Sandiwara yang Membuat Keduanya Dekat

3.5K 239 6
                                    

Pagi ini Revan terlihat tidak semangat. Tubuhnya terasa letih, entah kenapa tapi kemungkinan besarnya adalah bahwa penyakitnya mungkin semakin parah. Revan berjalan gontai menuruni anak tangga menuju meja makan. Di sana sudah ada ayah dan kakaknya. Entah kapan ayahnya pulang tapi pagi ini ia sudah melihatnya dirumah ini lagi, setelah beberapa Minggu ayahnya keluar kota.
"Pagi ayah, pagi kak." Sapa Revan lalu mendudukan dirinya disebelah Rival.
"Ayah kapan sampai?" Tanya Revan dengan suara yang terdengar lemah.
"Semalam, kamu kenapa lemes banget?" Rafi memandangi tubuh sang anak yang terlihat loyo itu.
"Revan nggak papa yah."
"Beneran?" Rafi segera memegang kening Revan. Rasa hangat menyambut telapak tangannya saat bersentuhan dengan kening Revan.
"Demam loh ini, nggak usah sekolah dulu ya." Raut wajah khawatir terlihat dari lelaki paruh baya itu.
"Revan sekolah aja nggak papa yah. Udah minum obat kok. Ada ulangan harian."
"Kalo ayah bilang istirahat ya istirahat aja Van, kan bisa nyusul ulangannya." Ucap Rival ikut menimbrung, suara Rival tidak sedingin biasanya. Terdengar ramah.
"Gue nggak papa koq, masih kuat sekolah." Ucap Revan berseri keras untuk sekolah.
"Yaudah sekarang sarapan, nanti berangkatnya sama kakak aja kamu Van."
"Revan bisa sendiri yah, kakak juga pasti sibuk."
"Loe berangkat sama gue." Revan hanya menatap sang kakak, lalu melanjutkan sarapannya.
"Iya kak, nanti anterin adeknya sampe sekolah ya."
"Siap yah, tenang aja."
"Yaudah lanjut makan." Keduanya mengangguk.
"Ayah suka kalian akur gini, kalian harus akur-akur ya." Ucap Rafi sambil memandang anaknya satu-satu. Baginya hal seperti ini memang sederhana. Namun, membuatnya senang. Apalagi jika ada sang istri mungkin kebahagiaannya akan berkali lipat. Revan dan Rival hanya tesenyum.
"Seandainya ayah tau semua ini hanya omong kosong, kakak nggak sebaik itu sama Revan yah." Gumam Revan dalam diamnya.
"Ayah berangkat dulu ya, soalnya ada berkas yang harus ayah tanda tangani." Ucap Rafi sambil meneguk segelas susu putih miliknya.
"Ayah nggak capek? Padahal baru pulang?" Tanya Revan, ia cukup khawatir dengan kesehatan sang ayah karena sejak dulu ayahnya itu gila kerja, tapi ayah bilang itu udah jadi tanggung jawabnya dan ia menjalaninya dengan ikhlas. Ia hanya tak ingin anak-anaknya kekurangan.
"Nggak udah biasa kok, yaudah berangkat ya."Setelahnya Rafi menenteng tas kerjanya.
"Nanti malam kalo kalian nggak ada acara ayah mau ngajak kalian pergi." Ucap Rafi sebelum ia beranjak.
"Tumben, kemana yah?" Tanya Revan kali ini.
"Rahasia." Jawab Rafi dan segera berlari kecil keluar rumah karena ia bisa terlambat jika menanggapi ucapan anaknya. Setelah ayah mereka pergi. Rival dan Revan yang sudah selsai juga berangkat. Hari ini Rival menghantar adiknya terlebih dahulu. Selama perjalanan mereka hanya saling diam. Tidak butuh waktu yang lama akhirnya mereka sampai.
"Gue masuk dulu kak, nanti nggak perlu jemput kak gue ada urusan soalnya. Hati-hati kak." Ucap Revan keluar dari dalam mobil.
"Siapa juga yang mau jemput loe." Ucap Rival menonjolkan kepalanya. Sifatnya kembali dingin. Rival segera meninggalkan sekolah Revan.
"Mau sampai kapan sih kak, gue capek gini terus, gue juga nggak mau bunda pergi." Gumam Revan sambil mengenakan kupluk jaketnya. Lalu ia berjalan masuk bersama anak-anak lain yang juga masuk ke dalam sekolahan. Sepanjang koridor banyak mata yang menuju pada Revan. Membuat Revan risih. Ia baru ingat jika kemarin dia pingsan dan membuat kegaduhan. Mungkin ini juga yang membuat banyak mata yang menatapnya. Revan segera berlari menuju kelasnya. Setelah sampai di kelas ia mendudukan dirinya di bangkunya. Sambil mengatur nafasnya yang entah kenapa akhir-akhir ini selalu tidak normal jika di bawa lari sebentar saja.
"Abis dikejar anjing loe Van atau kakak kelas genit." Ucap Zefan sambil menepuk pundak Revan.
"Nggak dua-duanya." Napasnya mulai normal kembali.
"Terus kenapa lari-lari sampe nafas loe gitu?"
"Olahraga aja biar sehat gue."
"Aishh dasar aneh, oh ya Van loe ditanyain pak Aris kenapa jarang basket dan kalo loe nggak masuk lagi posisi kapten basket loe bakal dipindahin ke si Bagas." Ucapan Zefan kali ini membuatnya menyeritkan dahinya dan sejenak berpikir. Ia baru ingat jika sudah satu bulan ini ia jarang basket karena tubuhnya yang tidak mendukung. Ia lepas dari tanggung jawabnya sebagai kapten. Pantas saja jika guru pembina eskul mencari penggantinya. Revan merasa tak terima dengan semua ini tapi bagaimanapun tubuhnya sudah tidak ingin ia bawa basket seperti dulu. Mungkin sudah waktunya ia mengistirahatkan tubuhnya yang manja. Merelakan jabatannya kepada orang yang lebih baik. Tapi sepertinya ia kurang setuju jika yang menggantikannya adalah Bagas. Revan menghembuskan nafas kasar.
"Gue harap loe masuk lagi eskul Van, gue nggak suka kalo harus diketuai sama si Bagas. Dia songong kalo main sendiri jarang mau bagi sama team. Kalo loe keluar gue juga ikut keluar Van." Ucap Zefan sambil fokus kembali dengan hpnya.
"Gue juga kurang setuju sih kalo yang jadi kapten dia. Tapi, mau gimana juga kalo itu keputusan pak Aris ya loe harus terima dan gue bakal mengundurkan diri dari basket." Penuturan Revan barusan membuat Zefan kembali mengalihkan fokusnya pada Revan. Ia berpikir apa yang sedang terjadi dengan temannya ini. Seingatnya Revan adalah penggila basket. Bahkan ia selalu semangat jika harus berurusan denga olahraga asal Amerika itu. Bahkan ia masih ingat 6 bulan lalu Revan sangat semangat berlatih saat akan mengikuti turnamen basket.
"Loe serius Van? Mau keluar dari basket?" Zefan menyeritkan dahinya aneh.
"Ya, gue serius mungkin gue emang harus berhenti dengan semu.." belum ia selsai menjelaskan semua alasannya suara bel berbunyi dan sudah ada Bu Riri yang berada di meja guru. Guru ini memang selalu tepat waktu. Belum juga selsai pelajaran pertama tubuh Revan lagi-lagi tidak mau diajak kompromi sejak tadi dadanya terasa nyeri dan sesak. Membuatnya tidak bisa fokus. Sesekali ia menepuk dadanya pelan. Membuat Zefan lagi-lagi merasa aneh dengan keadaan Revan sudah dua hari ini ia selalu merasa ada yang tidak benar dengan Revan.
"Van loe sakit?" Tanya Zefan sedikit berbisik.
"Gue nggak papa cuma agak sesak." Ucap Revan lirih.
"Mending ke UKS deh loe juga pucat takutnya kayak kemarin pingsan lagi." Sejenak Revan berpikir akhirnya ia mengangguk tanda setuju.
"Bu..." Zefan mengangkat tangannya untuk meminta izin. Hal itu membuat bu Riri menghentikan aktivitasnya menulis di papan tulis dan menoleh manatap Zefan. Teman sekelasnyapun menatap Revan dan Zefan.
"Iya ada apa Zef?" Tanyanya.
"Izin ke UKS bu, ini Revan sakit bu." Ucapan Zefan barusan membuat bu Riri menatap Revan yang memegangi dadanya dan ia melihat muridnya sudah pucat.
"Ya, sudah kamu antar Revan dulu."
Zefan segera membantu Revan berdiri dan memapahnya.
"Saya izin ya bu." Ucap Revan berhenti sejenak di dekat bu Riri.
"Iya Van kamu istirahat." Ucap bu Riri menatap iba sang murid yang memang akhir-akhir ini kondisinya lemah. Setelahnya Revan dan Zefan keluar dari kelas.
"Gue lemah banget ya Zef, sorry nyusahin loe Zef."
"Ngomong apa sih loe Van, gue itu sahabat loe Van jadi no problem selagi gue bisa gue bakal bantuin loe Van." Mereka berdua segera memasuki ruang kesehatan. Zefan membantu Revan membaringkan tubuhnya di ranjang.
"Kayaknya nggak ada yang piket hari ini di UKS gue temenin loe aja ya." Zefan menarik kursi di samping ranjang tersebut.
"Gue bisa sendiri, loe balik aja ke kelas sono." Revan memejamkan matanya mengatur nafasnya yang tak kunjung normal. Oksigen sangat sulit untuk di hisap, Revan benci semua ini. Revan lelah, kenapa harus ia yang merasakan rasa sakit ini.
Zefan berdecak sebal, ia memang malas balik ke kelas karena jam pelajaran pertama akan segera selsai dan setelahnya adalah pelajaran matematika yang amat ia tak suka apalagi tidak ada Revan. Ia akan semakin kesulitan karena tidak bisa bertanya saat ada materi yang tidak ia mengerti.
"Gue di sini aja males gue nanti matematika." Revan diam jujur ia ingin membujuk Zefan agar kembali ke kelas. Ia tidak ingin membuat Zefan bolos hanya karena dirinya. Namun, rasa sesaknya membuat Revan memilih diam membiarkan sahabatnya di sini. Revan memilih tidur sembari berharap napasnya kembali normal.
"Van, sesak banget ya? Gue panggilin Bu Mitha ya?" Revan menggeleng.
"Gue tidur aja Zef, gue nggak papa."
"Yaudah loe tidur biar enakan." Tak ada jawaban dari Revan. Zefan memilih memainkan ponselnya sembari menunggu Revan.
"Zef..." panggil Revan setelah beberapa menit ia tertidur. Zefan yang sudah terfokus pada ponselnya hanya berdehem menanggapi panggilan Revan.
"Kalo gue punya penyakit, loe masih mau temenan sama gue?" Tanya Revan sambil menatap langit-langit ruang kesehatan. Pertanyaan Revan barusan membuat Zefan mengalihkan pandangannya dan menatap Revan.
"Maksud loe?" Bukannya menjawab Zefan malah bertanya balik kepada Revan.
"Gue sakit Zef." Jawab Revan dengan santainya. Mungkin sudah saatnya bagi Revan berbagi rasa sakitnya, bukankah itu salah satu guna sahabat. Untuk menompang luka yang tidak bisa kita rasakan sendiri. Entah keputusan baik atau buruk Revan harus mengatakannya pada Zefan.
"Iya gue tau loe emang lagi sakit ini, loe kecapean, mangkanya ayok mending loe pulang gue anterin aja atau mau gue anterin rumah sakit sekalian atau gim....."
"Zef, gue sakit parah." Revan memotong kalimat Zefan dan merubah posisinya menjadi duduk.
"Sakit parah? Maksudnya?" Zefan berusaha setenang mungkin menanggapinya.
"Gue serius, loe mau liat tangan gue banyak bintik merah dan ada memar di beberapa bagian." Revan menunjukan tangannya pada Zefan. Mata Zefan terbelak lebar. Bahkan ia baru menyadari jika banyak bintik merah dan memar di tangan Revan.
"Lo loe sakit apa?" Tanya Zefan gugup ia terlihat takut, ia tidak percaya akan hal yang Revan perlihatkan dan tiba-tiba saja Revan mengatakan jika ia sakit.
"Jangan bilang loe sakit leukemia Van? Bintik ini cuma gigitan nyamukkan dan memar itu karena loe jatuhkan?" Entah kenapa pikiran Zefan sampai ke situ. Semua penjelasan tentang pelajaran biologi tiba-tiba saja muncul dipikiran Zefan. Ia ingat dulu bu Riri menjelaskan gejala masalah kesehatan salah satunya leukemia atau kanker darah. Revan tersenyum ternyata sahabatnya memang pintar tidak salah jika Zefan berhasil menjuarai olimpiade biologi tingkat nasional.
"Otak loe emang encer tentang masalah biologi tapi anehnya beku kalo pelajaran matematika." Revan terkekeh menatap sekilas wajah sahabatnya yang penuh dengan kekhawatiran. Zefan mendengus sebal ia tak suka jika sedang serius malah bercanda.
"Van jawab gue nggak suka bercanda saat obrolan serius." Zefan tiba-tiba menjadi begitu serius.
"kayak mau nembak aja harus serius mulu." Revan malah meledek Zefan.
"Gue serius Revan!!" Zefan meninggikan suaranya. Membuat Revan berhenti meledek Zefan, lalu menatap Zefan.
"Loe udah taukan dari gejalanya Zef, loe inget jugakan gue mimisan di rumah loe beberapa bulan lalu, gue sering pusing akhir-akhir ini Zef dan ya ini gue yang sekarang gue yang sakit Zef. Tebakan loe benar gue leukemia Zef. Vonis mengerikan yang gue terima beberapa bulan lalu. Miris ya masih muda udah penyakitan." Revan menjeda ucapannya sejenak.
"Saat gue tau gue sakit seakan dunia gue hancur Zef. Gue ngerasa makin nggak guna. Gue marah sama diri gue Zef. Gue marah sama pencipta gue, karena gue mikir kenapa harus gue yang sakit. Tapi, gue mikir lagi gue sakit parah dan kesembuhannya cuma beberapa persen. Sejak itu gue mutusin buat jalani hidup sebagai Revan dengan kepribadian yang lebih baik Zef. Gue mau di kenang banyak orang saat gue udah di bawah tanah suatu saat nanti. Sekarang loe udah taukan gue sakit? Loe mau temenan ya gue bersyukur nggak ya nggak papa." Revan menatap Zefan yang sedang mendengarkan semua ceritanya. Hati sahabat mana yang tidak terluka ketika mendengar ucapan sahabatnya sendiri. Mungkin mereka yang tidak tau tentang persahabatan yang sesungguhnya yang tidak tersentuh.
"Kenapa loe nggak bilang dari awal vonis itu Van? Kenapa baru sekarang Van? Orang tua loe tau? Kakak loe tau?" Rentetan pertanyaan Zefan membuat Revan merasakan bahwa Zefan tulus menjadi sahabatnya.
"Loe pikir aja sendiri saat loe kena vonis kayak gue, gimana mau ngasih tau sahabat loe sendiri sih. Gue aja bingung nguatin diri gue sendiri. Gue cuma nyari waktu yang tepat aja buat ngasih tau loe sama Rizki. Gue belum ngasih tau bokap gue bingung cara bilangnya, apalagi bilang ke kakak gue itu nggak mungkin banget loe tau sendiri gue sama dia aja hubungannya nggak pernah beres."
"Van gue mimpi apa sih semalam, kenapa gue harus denger berita buruk ini, Van loe harus sembuh ya. Gue nggak akan ninggalin loe, loe sama Rizki itu sahabat gue selamanya. Kita udah sahabatan dari orok. Pokoknya loe harus janji kalo loe bakal sembuh dan berjuang gue sama Rizki bakal dukung loe Van. Van loe harus secepatnya kasih tau ayah loe, sebelum semuanya terlambat, gue bakal bantu loe baikan sama kakak loe, tapi loe harus janji loe harus sembuh Van." Revan tersenyum ia bersyukur karena sahabatnya ternyata mengerti keadaannya. Mungkin itulah guna sahabat untuk saling mendukung.
"Makasih udah ngertiin gue, gue akan berjuang saat tubuh gue masih mau diajak berjuang. Tapi tolong jangan perlakuin gue kayak orang yang mau mati besok Zef. Gue bakal kasih tau ayah kalo waktunya udah tepat, gue masih belum siap buat kasih tau semuanya ke ayah."
"Sama-sama Van, tergantung keadaanlah kalo loe emang lagi drop ya gue perlakuin kayak orang sakit. Loe mau ngasih tau Rizki kapan? Van gila loe kuat banget sih lewatin semua ini, selama ini, harusnya loe cerita sama gue dari jauh-jauh hari Van dari awal loe kena Vonis."
"Makasih ya Zef, nggak semudah itu kan gue udah bilang dari tadi nggak semudah itu gue kasih tau orang lain, mungkin loe orang pertama yang tau gue sakit Zef. Secepatnya gue ngasih tau Iky. Gue berusaha kuat buat lewatin bermacam-macam tes, itu alasan gue ngilang beberapa bulan lalu yang gue bilangnya mau liburan sama bokap, nyatanya gue lakuin beberapa tes dirumah sakit untungnya dokternya baik banget sama gue Zef."
"Ahhh Van loe banyak bohongnya ternyata, gue kesel dan marah sama loe." Wajah Zefan terlihat kecewa tapi juga khawatir.
"Maaf Zef, yaudah sih mending kantin yuk gue lapar."
"Gue udah maafin loe, tapi gue masih kecewa. Kantin? Loe gila? Nggak nggak loe istirahat aja loe masih pucet gitu." Revan hanya menatap Zefan malas. Anak itu berlaku berlebihan.
"Loe mau makan apa? Gue beliin aja makan disini."
"Hishhh Zef loe jadi ngeselin sih, yaudahlah gue mau sotonya Bu Mariah kayak biasa, sana beliin, nih uangnya." Revan merogoh celananya dan mengeluarkan uang 50 ribu lalu memberikannya kepada Zefan.
"Gue cuma gamau loe makin sakit Van, yaudah gue beliin dulu."
"Ngeselin loe, yaudah sana loe kalo mau jajan pake duit itu aja." Zefan mengangguk, lalu berjalan keluar meninggalkan Revan.

Tentang Dia RevanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang