Prolog

102K 6.4K 261
                                    

Makasih buat vote covernya... Yg terpilih no 8 ya

.

.

"Bi, Bibi masih ingat nggak apa yang Bibi bilang waktu Mira pertama kali minta kerjaan sama Bibi?"

Setengah mengantuk, berbaring di ranjangnya, Bi Sum menjawab asal-asalan. "Opo ya?"

"Cantik-cantik kok mau ikut Bibi jadi pembantu," sambung Amira.

"Ah, ya iku... Belum ada panggilan kerja lagi?"

"Ada," sahut Amira singkat. Memang ada, batin Amira. Tapi matanya menatap lurus ke buku kecil yang di pegangnya 

Rencana cadangan ...

"Semoga kali ini keterima ya, Nduk," gumam Bi Sum, tak lama terlelap.

Amira beringsut dari kasurnya. Mengambil cermin kecil yang diletakkannya di atas meja pendek. Menggerai rambutnya, menyisirnya lambat. Saat mencoba melengkungkan senyumnya di cermin, semua terasa sangat aneh, sangat bukan dirinya. Dia menaikkan alis, mengerutkan, memicing-micing matanya, menjilati bibir bawahnya, sebelum akhirnya mendesah. Belum saatnya menyerah, Amira kembali melengkungkan senyum lebar, matanya berkedip—bukan seksi—lebih ke orang yang sedang kelilipan.

Tidak, ini memang bukan dirinya. Lebih baik dia bersikap jujur. Dia kembali mengikat rambutnya, bersamaan dengan bunyi sesuatu—yang sepertinya dari arah dapur. Terdengar jelas, karena begitu dekat dengan kamarnya. 

Bu Hanun tak pernah repot ke dapur di tengah malam. Terkecuali itu adalah—

Amira keluar memastikan. Tubuh tinggi menjulang hanya terpaut jarak beberapa langkah darinya. Mengendus panci yang dipegangnya. Pria ini—Alvin Pramudja—baru sampai sekitar dua jam yang lalu. Semua yang dikatakan Bi Sum tentang dirinya hampir mendekati kebenaran seperti yang selama dua bulan ini ada di khayalan Amira.

"Itu pernah digunakan merebus sayur dan mie instan."

Pria itu terkesiap, mengamati Amira dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tak butuh waktu lama baginya untuk menguasai keadaan. "Jadi yang mana yang bisa digunakan untuk merebus air?"

Suara berat itu memasuki telinga Amira. Pria ini akan membuat kopi bisa dilihat dari bungkusan yang tergeletak di atas meja makan.

"Ini."

"Makasih—" Pria itu melirik lagi. "Anak Bi Sum?"

"Bukan." Saling diam, Amira kemudian melanjutkan. "Saya Amira Jayanti," jawab Amira dengan pandangan lurus dan tenang. "Biasa dipanggil Mira."

Pria itu mengangguk.

Amira sadar dunianya kurang luas hingga baru menemukan pria setenang dan—sepertinya Amira pernah mendengar istilah berkharisma. Hingga saat berdiri tak jauh darinya, membuat perut Amira bergejolak dan lututnya sedikit melemas. Tapi, dalam dunianya yang sempit dia membutuhkan pria ini.

"Saya ingin bicara dengan Bapak."

Alvin Pramudja baru saja selesai mengisi air dari dispenser ke dalam panci. Sebelum meletakkan ke atas kompor. Dia menggerakkan dagunya, tanda persetujuan. Lalu menghidupkan kompor.

"Saya—ingin menjadi istri Bapak." Mira sadar permintaannya seolah meruntuhkan langit-langit rumah ini dalam hitungan detik. Dan reaksi yang akan diterimanya tidak akan baik. Siapa saja yang mendengarkan lontarannya akan menganggap itu lelucon yang sama sekali tak lucu. 

Jika orang itu bukan Amira Jayanti, ini akan menjadi hal tergila yang pernah dilakukan.  Tetapi dia adalah Amira Jayanti gadis yang telah menggadaikan harga dirinya sejak lama, dan yang tersisa saat ini mungkin hanya keperawanan. 

Tremor seperti menyerang kaki Amira, namun ia tetap berdiri tegak ketika pria dihadapannya menatapnya tanpa berkedip. "Mau kopi juga? Sepertinya kamu perlu berpikir jernih."

Amira menolak dirinya melemah. Dia menggeleng kuat.

"Kalau begitu sepertinya kamu butuh tidur." Alvin Pramudja membalik badannya. 

Habis. Amira mencengkeram pahanya kuat sebelum melepaskannya lagi. "Saya bukan tidur yang saya butuhkan saat ini—tapi uang." 

"Sebelum sampai ke tahapan meminta menjadi istri saya. Kenapa kamu nggak bersujud meminta pinjaman?" Alvin Pramudja bahkan bertanya tanpa membalik tubuhnya.

"Saya membutuhkan uang dalam jangka panjang. Apa Anda bersedia meminjami saya uang setiap bulannya?" Jantung Amira berhenti berdetak sepersekian detik saat Alvin membalik tubuhnya, menyila lengannya di depan dada. "Atau apa Anda akan menawarkan pekerjaan dengan gaji minimal 5 juta perbulan untuk seorang lulusan SMA?"

Otot-otot diseluruh tubuh Amira menegang. Lehernya bahkan terpatri tak bisa menoleh ke hal lain selain Alvin Pramudja.

Pria itu membiarkannya berdiam diri seperti patung hingga airnya mendidih, dan dia mematikannya. 

"Menurutmu berapa persen proposalmu ini akan disetujui?"

Amira mengambil napasnya dalam-dalam, bola matanya yang sejak tadi menjurus ke depan kini merosot turun ke lantai. "Nol—koma satu persen."





-TBC-

06/05/2019 Liarasati

Sorry for typo

Next part lah yaa... baru diceritakan seberapa hebatnya Alvin Pramudja.. ahahhaha.. 

Btw, masih mau dilanjut nggak nih?

Maaf ya klo sepanjang crita ini aku ngefangirling Babang Epans, yg ngk suka boleh skip.. 😂😂

 😂😂

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Marriage DealsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang