Acara kamping gagal. Hari minggu yang seharusnya bisa dijadikan untuk beristirahat dengan tenang juga gagal akibat kehadiran Sonya.
Seminggu telah berlalu, dan Kai masih menodongnya setiap hari dengan hal yang sama, sementara niatan Alvin sudah menguap entah kemana. Gundah di hatinya membuatnya menjaga jarak dengan Amira, akibatnya? Amira juga semakin menjaga sikap.
Di sela istirahat siang, dengan segelas kopi, Alvin kembali merenungi sikapnya. Kekanakan. Satu kata itu mencerminkan segalanya. Sangat bukan dia, pikir Alvin sekali lagi. Namun, Alvin sadar dia tak bisa terus begini, hentikan atau lanjutkan, sudah saatnya dia mengambil keputusan. Atau selamanya dia tak akan bisa meruntuhkan tembok pembatas antara dirinya dan Amira.
Sementara wanita itu? Semakin diamati semakin Alvin sadar, hingga strawberry berbuah durian pun, dia tak akan mengetahui bagaimana perasaan Amira untuknya. Dan kenyataan itu lantas lagi dan lagi membuat Alvin berdecak kesal. Kenapa bisa-bisanya dia tak memiliki gambaran sedikit pun? Di usianya yang terus melangkah ke angka empat puluh, sebenarnya Alvin tak ingin lagi terlibat dalam permainan perasaan yang tak jelas dan kekanakan seperti ini, tapi kenapa sikap dan logikanya selalu tidak sejalan jika dihadapkan dengan Amira?
Gibran menempati kursi di sebelahnya. "Mikirin prototype yang belum disetujuin atau mikirin bini di rumah?"
"Dua-duanya," sahut Alvin dengan tanpa menutupi apa pun.
Gibran menyengir, kemudian tertawa-tawa kecil. "Mikirin yang jorok kan, lo? Mulai nggak tahan, bro? Udahlah... langsung dijadiin istri tetap aja. Lengkap dengan asuransi jiwa."
Alvin menyesap kopinya, mengarahkan pandangan ke kaca yang mengabur karena tetesan air hujan, begitu enggan menoleh ke Gibran.
"Apalagi musim ujan gini. Enak banget kalo ada yang dikelonin."
Gibran semakin terbahak saat akhirnya Alvin meliriknya. "Lupa minum obat, ya, lo?"
"Lo yang nggak waras, ada istri di rumah dianggurin."
Jika saja Gibran tahu, hubungannya dengan Amira berjalan selayaknya orang asing yang tinggal bersama, hanya bicara jika ada perlu, saling sungkan, saling diam. Dan ujung-ujungnya membuat Alvin kesal sendiri dan lebih memilih tidur.
"Lo serius sama sekali nggak ada perasaan apa gitu ke Amira?" Alvin menghindari tatapan Gibran yang menyipit, pria itu memang begitu penasaran dengan kehidupan pribadinya, lelucon garing, sindir-menyindir nyaris jadi makanan sehari-hari sejak Alvin mempunyai istri lagi. "Lo jujur-jujuran aja sama gue. Gue tanya serius ini."
"Lo masih inget jawaban gue, waktu lo dorong-dorong gue buat terima Amira berserta semua alasannya."
Gibran melengos, kemudian kembali mengarahkan tatapannya ke Alvin. "Itukan teknisnya, Vin. Lo nikahin Amira karena abcd... tapi praktiknya kan bisa aja beda. Dan nggak ada yang bakal pidanain lo kalau melanggar aturan kan? kecuali lo terlalu keras kepala dan masih menetapkan syarat yang sama sampe detik ini. Tapi menurut gue itu bodoh sih."
Alvin mengambil sebatang rokok dari kotaknya. "Memang nggak ada yang bakal pidanain gue." Alvin menyalakan pemantiknya.
"Tapi?" Alis Gibran terangkat sambil mengambil cangkir kopinya.
Alvin melirik Gibran sesaat.
Gibran mendengus. "Lo sekamar sama Amira kan? Lo yakin nggak kenapa-kenapa? Gue rasa lo butuh pergi ke psikiater kalo bisa bertahan sampe dua bulan lagi."
Alvin menyudut rokoknya sesaat sebelum berdiri. Jika Gibran tahu apa yang dia pikirkan pasti pria itu akan menceramahinya habis-habisan.
***