Bagian 18

44K 8K 472
                                    

Amira telah menyelesaikan pekerjaannya, tanpa Mbak Lastri dia seperti memiliki kesibukan yang sebenarnya, dan menyibukkan diri seperti ini lebih disenanginya dari pada duduk diam tak tahu apa yang harus diperbuat. 

Kai dan Alvin masih terlelap meski jam di dinding telah menunjukkan pukul sembilan lewat. Amira membiarkan Kai berhubung hari ini libur. Sementara Alvin? Terakhir kali Amira memegang keningnya suhu tubuhnya tak sehangat semalam, namun hampir dipastikan Alvin masih lemas.

Apa yang membuat lelaki itu berpikir istirahat sebentar tubuhnya akan kembali sehat seperti sediakala? Amira tak habis pikir, saat diperiksa dokter klinik, akhirnya Alvin mengakui kalau perutnya juga sakit—perasaan ingin memuntahkan isi perut—kenapa Alvin tak mengatakan apa pun saat di rumah?

Dan semalaman tadi Alvin meringkuk kedinginan, saat obat bereaksi dan tubuhnya mengeluarkan keringat dia mengaku kegerahan lalu meminta Amira menghidupkan AC, yang jelas ditolak oleh Amira. Lalu pria itu kembali mengeluh, ingin mandi. Yang benar saja? Amira berhasil menahan keinginan Alvin dengan menyeka keringat Alvin dengan handuk kecil. Hampir dini hari hingga akhirnya Alvin benar-benar terlelap. Berbeda dengan Amira yang bolak-balik terbangun memeriksa kondisinya. Yang Amira pahami saat itu adalah, pria dewasa dengan pembawaan sopan seperti Alvin juga bisa berubah kekanakan ketika sakit.  

Amira telah menumpuk piring kotor bekas memasak ke bak wastafel lalu menghidupkan keran ketika bel berbunyi. Jemari Amira yang masih menyangkut di pegangan keran langsung mematikan kembali. Otaknya segera menerka-nerka siapa yang berkemungkinan besar bertamu di minggu pagi seperti ini kalau tidak...

Amira mengambil kunci pagar, sepanjang langkah menuju pintu Amira mencoba setenang mungkin, saat sepertinya dugaannya benar. Dan di balik pintu pagar—Sonya, telah berdiri menunggu seseorang membukakan pintu. Amira memakai sendal dan menuju pagar. 

"Pak Sopyan mana?" tanyanya dengan nada tak bersahabat.

"Pulang kampung," sahut Amira melirik ke kaca mobil Sonya dan memastikan tak ada orang lain di dalam sana.  

"Mbak Lastri juga?"

Amira mengangguk sebelum menarik pintu pagar. Sonya melirik Amira sesaat sebelum kembali ke dalam mobilnya dan membawa masuk mobilnya ke perkarangan rumah. Sementara Amira langsung kembali ke dalam rumah, berniat menerusi pekerjaannya.

Suara langkah sepatu bergantian terdengar mendekat. "Begini caramu menjamu tamu? Membiarkannya di luar tanpa menyuruhnya masuk?"

Amira membalik badannya. "Kalau kamu duduk di ruang tamu sekarang, aku akan membuatkan minum."

Sonya menyunggingkan senyum mengejek. "Kai di mana?"

"Di kamar, belum bangun. Dan tolong jangan bangunkan karena cuma hari ini dia bisa tidur sepuasnya tanpa dipaksa bangun seperti biasa."

Seolah tak peduli Sonya duduk di kursi bar sambil meletakkan tasnya. "Alvin?"   

"Sama. Mas Alvin juga belum bangun."

Sonya melirik jam tangan mahalnya. "Jam segini?" saat pemikiran lain tercetus di kepalanya Sonya menipiskan bibir. Dia kemudian melipat tangan, "Kalau kupikir kamu lebih cocok menjadi pembantu seperti Mbak Lastri, ketimbang menjadi istri Alvin." Sonya menikmati Amira yang meliriknya sesaat setelah wanita itu hendak kembali menyentuh cucian piringnya. "Setiap orang bebas berpendapat kan? dan aku memang lebih suka mengutarakannya langsung."

Mulut Amira terbuka dengan gigi merapat, namun membalas hanya akan membuat wanita ini kegirangan. 

"Alvin sudah mengenalkanmu ke keluarga besarnya?" Alis Amira berkedut, dia menahan diri untuk tak berbalik dan membalas tatapan Sonya. "Diam, artinya belum?"

Marriage DealsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang