“Pak!”
Alvin tersentak, dan seketika membalikkan badan saat Mbak Lastri berjalan cepat ke arahnya.
“Kenapa Mbak?”
“Tadi Mbak Amira beli mangga...” ucap Mbak Lastri pelan dan perlahan.
Dahi Alvin mengerut bingung. “Terus?”
“Masa Bapak nggak tahu? Mungkin...” Mbak Lastri mendekatkan kepalanya, tubuh Mbak Lastri yang jauh lebih pendek dari Alvin memaksanya sedikit merunduk. “Mbak Amira ngidam, Pak.”
Alvin nyaris terbatuk, dia serta-merta menegakkan tubuhnya, meringis sambil tersenyum masam melihat Mbak Lastri yang senyum-senyum.
“Terus...“ Mbak Lastri menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. “Nggak jadi, Pak!” serunya cepat-cepat sambil berlalu.
Alvin menyipitkan matanya, sambil menggeleng-geleng kepala. Dasar nggak jelas, batinnya. Tanpa menyahut lagi dia berjalan menuju kamar.
Mana mungkin bisa hamil, jika memulainya saja belum, batin Alvin. Sudah lebih tiga bulan. Bukan Amira yang tak berniat memulainya, hanya Alvin yang belum tergoyahkan—hatinya, bukan fisiknya. Gairah itu kerap kali masih melanda, tentu saja, tetapi Alvin sejauh ini cukup puas saat Amira tak lagi merasa tegang saat tengah malam Alvin tiba-tiba memeluknya dari belakang. Tubuhnya tak bereaksi sekaku dulu.
Dua bulan lalu, Alvin membawa Amira ke salah satu psikolog setelah mencari informasi secara pribadi dari teman sekolahnya yang seorang dokter. Alvin tahu dia bisa melihat dari matanya jika Amira yang awalnya ragu dan sedikit takut, tetapi saat dia bertanya, Amira sama sekali tak mengatakan kalimat penolakan. Dan sampai saat ini mereka sudah rutin melakukan pertemuan seminggu sekali.
Dahi Alvin kembali mengernyit saat tak mendapati Amira di dalam kamar. Dia memang pulang terlambat karena ketemuan dengan teman-teman semasa kuliahnya, dan sudah mengabari Amira—dia tak tahu itu sebuah anugerah atau justru petaka, memiliki istri yang tak suka ikut campur urusan suami, padahal dulu dia sempat kesal punya pacar yang ingin tahu segala tentang kehidupannya 24 jam nonstop.
Alvin meletakkan ponsel dan ranselnya, lebih memilih langsung mandi, karena dugaan kuat Amira tengah berada di kamar Kai.
Selesai mandi, Alvin langsung menuju kamar Kai. Suara Amira dan Kai yang saling bersahutan ketika Alvin menempelkan telinganya ke daun pintu membuat senyumnya terukir tanpa bisa dicegah.
Saat membuka pintu, Amira tengah memegang buku, terduduk bersandar di kepala ranjang, sementara Kai memajukan kepalanya di sisi bahu Amira. Namun, kegiatan itu tersela sebab kedua pasang mata langsung menoleh ke arah pintu.
Alvin mendekat, melihat jam yang sudah menunjukkan hampir pukul sembilan. “Aduh... Cinderella kok belum tidur?? bentar lagi berubah jadi upik abu, lho.”
“Rapunzel Papa! Bunda lagi baca Rapunzel! Bukan Cinderella.”
Alvin tercengang sesaat, memperhatikan sampul buku yang dipegang Amira. “Oh... Okee... Rapunzel, sekarang waktunya tidur.”
Kai menegapkan tubuhnya. “Tapi Kai bukan Rapunzel Papa... Kai nggak punya rambut panjang sampai kaki!”
Deretan gigi rapi Amira terlihat ketika tersenyum mengamati Alvin.
Alvin melompat ke atas kasur, mengecupi pucuk kepala Kai. “Oke... Oke... Jadinya Kai mau jadi apa?”
“Jadi...” Kai mengerutkan kening, “Kai mau jadi putri cantik... “kepalanya menggeleng. “Tapi, Kai nggak mau ketemu orang jahat. Semua putri ketemu orang jahat!”
“Nah, biar putri Kai nggak ketemu orang jahat, nggak boleh tidur telat.”
Bola mata Kai membulat, menatap Amira, dan Bundanya terlihat diam saja. “Tapi, kan, Bunda belum selesai bacanya, Papa...”
