“Kalau tidak mengerti apa yang kukatakan dan kulakukan nanti, cukup diam. Jika aku lempar pertanyaan baru kamu jawab.” Alvin mengatakannya setelah mesin mobil dimatikan.
Sejak tadi Amira sudah mengamati, mereka berada di sebuah komplek perumahan, dan kini di depan rumah minimalis berwarna oranye tengah terparkir satu mobil berwarna hitam. Dalam sekali pandang, Amira sudah bisa mengambil kesimpulan, pria disebelahnya ini telah mempersiapkan segalanya. Pertanyaan itu memang menggelitik, kenapa Alvin yang sebelumnya bersikap acuh jadi berubah haluan? Tetapi untuk saat ini Amira tidak butuh jawaban, dia butuh uang.
Jadi, ketika Alvin melepas seatbelt, dan membuka pintu mobil tanpa mengatakan apa pun, yang perlu dilakukan Amira cukup diam kan?
Namun, meski tetap berusaha fokus, nama Bu Hanun masih setia bercokol di pikiran Amira. Perut Amira serasa diperas kencang sekali. Wanita lemah lembut dengan sikap keibuan, dia baik kepada siapa saja termasuk Amira, tetapi tanggapan apa yang akan diberikannya ketika putranya menikahi pembantunya sendiri?
Meski pikirannya bercabang, namun Amira tetap menyadari Alvin yang memutar sisi mobil lalu membukakan pintu untuknya.
“Ini rumah temanku, Gibran. Kita akan menikah di sini.” Alvin mengulurkan tangannya.
Kenapa di rumah temannya? Pertanyaan itu hanya terucap dalam batin Amira, dia tahu kalau dia tak punya kapasitas untuk bertanya.
“Jangan lupa pesanku,” imbuh Alvin yang justru menggerutkan kening saat Amira malah turun, bukannya menyambut uluran tangannya.
Alvin dengan cepat menarik tangan ke sisi tubuhnya, bersikap seolah tak ada kejadian. Pintu mobil tertutup, Alvin melirik Amira yang mengibas-ngibaskan gaunnya. Sebelum... merangkul lengannya. “Iya aku tahu,” sahut gadis itu berbisik.
Alvin melirik Amira, berusaha meyakinkan diri kalau dia belum pernah kehilangan kontrol diri pada wanita mana pun, termasuk sekarang. Ya, termasuk sekarang.
Saat melangkah, Alvin baru menyadari tinggi gadis ini hanya sepundaknya. Dan ketika Gibran keluar dari rumahnya, pandangannya langsung tertuju pada Amira, sebelah alisnya naik, memberikan pandangan menilai yang tak lama beralih ke Alvin dengan senyum menggoda, sedangkan Alvin memilih memutar bola matanya ke arah lain. Kalau sadar usia mereka berapa, harusnya saat ini bukan jadi ajang ‘ciee ciee’ saat temannya membawa gandengan baru.
“Penghulunya belum nyampe?”
“Lagi di jalan,” sahut Gibran, mempersilakan mereka masuk.
“Lho, calon pengantinnya nggak pake kebaya?”
Gibran menoleh ke istrinya yang tiba-tiba menyela, “Memang harus pake kebaya?”
“Ih, Mas kok balik nanya. Yana kan nanya ke Mas.”
“Ya udah, makanya Mas balik nanya, harus pake kebaya nggak?”
“Ya kan biasanya gitu. Dulu Yana juga pake kebaya.”
Alvin menatap pasangan suami-istri itu bergantian. “Memangnya kalau nggak pakai kebaya nikahnya nggak sah?”
Istri Gibran tersebut malah tertawa. “Ya nggak Pak Alvin. Kan nggak ada hubungannya kebaya sama sah atau nggak.”
Alvin tersenyum singkat. “Berarti nggak masalah kalau Amira nggak pakai kebaya.”
Yana mengangguk. Tak lama menepuk lengan suaminya. “Mas kalau jawab itu kayak Pak Alvin jadi Yana nggak bingung.”
Mati kutu. Gibran baru hendak membalas, dan keburu keduluan istrinya yang memperkenalkan diri dengan begitu ramah ke Amira, sampai Amira melepaskan tangannya dari lengan Alvin dan mengikuti istri Gibran tersebut ke dalam rumah.
