Amira mengerjap-erjap. Gelap, dan hanya sedikit cahaya dari jendela yang masih terbuka. Sudah berapa lama dia tertidur dalam posisi terlentang seperti ini? saat tubuhnya bergerak bahkan tulang belulangnya ikut berbunyi, Amira segera merenggangkan otot-ototnya sebelum beranjak. Matanya masih menyipit mencari saklar, setelah menemukan dan ruangan seketika bercahaya, baru dia tahu kalau sekarang sudah pukul... bola matanya sedikit melebar, sembilan malam?
Menyadari dirinya dalam masalah, Amira segera menutup jendela dan menyibak tirainya. Sedetik kemudian bibir Amira menipis, dahinya mengernyit dalam, tasnya tak ada di kamar itu, dan tentu saja tak ada yang masuk karena dia mengunci pintu dari dalam.
Lalu Alvin?
Amira memutar kunci pintu kamar dan membukanya dengan perlahan. Lampu-lampu utama telah dimatikan hanya menyisakan lampu ruang tengah dan dapur. Mengingat dapur, perut Amira langsung berbunyi. Tapi dia berusaha mengabaikannya untuk saat ini, ingin mencari lebih dulu keberadaan Alvin dan tas-nya.
Seumur-umur Amira tak pernah tidur siang selama itu, mungkin efek kelelahan juga rasa aman karena telah mengunci pintu. Lagi pula, kenapa tak ada yang mengetuk pintu kamar?
Amira berjinjit, yang dipastikan pertama kali adalah kamar Kai. Hanya Kai seorang diri di sana, tertidur memeluk guling.
"Mira," suara lembut itu cukup menyentak Amira yang tertangkap basah mengendap-endap. Saat berbalik Amira sudah tahu siapa yang ada dihadapannya.
"Bu. Mira... cuma cari Mas Alvin."
"Alvin tadi pamit keluar sebentar." Amira menganggukkan kepalanya. "Belum makan, kan?"
Dan belum mandi, Amira menambahkan dalam hati. Tapi melihat langkah Bu Hanun menuju dapur ada baiknya dia mengikuti, karena sejujurnya dia sangat lapar.
"Ibu udah makan?" Bu Hanun berhenti lalu menatap Amira. Membuat Amira mengernyit, mungkin pertanyaannya keliru, tapi bahkan pertanyaan seperti ini sering dia lontarkan. Ibu udah makan? Ibu mau minum, teh? Atau Bu, Amira mau ambil pakaian kotor.
Atau karena status mereka yang berubah sekarang?
"Kami semua sudah makan."
Saat sampai di dapur, Amira tersentak saat Bu Hanun membuka tudung saji. "Biar Mira sendiri aja, Bu."
Bu Hanun kemudian meletakkan tudung saji pada salah satu kursi. "Piringnya di sana." Dia menunjuk salah satu lemari dapur.
Amira bergerak kikuk mengambil piring lalu kembali ke kursi meja makan. "Bu, Mira bisa makan sendiri, Ibu bisa lanjut istirahat," ujar Amira menaruh pengertian selayaknya Bu Hanun masih majikannya.
"Nggak pa-pa, habis ini ada yang mau Ibu bicarakan."
Mendadak selera makan Amira luntur. Tetapi, dia tetap menyendokkan lauk ke piringnya. Semakin cepat dia makan, kemungkinan apa yang ingin disampaikan oleh Bu Hanun akan lebih cepat di dengarnya.
Hingga sedikit nasi yang berada di piring Amira tandas, Alvin juga tak menunjukkan batang hidungnya. Jika Bu Hanun melemparkan pertanyaan yang sangat pribadi, bagaimana Amira akan menjawabnya? Dia bisa saja menjawab, tapi yang dikhawatirkan jawabannya tak sesuai dengan yang diinginkan Alvin.
Amira menarik mundur kursinya setelah meneguk habis minumannya. Kemudian dia menyalakan keran air dan mencuci piringnya sendiri. Setelah itu, dia yakin tak punya alasan untuk mengelak. Selesai mengeringkan tangannya Amira kembali duduk di tempatnya.
"Mira."
"Ya, Bu."
"Kamu tahu kan, waktu Bi Sum bawa kamu ke rumah sebenarnya Ibu nggak lagi butuh tambahan pembantu?" Amira mengangguk. "Tapi karena Bi Sum bilang kamu butuh pekerjaan, dan Ibu lihat kamu orangnya bersih, rapi, jadi Ibu suka."