Bagian 17

39.7K 7.4K 338
                                    

“37,9.” Amira bergumam setelah mencabut termometer yang berbunyi dari ketiak Alvin.

Wanita itu tampak merenungkan sesuatu. Sedangkan Alvin mengamati sambil memaksa terduduk di punggung ranjang, sedikit bergeser ke arah Amira dengan sikap yang tak terlalu kentara, mempertahankan sikap gagah yang tersisa.

“Sistem imun tubuh manusia memang membutuhkan demam. Ini bukan hal besar, aku hanya butuh istirahat. Kamu mungkin bisa sedikit membantu dengan —“ bola mata Alvin sekilas melirik ke arah lain sebelum kembali ke Amira. “—membuatkan bubur, atau hal-hal lain yang bisa meredakan demam seperti mengompres. Itu juga kalau kamu nggak keberatan.” Tatapan Amira yang masih menjurus membuat Alvin ingin segera meralat kata-katanya. “Kamu tahukan Kai susah kalau sudah buat janji? Jika besok demamku menurun kita bisa berangkat sesuai rencana.”

“Jika malah semakin meningkat?” pertanyaan Amira membuat mulut Alvin terbuka, namun tak sempat dia melanjutkan, Amira telah mendahului. “Sistem imun tubuh manusia kadang memang membutuhkan demam, tapi mengingat usia Mas mungkin aja demam jadi pertanda awal penyakit lain. Lagi pula disuntik lebih cepat menurunkan demam, daripada mengompres. Mas nggak takut suntik kan?”

Alvin mengerjapkan matanya yang terasa panas. “Tentu aja nggak,” sahut Alvin cepat, matanya melirik kesal. Pertama yang perlu digarisbawahi adalah mengapa Amira menyiratkan seolah-olah dia sudah sangat tua dan berpotensi penyakitan?

“Kita harus ke dokter, Mas. Atau ke klinik di tempat Mas biasa berobat. Ada kan?”

“Jika kamu mengajukan pilihan, maka aku lebih memilih berbaring di sini dan meminum obat yang tersedia di rumah.”

“Jika yang kukatakan bukan pilihan melainkan keharusan?”

Alvin sedikit mencondongkan tubuhnya. “Beri aku alasan kenapa aku harus mengikuti pilihanmu?”

Alvin bisa melihat bola mata Amira bergoyang menelusuri wajahnya, keningnya mengerut. “Apa karena memang aku nggak bisa memaksa? Apa ini berkaitan dengan kesepakatan kita?”

Sebelah alis Alvin terangkat dia bukan bermaksud mengarahkan pembicaraan ke arah sana, namun kenapa umpan yang dia lemparkan selalu tak kena sasaran. Tapi nasi sudah menjadi bubur, ada baiknya dia sedikit berterus terang. “Iya, aku sering kesulitan membaca maksudmu.”

“Dan Mas mengira aku sedang memanfaatkan situasi?” Apa yang membuat Alvin merasa bersalah ketika sorot kepedihan kali ini jelas terpancar di mata Amira? “Aku memang patut dicurigai, dan aku nggak mampu menjelaskan gimana aku bisa dipercaya.” Jelas terlihat Amira sedang mengontrol dirinya saat beranjak dari ranjang, dan hal itu tentu saja membuat Alvin tersentak, karena ini bukan akhir yang diinginkannya. “Mungkin memang aku butuh lebih berusaha lagi. Karena dilihat dari motivasiku berada di sini, aku akan sangat sulit dipercaya. Kalau Mas butuh apa-apa bisa panggil aku—karena hanya ada aku dan Kai di rumah ini.”

Amira memutar langkahnya, kaki Alvin tersentak turun. Amira tunggu... bukan begitu, sial! Aku percaya tapi rasa-rasanya sulit dipercaya karena ini bahkan belum sebulan. Tangan Amira meraih handle, Alvin berdiri dengan tubuh sedikit limbung. Tapi hanya begitu saja, sampai tubuh Amira menghilang dari balik pintu.

***

    

Kenyataan benar-benar menyentak Amira. Sudah diduganya kalau keadaan ini terasa tidak benar, dan terlalu mudah dilalui. Kenyamanan yang sedikit dirasakannya mungkin berbanding terbalik dengan Alvin yang akan selalu menilainya. Dan dia tidak bisa menyalahkan Alvin untuk berpikir demikian.

Amira sadar dia telah melewati Kai yang tengah asik main tablet dengan tatapan tak peduli sementara hatinya berkecamuk. Dia bisa berjalan lurus dan mencari kesibukan lain. Otaknya terus mengatakan bisa, tetapi tidak dengan hatinya.

“Kai,” sebut Amira berdiri berjarak.

Bocah kecil itu menoleh saat kembali ke permainannya Kai langsung berteriak, “Kan, gara-gara Tante Kai jadi kalah!”

“Maaf Tante buat kamu jadi kalah. Tante cuma mau bilang di dalam kamar Papa kamu lagi sakit.”

Tubuh Kai tersentak, terduduk dengan bola mata membesar memandang Amira penuh pertanyaan.

Dan tak lama...

“PAPA...!!” Kai melompat turun dari sofa, bersikap dramatik sambil berteriak dan menangis sepanjang jalan menuju kamar Papanya, dan Amira cukup heran dengan kemampuan Kai memproduksi air mata secepat itu.

“Papa cuma demam sayang... minum obat, tidur sebentar, ntar sembuh...”

Amira masih mampu mendengar suara Alvin, sebab pintu terbuka lebar.

“Bohong... Kai demam nggak sekolah seminggu. Nginap rumah sakit. Diperiksa dokter, disuntik, minum obat banyak...”

“Dulu kan Kai demam berdarah.”

“Terus Papa demam apa?”

“Demam biasa.”

“Demam biasa sembuh nggak sampai satu hari?”

“Papa nggak bilang gitu sayang.”

“Tapi Papa bilang tidur sebentar sembuh. Kai tidur sebentar siang aja, malam tidur lama, Papa...”

Alvin tak langsung menyahut. “Kalau Kai biarin Papa istirahat sekarang, kemungkinan besok pagi Papa udah sembuh dan kita tetap bisa pergi kamping.”

“Paginya jam berapa Papa? Kan, Papa kemarin bilang kita pergi pagi-pagi , pas matahari belum muncul, jadi Kai harus bangun pagi-pagi juga...”

Amira tak sampai hati menunggu lebih lama dan mendengar beragam pertanyaan Kai, yang Amira yakin membuat Alvin bertambah pusing. Dan ternyata benar, sampai di dalam Kai tengah dalam posisi memeluk Alvin dengan menindihnya.

“Ayo kita ke dokter. Kenapa harus? Alasannya adalah karena aku istri Mas. Hanya itu, dan Mas bebas beranggapan aku sedang mencari simpati.”

Alvin menoleh tanpa berkedip. Istri? Alvin tak yakin berapa bulan lagi tahun baru akan hadir, tapi rasanya warna-warni kembang api telah meletus di sudut hatinya. Dan berusaha setengah mati diredamnya euforia itu dengan menggeser Kai dari atas tubuhnya.

“Kalau kamu memaksa, boleh tolong ambilkan ponselku. Biar kupesankan taksi. Aku nggak mungkin bisa nyetir sendiri dengan kondisi seperti sekarang.”

Dan Alvin bisa melihat Amira langsung menurutinya.



-TBC-

18/09/2019 Liarasati

Sorry for typo.

Marriage DealsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang