Amira tahu Alvin bukan pria bodoh. Keesokan paginya. Entah siapa yang memulai obrolan duluan, yang pasti kini dari balik pintu dapur kotor Amira mengintip pembicaraan Alvin dan Bi Sum.
"Jadi, Ibunya sudah meninggal? Dan Ayahnya-"
"Gendeng! Kerjaane ngentek-ngentekno." sambung Bi Sum jengkel. "Mas Alvin, ada kerjaan ndak di perusahaan Mas Alvin, jadi apa aja, kalo di kota kan gaji lebih gede. Amira memang lulusan SMA, tapi anaknya rajin, bersih. Kalo Mas Alvin ndak percaya bisa tanya Ibuk."
Alvin tampak terdiam memandangi Bi Sum. "Nanti kalau ada lowongan saya kabari Bibi."
"Bener yo Mas Alvin."
Alvin mengangguk. "Tapi Bibi jangan bilang ke dia."
"Kenapa Mas Alvin?"
"Takutnya dia kecewa karena saya nggak bisa menjamin ada lowongan atau tidak."
"Oh... iyo iyo Bibi ngerti."
Amira pergi mengambil cuciannya begitu obrolan itu selesai. Tatapannya gamang memandang seember pakaian.
Pilihannya hanya dua. Jika pria itu menghubungi Bi Sum, berarti tawaran pekerjaan yang datang. Jika pria itu menghubunginya maka ...
Sejak saat itu melihat ponsel seakan hal terpenting untuk Amira. Lamaran pekerjaan yang sudah ia siapkan ditangguhkan untuk beberapa hari ke depan. Iya atau tidak, Amira yakin akan menemukan jawabannya. Kemungkinan terburuknya adalah 'ditolak' tapi dunia tak akan runtuh meski itu kenyataan yang di dapat nanti. Dia harus siap dengan kemampuannya bertahan hidup, di mana pun itu, meski tempat ini sangat nyaman, bahkan terlalu nyaman untuknya. Andai uang bukan segalanya saat ini.
Hingga minggu kedua terlewati masih belum ada kabar apa pun. Kemungkinan Amira menurun hingga 50%. Dan hari ini, Ibu Hanun akan pergi ke Jakarta, kata Bi Sum, dia diminta menjaga Kai putri Alvin selama Alvin berada di luar kota.
Itu sebabnya kah pria itu belum mengambil keputusan? Karena sibuk? Seumur hidup Amira belum pernah berharap sebesar ini. Amira bersusah payah menjaga kewarasannya, agar tak memiliki harapan terlampau tinggi.
Minggu ketiga.
Meski masih ada waktu tetapi hari ini Amira memilih mengajukan lamaran yang sempat ia tunda dia harus realistis sebelum---Bi Sum berlari tergopoh-gopoh ke kamarnya.
"Amira berangkat sekarang ke Jakarta!" ujar Bi Sum panik. "Itu, tadi Mas Alvin telepon, besok pagi kamu harus udah sampai di Jakarta. Kemarin itu Bibi ada minta kerjaan ke Mas Alvin, tapi Mas Alvin bilang jangan ngomong-ngomong ke kamu dulu, takutnya nggak ada, tapi ini barusan dia telepon nyuruh kamu ke Jakarta, berarti ada kerjaan!"
Amira mematung. Seperti tak mampu berpikir, apa-apa yang harus di bawanya? Pakaian apa yang harus digunakannya? Apa saja yang ia butuhkan selama perjalanan?
Keputusan pria itu adalah---kesempatan kerja. Tak membiarkan rasa kecewa menyusup ke hatinya, Amira memilih mengambil tas travel miliknya.
"Kamu ada uang ndak? Biar Bibi yang ongkosin Busnya."
"Ada Bi."
"Ya udah. Sini mana baju yang mau kamu pakai biar Bibi gosokin."
Sepanjang pagi itu mereka sibuk. Siangnya Amira berangkat dengan estimasi sampai keesokan paginya dari Malang ke jakarta.
Pesan Bi Sum sebelum dia berangkat, "Apik-apik, yang betah. Kerja di manapun nggak ada yang seneng-seneng pasti banyak susahnya."
Amira tahu, dia sangat tahu. Ia memeluk Bi Sum sebelum naik ke Bus yang sengaja dia beli dua tiket, agar kursi di sebelahnya tetap kosong. Amira tak mau mengambil risiko ada pria asing yang duduk di sebelahnya.