Alvin mengernyit ketika terbangun, saat melirik ke sebelah tempat tidurnya sosok Amira sudah tak ada. Amira tidak tidur di ranjang ini? Tak mungkin Alvin masih bisa merasakan ranjang yang sedikit bergoyang saat tadi malam dia hanya berpura-pura terpejam. Dia bahkan hanya bisa menggeram dalam hati saat tubuhnya berbalik dan mendapati guling yang berjajar di hadapannya. Alvin cukup tersinggung, apa semua laki-laki seperti kucing jantan di musim kawin? Yang begitu melihat betina langsung mengejar sampai dapat?
Dia mendecakkan lidahnya saat menarik ponsel dan cukup terkejut waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat. Tak percaya ternyata tidur cepat membuatnya bangun lebih lama. Alvin segera turun menuju kamar mandi.
Setelah selesai mandi dan berpakaian kerja dalam waktu singkat, Alvin melangkah keluar kamar. Bola matanya mengedar, seolah ada yang dicarinya. Amira? Dia mencari Amira? Untuk apa? Namun, kakinya tetap melangkah. Dan saat menemukan Amira di dapur, Alvin menghentikan derapnya.
Harusnya dia berbalik. Hanya menonton seorang wanita memasak di dapur, untuk apa? Mbak Lastri juga setiap hari melakukannya. Benar, Alvin membenarkan logika berpikirnya. Namun, berbanding terbalik dengan sikapnya yang berdiam diri, mengamati Amira yang seolah telah tinggal lama di rumahnya. Terlihat gesit menggunakan peralatan dapur-nya.
Saat Amira menoleh, Alvin menegakkan tubuhnya. Tak ingin ketahuan sedang sibuk mengamati Alvin langsung berkata, “Sibuk?” Dengan nasi goreng dihadapan wanita itu yang belum siap di masak, harusnya Alvin sudah tahu jawabannya. “Kalau sudah selesai buatkan aku kopi.”
Dengan tak menunggu jawaban Amira, Alvin berbalik. Namun, hanya beberapa langkah dia menoleh lagi, ternyata Amira lanjut dengan kesibukannya. Dan perasaan seperti ini... semacam terabaikan? Alvin mendengus menolak pemikirannya.
Saat melihat ke kamar Kai, putrinya sudah selesai memakai seragam sekolah.
“Eh, Pak, itu tadi saya udah bilang ke Mbak—eh Mbak Mira minta dipanggil ‘mbak’ Pak... saya udah bilang nggak enak, tapi Mbak Mira mintanya dipanggil begitu.” Alvin mengernyit karena Mbak Lastri bicara berputar-putar dan memberi penjelasan tanpa dimintanya. “Eng.. terus, pokoknya ini tadi saya udah bilang urusan dapur tugas saya, tapi Mbak Mira-nya maksa mau masak jadinya saya mau ngurusin non Kai dulu—“
“Iya, nggak papa,” sahut Alvin cepat.
“Tapi harusnya memang gitu lho Pak, istri yang masak untuk suami.” Alvin menaikkan alisnya. “Anu... tapi jangan kurangi gaji saya kalau pekerjaan saya berkurang ya Pak.”
Alvin menahan diri untuk tak mendesah. “Nggak akan Mbak.”
“Makasih Pak,” sahutnya cengar-cengir.
“Biar saya,” sela Alvin saat Mbak Lastri mengambil sisir. “Mbak kerjain yang lain aja.”
“Iya Pak.”
Alvin mengambil sisir yang disodorkan Mbak Lastri dan mulai menyisiri rambut Kai.
“Tante itu belum balikin i-pad Kai, Papa...” Kai mengadu dengan wajah memberengut. Tadi malam saat makan di luar, Kai terus saja mengeluh karena Amira belum mengembalikan i-pad miliknya.
“Amira. Namanya Tante itu Amira,” sahut Alvin masih terus menyisir rambut Kai. “Kai masih ingat nggak, waktu Papa bilang Kai akan punya Mama baru, Kai bilang nggak mau punya Mama baru.” Kai mengangguk. “Terus, kita buat kesepakatan. Papa bilang yang Papa bawa pulang ke rumah bukan Mama baru buat Kai, tapi seorang istri untuk Papa dan Kai udah janji nggak boleh jahat sama istri Papa, harus sopan, gitu kan?”
Kai cemberut. “Tapi kan, Tante Amira yang ambil i-pad Kai! Kai nggak ada ambil barang Tante Amira... Jadinya Tante Amira yang jahat!”
Alvin meletakkan sisirnya. “Oke. Kalau Tante Amira nggak ambil i-pad Kai lagi, artinya Tante Amira nggak jahat lagi.”