah keheningan.
"Kelas 11 kak." Jawab Revan sedikit canggung. Andara tersenyum ketika mendengar Revan memanggilnya dengan sebutan kak.
"Wah kakak kira kamu baru kelas sembilan hehe."
"Emang muka Evan kayak anak SMP ya?"
"Iya kamu masih imut-imut gini sih." Ucap Andara sambil mencubit gemas pipi Revan.
"Aishh menyebalkan." Rajuk Revan membuat Andara semakin gemas dengannya. Entah kenapa mereka terlihat sangat akrab walau perkenalan mereka begitu singkat. Seakan ada sebuah kecocokan saat mereka berbicara. Revan merasa memiliki kakak perempuan yang ia impikan sejak dulu, sedangkan Andara merasakan kembali kehadiran Navin adik lelaki satu-satunya yang kini telah tiada.
"Hehe kamu lucu deh kalo gini jadi pingin cubitin pipi kamu terus nih."
"Ehh jangan ihh nanti pipi Evan gembil ahh nggak mau," ucap Revan dengan reflek ia menutupi wajahnya, membuat Andara terkekeh melihatnya.
"Biarin aja biar lucu dek." Ucap Andara jahil dengan menarik tangan Revan.
"Jangan nanti fans Evan disekolah ngilang hehe." Dengan PDnya Revan mengucapkan ketenarannya di sekolah. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa Revan memang memiliki visual yang mampu menarik perhatian lawan jenisnya tidak terkecuali Andara.
"Dasar ihh PD amat sih kamu dek hehe."
"Biarin aja hehe." Suasana diantara mereka semakin terlihat akrab, mereka larut dengan kebersamaan. Hingga tidak menyadari bahwa sejak tadi dokter Nerin menatapnya dengan rasa bahagia. Ia bahagia karena Revan akrab dengan Andara. Setidaknya hubungan mereka dapat mengobati luka lama Andara. Dokter Nerin melangkah masuk menemui mereka setelah tadi hanya berdiam di ambang pintu.
"Kamu sudah sadar Van?" Tanya dokter Nerin yang membuat keduanya terkejut. Lalu, Revan mengangguk merespon ucapan dokter Nerin.
"Saya nggak perlu dirawatkan dok?" Tanya Revan dengan menatap penuh harap pada dokter Nerin.
"Hm, seharusnya kamu di rawat di sini dan yang paling penting kamu hubungi orang tua kamu sekarang Van, mereka harus tau keadaan kamu semakin memburuk, kamu nggak teratur minum obat sepertinya jadi kondisimu semakin memburuk." Mendengar ucapan dokter Nerin, Revan hanya tersenyum tipis.
"Saya mau pulang dok, saya sudah membaik kok, dan ortu saya nggak boleh tau tentang ini, saya masih sanggup buat jalani ini sendirian kok, dan soal kondisi saya itu karena akhir-akhir ini saya sibuk dok." Revan mengalihkan pandangannya dari matanya terlihat jelas banyak beban yang membelitnya. Andara yang mendengar penuturan Revan sangat iba dengan Revan. Namun, disisi lain Andara kagum akan semangat Revan.
"Hm ya sudah jika itu mau kamu Van, kamu boleh pulang tapi ingat kamu harus jaga kondisi kamu sampai benar-benar membaik ya, banyak istirahat dan minum air putih biar cepat pulih oke." Dokter Nerin berucap sambil membelai surai hitam milik Revan.
"Kakak antar kamu pulang ya?" Tawar Andara pada Revan. Revan ingin menolaknya. Namun, dokter Nerin juga menyarankan agar Revan pulang dengan Andara. Mau tak mau ia harus menerimanya.
"Kalo gitu sini infusnya dokter lepas dulu." Ucap dokter Nerin dan Revan langsung duduk dibantu Andara. Dokter Nerin segera melepas infus yang menancap di punggung lengan Revan dengan hati-hati. Setelah sudah dilepas Revan turun dari ranjang dibantu Andara dan memakai jaketnya. Sebenarnya badannya masih terasa ngilu dan lemas. Namun, jika ia tidak pulang hari ini maka ia akan terkena omel.
"Ayok Van," ajak Andara sambil menggenggam tangan Revan. Revan hanya mengangguk lalu melangkahkan kakinya.
"Andara sama Revan duluan ya mah." Pamit Andara dan dokter Nerin hanya tersenyum sambil mengangguk. Keduanya berjalan beriringan. Selama berjalan tak ada sepatah katapun terucap dari Revan dan Andara. Tidak perlu waktu lama akhirnya mereka sampai diparkiran dan menuju mobil Andara. Andara membukakan pintu mobilnya dan membantu Revan masuk. Setelah itu ia masuk ke bagian kemudi. Andara langsung menyalakan mobilnya dan membayar parkir. Setelahnya ia langsung menancap gas. Hening itu yang terjadi Andara fokus ke jalan, sedangkan Revan menatap nanar ke luar jendela. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Selulas senyum langsung terpampang dari wajahnya. Hal itu membuat Andara mengerutkan dahinya aneh.
"Dihh, kamu kenapa dek?" Tanya Andara heran.
"Ehh hah hehe nggak." Jawab Revan gugup.
"Dasar kamu ya,"
"Apa sih kak, kak boleh nggak Evan main hujan, Evan turun sini aja kak ya?"
"Nggak kakak nggak izinin udah diem nanti kamu makin sakit."
"Biarin aja toh nggak akan ada yang peduli saat Evan sakit." Ucap Revan yang membuat Dara menginjak rem dadakan. Manik mata Andara langsung tertuju pada Revan entah kenapa mendengar ucapan Revan barusan membuatnya merasa pilu. Sedangkan Revan, hanya diam.
"Kamu jangan bilang gitu sekarang udah ada kakak dan mamah kakak dek kita peduli sama kamu." Ucap Andara menggenggam erat tangan Revan. Revan hanya menatap Andara dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Jangan bilang kayak gitu lagi ya." Andara melepaskan genggamannya dan mengacak rambut Revan. Lalu, menyalakan kembali mesin mobilnya dan menacap gasnya lagi.
15 menit kemudian mereka sudah sampai di depan sebuah rumah megah bercat putih dengan pilar-pilar besar yang menyanggahnya.
"Makasih ya kak." Ucap Revan sebelum keluar dari mobil.
"Sama-sama dek," seulas senyum merekah dari bibir merah Andara.
"Kakak hati-hati ya, Evan masuk dulu, sampai ketemu lain waktu kak." Ucap Revan sambil membuka pintu dan keluar. Ketika ia mulai melangkah. Namun, langkahnya terhenti ketika Andara meneriakkan sesuatu.
"Eh bentar ini kartu nama kakak kalo ada apa-apa hubungi kakak oke." Revan membalikan badannya dan menerima kartu nama dari Andara. Kontak mata terjadi diantara mereka.
"Kakak pulang dulu ya, nanti hubungi kakak oke." Ucap Andara sambil menutup jendela mobilnya dan Revan mengangguk. Setelah itu Revan berjalan masuk ke dalam rumah dengan langkahnya yang pelan. Kepalanya masih terasa berat dan pusing.
"Bagus ya jam segini baru pulang." Langkah Revan terhenti saat ia sudah berada di ruang tamu. Karena suara intens yang menyambut kepulangannya.
Jangan lupa singgah, kasih saran, dan tinggalkan jejak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Dia Revan
Fiksi RemajaIni tuh cuma cerita seorang Revan yang jalani hari-harinya sebagai penderita kanker. Cara dia lewatin masa sulitnya. Selesaiin semua harapannya dan belajar ikhlas menjalani hidupnya. Nggak lebih dari itu semua, ini cerita pertamaku. Makasih ya udah...