Bagaimanapun rumah adalah tempat paling nyaman untuk singgah dari gemuruhnya masalah kehidupan. Hari ini Revan bernapas lebih lega karena bisa kembali ke rumahnya. Setelah beberapa hari ia harus berada di Rumah Sakit. Hari ini ia dijemput Rival, karena ayahnya harus mengurus pekerjaan. Kedua sahabatnya sedang sibuk dan Dara juga sama sibuknya.
"Kak, gue boleh minta permintaan sama loe?" Tanya Revan membuka pembicaraan yang sejak tadi hanya diam selama perjalanan. Tak ada jawaban dari Rival. Bahkan ia tidak bergeming sama sekali dengan ucapan Revan.
"Kalo diem berarti nggak boleh ya?" Tanya Revan sambil menatap wajah Rival.
"Apa?" Akhirnya satu kata itu keluar dari mulut Rival meskipun dengan ketus.
"Mau itu main sama loe." Ucap Revan lirih.
"Kalo ngomong tuh yang jelas, nggak denger gue."
"Mau main sama loe, bisa?" Revan mengeraskan suaranya.
"Nggak usah teriak juga." Rival melirik sekilas wajah Revan.
"Ribet banget sih, kalo nggak mau yaudah." Revan cukup kesal dengan kelakuan kakaknya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Mangkanya kalo ngomong tuh yang jelas dan sopan. Jangan ngang ngong doang. Sekalinya bener teriak-teriak nggak sopan itu." Rival menghentikan mobilnya tepat di garasi rumahnya. Tanpa menanggapi ucapan sang kakak Revan langsung beranjak keluar. Tapi kondisinya yang masih lemas membuatnya hampir tersungkur. Melihat hal tersebut Rival ikut keluar dan menahan tubuh Revan.
"Nggak usah sok kuat, loe tuh masih lemes." Revan hanya diam saja.
"Kuat nggak masuk rumah atau perlu gue gendong?"
"Gue bisa sendiri awas." Revan berusaha berdiri tegak tanpa bantuan Rival, ia menghempas tangan Rival yang menompangnya. Ia berjalan pelan, tapi baru berapa langkah tubuhnya terhuyung. Untung saja Rival dengan sigap kembali menahan tubuh ringkih itu.
"Kan kepala batu emang anaknya." Rival yang geram, langsung menggendong tubuh kecil Revan. Tak ada lagi perlawanan dari Revan. Ia hanya menurut pada sang kakak. Rival membawa Revan langsung ke kamarnya. Tidak ada orang di rumah sepertinya mbok Sumi sedang berbelanja.
"Istirahat..." Rival mendaratkan tubuh Revan di ranjang. Tak ada jawaban dari anak itu. Ia masih saja bungkam enggan menanggapi kakaknya.
"Udah nggak usah sok ngambek gitu, jaga kondisi dulu kalo udah baikan kita keluar." Ucap Rival sambil menatap Revan.
"Main sesuai permintaan loe, gimana jadi nggak?"
"Beneran mau? Oke kalo gitu." Rival hanya berdehem.
"Makasih kak." Revan langsung memeluk tubuh Rival.
"Belum juga jalan udah makasih aja." Rival membiarkan Revan memeluknya untuk pertama kalinya, setelah sekian lama.
"Yang penting udah punya rencana." Revan masih memeluk Rival.
"Iya iya, yaudah lepas sekarang istirahat." Revan melepaskan pelukannya dan menatap Rival.
"Kak loe udah sayang gue kan?" Manik matanya tak lepas dari Rival.
"Udah udah mending loe istirahat dulu."
"Jawab dulu, lagian gue males istirahat mulu."
"Van sayang nggaknya gue sama loe itu nggak harus gue bilang ke loe kan, udah deh nggak usah dipikirin. Terus kalo nggak istirahat mau apa?" Rival mengurungkan niatnya untuk keluar dari kamar Revan.
"Iya iya deh, mau sama loe aja bisakan?" Rival terlihat menimang permintaan adiknya. Seperkian detik setelahnya ia mengangguk.
"Makasih hehe." Raut wajah Revan terlihat bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Dia Revan
Teen FictionIni tuh cuma cerita seorang Revan yang jalani hari-harinya sebagai penderita kanker. Cara dia lewatin masa sulitnya. Selesaiin semua harapannya dan belajar ikhlas menjalani hidupnya. Nggak lebih dari itu semua, ini cerita pertamaku. Makasih ya udah...