Bagian 16

40K 7.3K 429
                                    

“Tante, hari sabtu berapa hari lagi?”

“Empat.”

“Kok lama lagi sih??” Kai berdecak lalu melengos pergi.

Itu pertanyaan beberapa hari yang lalu, dan nyaris setiap hari Kai akan menanyakan hal yang sama. Amira sangat tahu, seharusnya Kai bisa menghitung sendiri berapa hari lagi—hari sabtu yang dinanti-nantinya itu—tapi Kai lebih memilih merecoki Amira. Padahal yang menjanjikan akan pergi kamping akhir pekan ini adalah Papanya.

Dan sekarang hari jum’at. Mbak Lastri dan suaminya juga menganggap itu kesempatan dengan izin libur pulang ke kampungnya yang di Sukabumi untuk melihat anak-anaknya.

Alvin pulang dengan sorot mata lelah saat Amira mendapatinya masuk ke rumah, dan Kai langsung menyerbunya dengan pertanyaan. “Papa, besok sabtu... Kita pergi kamping...”  

Alvin mengangguk, mengecup pipi Kai. “Iya, tapi sekarang Papa masih bau asem, Papa mandi dulu ya?”

Kai kembali sibuk dengan i-padnya, sementara Amira mengikuti langkah Alvin ke kamar. Dia lantas mengernyit saat Alvin mencampakkan sembarang tasnya tampak begitu bergegas menuju kamar mandi.

Di sisi lain Alvin menggerutu dalam hati, niatnya untuk langsung menenggelamkan diri di balik selimut ternyata tak kesampaian akibat Amira. Kenapa Amira? Karena secuil ego menyentil sebab Alvin yang tak ingin Amira melihatnya lusuh dan jorok langsung naik ke atas kasur. Image pria bersih dan rapi belum sekalipun luntur di hadapan Amira.

Ough... sial. Alvin memaki dalam hati saat menghidupkan shower. Kenapa sekarang air yang membasahi tubuh Alvin terasa lebih dingin dari biasanya? Padahal seingat Alvin sekarang masih pukul lima sore.

Sejak pagi perutnya bermasalah. Kemungkinan asam lambungnya naik, dan Alvin sudah meminum obat tadi siang, tapi keadaan memang belum membaik. Hanya saja, sekarang sepertinya bertambah parah, di saat Alvin merasakan bukan hanya perutnya yang kini bermasalah. Tubuhnya juga mendadak menggigil.

Soto dengan perasan jeruk nipis, lalu sambal kecap yang extra pedas. Mungkin itu salah satu penyebabnya. Alvin masih mengingatnya dengan jelas, bagaimana malamnya dia berpura-pura lapar dan meminta Amira memanaskannya lagi, lalu dia memakan sambil menonton televisi. Mengapa sewaktu Amira mempromosikan diri kalau masakannya enak, kenyataannya memang enak?

Yang parahnya, sebenarnya dia bisa saja meminta Amira menemani di sampingnya, namun lidahnya kelu dan Amira tetap melenggang ke kamar setelah menyelesaikan perintah Alvin. Ironis, sisi batinnya mengejek. Tapi tak apa, tak mungkin secepat ini, sisi batin yang lain membela.

Dan sekarang, di saat kepalanya semakin berdenyut, Alvin memutuskan untuk mematikan shower. Tubuh manusia memang sudah seharusnya mengalami masa-masa sakit, tapi Alvin tak rela jika itu harus kejadian sekarang, di saat binar-binar mata Kai berseliweran dalam bayangannya. Lalu perjalanan keluarga, kecilnya—seperti ada yang menggelitik perut Alvin—bisa jadi terancam batal.

Namun, itu bisa di pikirkan nanti, karena kepala Alvin semakin berdenyut kala tak mendapati diri membawa handuk.    

Alvin menahan dengusan, seperti dia menahan amarah. Ketika mendekat ke pintu hal yang dilakukannya sudah pasti... “Amira...” memanggil nama Amira. Dan tak ada sahutan. “Amiraa...” ulang Alvin. Tetap tak ada sahutan.

Benar-benar melatih kesabaran, dan ujungnya ditengah desakan kepala yang semakin berdenyut dan tubuh yang minta diistirahatkan Alvin membuka pintu.

Tapi tak dinyana dengan tubuh tegapnya yang tak memakai sehelai benang pun, pintu lain ikut terbuka. Hanya sepersekian detik sebelum suara bantingan keras memenuhi ruangan, dan pintu kembali tertutup.

Sial, Amira melihat Alvin lebih-lebih dari melihat malaikat pencabut nyawa.

Maka, tak butuh waktu lama bagi Alvin untuk menemukan handuk dan memakai pakaiannya.

***

Amira pikir Alvin hanya buang air kecil atau besar, makanya dia buru-buru masuk ke dalam kamar mandi. Lalu kenapa...

Amira mengerjap, menghilangkan sedikit bayangan yang dilihatnya tadi. Menemukan gelas, dia segera mengisinya dengan air dan meminumnya. Pemandangan yang tiba-tiba tersebut sukses membuat jantung Amira berdetak lebih cepat. Ini hanya kesalahpahaman kecil yang sebaiknya tak perlu dibesar-besarkan, Amira membatin.

Dan memang tak perlu ada pembahasan lebih lanjut tentang itu. Terkecuali saat Amira mendapati Alvin melangkah ke arahnya. “Tadi itu aku lupa bawa handuk.”

Amira melirik Alvin kaku sebelum mengangguk.

“Jangan hanya mengangguk, katakan sesuatu.”

Bibir Amira terbuka, memangnya dia harus mengatakan apa? “Um—iya. Salahku yang nggak ketuk pintu dulu.”

Lama Alvin memandangi Amira, membuat wanita itu menebak-nebak apa yang ada di pikirannya. Kemudian Alvin terlihat mengembuskan napas, “Aku juga terkejut kamu tiba-tiba muncul,” sahutnya, kemudian memutar langkah.

“Mas,”

Alvin menoleh lagi.

“Mas lagi nggak sehat?”

Alis Alvin terangkat, Amira bisa melihatnya? Ya, semua orang pasti bisa menebak kondisinya. Bahkan tadi sekretarisnya pun sudah bisa menebak.

Alvin mengelusi tengkuk. “Iya, aku mau istirahat dulu. Nanti, kalau mau makan malam bangunkan.”

“Kalau gitu besok—“

“Besok tetap jadi.” Alvin mengerjap sesaat. “Kasian Kai kalau batal,” sambungnya dengan suara lebih lembut.

Amira menatapnya dengan sorot khawatir. Benarkan? Alvin tak salah menduga, kan? Yang entah mengapa Alvin menikmatinya.

Alvin berdeham, kembali melangkah. Namun, sesaat keningnya mengernyit, saat disadarinya Amira tak mengikutinya.

Alvin menutup pintu kamar dengan kernyitan bertambah dalam. Beberapa saat dia berdiri di depan pintu dengan bibir menipis dengan rahang berkedut. Yang seharusnya terjadi Amira segera menyusul dan memeriksa kondisinya, begitu kan? Lalu kekhawatiran Amira hanya sebatas sorot mata?

Alvin tersentak mundur saat gagang pintu terputar, secepat yang dia bisa berlari menuju ranjang dan menarik selimut. Kenapa lama sekali Amira baru berniat menyusulnya, gerutu Alvin dalam hati saat membenamkan diri dibalik selimut.

Melalui matanya yang menyipit, Alvin memastikan Amira mendekat, sesaat lagi wanita itu pasti akan memegang dahinya, memastikan kondisinya.

Amira terduduk di sisi ranjang. Alvin merasa dia salah posisi, karena tubuhnya berbaring agak ke tengah sekarang.

“Tubuhku mendadak menggigil,” lapor Alvin setengah berdeham dengan suara berusaha netral.

Amira tampak mengerti. “Maaf, Mas, boleh aku—“ Amira menunjukkan termometer yang dibawanya. “Kalau demamnya terlalu tinggi sebaiknya kita langsung ke dokter aja, mumpung belum gelap.”

Termometer? Ya, termometer, cara itu memang lebih meyakinkan untuk memastikan berapa suhu tubuh Alvin saat ini ketimbang memastikan dengan telapak tangan Amira.

“Mas,” ucap Amira lagi.

Dengan tatapan malas dan membuang muka, Alvin menaikkan tangannya, kemudian mengapit termometer yang disodorkan Amira.  

  

-TBC-

15/09/2019 Liarasati

Sorry for typo.

Dikit dulu, secepetnya disambung lagi yaa... Kai diumpetin dulu, masih menikmati kegalauan bapaknya.

Marriage DealsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang