“Kata Papa hantu itu nggak ada!”
Amira melirik Kai yang bergumam ketus di sebelahnya. “Tapi makhluk gaib itu ada.”
“Makhluk gaib?”
“Iya. Jin, setan.” Kai mengerutkan wajahnya, terlihat gentar. “Mereka ada untuk bisikin manusia, agar membuat keburukan.”
“Buat keburukan?”
“Ya, seperti Kai membentak Mbak Lastri cuma buat ambil air minum, nggak menyelesaikan tugas sekolah. Nggak mau makan dan lebih memilih main game. Semakin Kai berbuat buruk, semakin senang setan-setan mengelilingi Kai.”
Kai merapatkan tubuhnya ke Amira. “Terus kalau setan-setan banyak dekat Kai, jadinya gimana?”
“Ya nggak gimana-gimana. Mereka senang aja dekat-dekat Kai.”
Kai menjerit sekeras-kerasnya saat Amira turun dari tempat tidur. “Tante mau ke kamar mandi,” ujar Amira sementara Kai menggenggam lengannya kuat-kuat. Tak lama terdengar ketukan.
“Kenapa Mbak?” suara panik dari arah luar terdengar.
“Nggak papa Mbak.”
“Beneran Mbak?”
“Beneran.” Amira lantas mengalihkan perhatian ke Kai. “Kalau besok Kai nggak berbuat buruk lagi, mereka akan pergi. Sekarang lepasin tangan Tante karena Tante harus ke kamar mandi.”
Kai menggeleng kuat.
“Kamu mau lihat Tante pipis?”
“Ini belum besok artinya mereka masih ada di sini kan?” tanya Kai dengan raut polos. Bibirnya melengkung ke bawah. Rambutnya tetap lurus teratur meski telah bermain di tempat tidur. Jika tak mengingat sifatnya, Kai adalah anak yang manis dan imut.
Amira menarik Kai turun, sementara Kai terus mengekori langkahnya. “Tunggu Tante di sini,” ucap Amira saat Kai berdiri di depan westafel, dan kemudian dia melangkah ke toilet.
“Tan—te...” gumaman Kai menyentak Amira, sesaat Amira berbalik. Suara lirih itu mengingatkan Amira pada adik-adiknya. Tak banyak kebahagiaan dalam hidup mereka, lebih banyak rasa takut. Dan saat ketakutan itu merayapi, Amira tahu, dia harus dalam posisi paling kuat.
Amira sedikit membungkukkan tubuhnya di depan Kai. “Kamu lihat Tante masih di sini, kan? Pintunya di sana. Jadi, tante nggak akan kemana-mana.”
Kai mengangguk, terdiam seperti patung menunggu Amira.
***
Amira terlonjak ketika tiba-tiba ada yang membuka pintu kamarnya. Kai muncul dengan masih menggunakan seragam sekolah. Amira yang tengah memandangi lemari pakaian Alvin seperti kedapatan tengah mengambil sesuatu, padahal tidak begitu, dia hanya berpikir akan bagaimana lagi isi lemari yang penuh sesak itu karena berdasarkan cerita Mbak Lastri Alvin akan membawa satu atau dua setel baju baru tiap kali dia pulang dari luar kota karena lelaki itu pasti tak bisa memprediksi berapa lama dia berada di luar kota.
“Ada tugas dikasih bu guru, tapi memang dikerjain di rumah, ya... bukan Kai nggak selesai di sekolah!”
Kai membentak tanpa tedeng aling-aling. Amira menatapnya dengan ekspresi, oh? Sedikit heran, sekaligus... kenapa Kai harus melapor? Sedetik kemudian Amira berhasil menguasai diri. “Ya udah, kalau begitu dikerjakan.”
“Nanti malam dong. Gimana sih?!”
“Kan Tante nggak ada bilang sekarang?”
Kai membungkam mulutnya kemudian mengerucut. Dia melirik-lirik Amira, dan tak lama membali langkahnya.
