Dua bulan sebelumnya.
Uang pendaftaran : Rp. 200.000
Uang gedung : RP. 3.000.000
Pembelian seragam...
"Itu... memang sebanyak itu Mbak?" Amira hanya menoleh sekilas kepada Hanin. "Nggak kebanyakan Mbak?"
"Barang-barang Maya udah beres semua?"
Bukan menjawab Amira malah mengajukan pertanyaan lain. Pondok pesantren adalah tempat teraman bagi kedua adik perempuannya, setelah nenek mereka meninggal tiga hari yang lalu. Rumah ini satu-satunya harta peninggalan neneknya yang konon katanya dulu kaya raya dan harta tersebut telah dihabiskan oleh anak semata wayangnya—siapa lagi kalau bukan Ayah mereka. Bahkan peninggalan satu-satunya ini Amira tahu telah terjual, itu sebabnya dia menulis daftar biaya masuk sekolah untuk kedua adiknya dengan menaikkan tiga kali lipat. Sebab dia tahu, separuh pun belum tentu terbayarkan oleh Ayahnya.
"Maya di mana?" tanya Amira lagi.
"Lagi pamitan sama temannya. Mbak hari ini libur lagi? Ini udah hari ke empat, memangnya mbak dikasih cuti selama itu?"
Bibir Amira menipis, dahinya berkerut. "Mbak, udah berhenti," katanya cepat.
"Kenapa? Ngundurin diri lagi?"
Amira mengangguk. Seolah itu adalah kebiasaan. Amira bukan orang yang tak tahan akan tekanan kerja, selama itu menyangkut otot-otot tangannya yang masih berfungsi dia tak kan mengeluh. Orang-orang disekitarnya lah yang membuatnya mengundurkan diri. Pria-pria yang seolah ingin mengambil kesempatan, atau atasan yang main mata, dan kasus terakhir ini karena atasannya yang merupakan seorang wanita tidak suka dengannya hanya karena pria yang disukainya ternyata menyukai Amira.
"Jadi habis ini mbak mau kerja di mana?"
Amira menoleh. "Ada. Mbak udah dapat pekerjaan baru," katanya mantap. Yang kali ini dia bisa dipastikan bernapas lega. Bi Sum, ibu dari mbak Sita, tetangganya, sudah lama bekerja jadi pembantu di rumah orang kaya, seorang wanita paruh baya yang menolak tinggal dengan anak-anaknya dan lebih memilih tinggal di rumahnya sendiri di Malang. Itu bagus, walaupun dengan gaji yang tidak terlalu besar, nggak akan ada pria-pria yang menatapnya seperti ingin segera membawanya ke ranjang di sana. Hanya karena dia cantik dan melirik ke buah dadanya— Amira bisa menguruskan badannya tapi dia tak menemukan cara mengecilkan payudaranya.
Tapi, Amira tahu itu hanya persinggahan sementara, sebelum dia menemukan pekerjaan baru, untuk menghidupi Adik-adiknya.
"Mbak," kata Hanin ragu-ragu. "Kenapa kita nggak ngontrak per tahun aja, lebih—murah. Lagian kami bisa masuk di sekolah negeri biasa, biaya sekolahnya juga nggak terlalu mahal."
Di mata orang lain idenya gila, benar, tak ada yang bisa menyalahkan. Tapi Amira akan menyimpan alasannya sendiri. Dalam realita yang dihadapinya, ini yang terbaik yang bisa dia lakukan—saat ini.
Amira tak menghiraukan ucapan Hanin, dia terus menulis.
"Mbak—" ujar Hanin lagi. "Sebulan atau dua bulan lagi nama kami akan dipanggil karena nggak bayar uang sekolah, jadi sama aja."
Amira meletakkan pulpennya. Kali ini tubuhnya ikut memutar. "Sebenernya kita punya solusi lain."
"Apa?" tanya Hanin mengerutkan kening.
"Kamu cari Ibu kandungmu, dan Maya cari juga cari Ibu kandungnya—"
"Mbak!" pekik Hanin dengan bibir bergetar, matanya serta-merta memerah. Ya, mereka adalah satu Ayah, namun beda Ibu. Hal itu yang menjadikan pembahasan seperti ini sensitif. "Maksud Hanin, kenapa kita nggak tinggal bertiga kayak dulu? Di kontrakan."