"Kalau nggak karena Non Kai manjanya kadang kebangetan, suka ngatur. Saya sih betah banget kerja di sini. Bapak itu kalau nyuruh selalu sopan, kalau mau libur dikasih. Kalau mau pinjam uang buat anak sekolah juga nggak pelit."
Amira mendengarkan dengan tangan sambil memetik sayuran, ternyata tanpa diminta Mbak Lastri sudah memberikan semua informasi. Namun, informasi yang diterima Amira sebenarnya tak terlalu mengejutkan, mungkin ada istilah jangan menilai dari tampang, Amira menerapkannya sejak awal, tetapi sikap Alvin selama tak lebih dari tiga hari dia berada di rumah itu telah menunjukkan segalanya.
Pria yang Amira yakin telah merebut hati banyak wanita itu selalu bersikap sopan, sangat memikirkan apa yang akan diucapkannya. Lebih lagi, Amira sangat menyadari bahwa Alvin adalah pria bermoral. Sebagai pria normal yang Amira yakin juga punya kebutuhan, Alvin tak pernah mencoba mencuri-curi kesempatan.
Ini yang membuat pekerjaannya semakin ringan—namun justru beban hatinya terasa berat? Amira tak percaya akan berlalu semudah ini. Dia terbiasa memiliki pemikiran berat di kepalanya, sedangkan tidur di ranjang empuk tanpa memikirkan apa pun terasa sangat asing.
"Bapak juga paling gampang Mbak. Nggak ada kemauan khusus, makan apa aja mau. Mbak beruntung banget bisa dapet Bapak." Amira menoleh. Memang, dia tak menyangka niatnya bekerja sama berjalan lancar seperti ini. "Apalagi—eng, anu. Sebenernya saya denger yang dibilang Ibunya Bapak kemarin itu Mbak—soal... Mbak pernah kerja di tempat Ibunya Bapak ya?"
Wajah Mbak Lastri terlihat enggan, sedangkan Amira hanya mengangguk tanpa ekspresi, jika Mbak Lastri bertanya lebih dari ini, sudah pasti Amira akan bungkam.
"Waduuuh, kayak di sinetron-sinetron ya mbak e... Pembantu ketemu majikan. Ya, kalau ceweknya kayak Mbak Mira saya percaya. Kalau kayak saya?" Mbak Lastri melirik dirinya sendiri. "Tapi, saya udah bersyukur punya suami yang setia sama pekerjaan yang bagus, mana satu kerjaan lagi." Mbak Lastri menyengir, suaminya adalah Pak Sopyan sopir yang bertugas mengantar kemana saja Kai ingin pergi.
Melihat Amira yang diam saja sementara Mbak Lastri cekikikan, wanita paruh baya itu segera menutup mulutnya. "Eh, maaf Mbak, nggak maksud menyinggung."
Amira tersentak, dia juga tak bermaksud menyinggung—hanya tak biasa berbasa-basi. "Nggak—papa Mbak."
Akhirnya mereka saling diam, sampai langkah cepat dan teratur menarik perhatian.
"Lho, kok Bapak pulang lagi, ada yang ketinggalan ya?"
Pertanyaan di benak Amira dikatakan dengan tepat oleh Mbak Lastri. Tanpa menjawab, Amira meninggalkan pekerjaannya, dan menyusul langkah Alvin menuju kamar.
"Ada yang ketinggalan?"
Alvin menoleh. "Nggak, tapi aku harus ke Batam."
"Sekarang?"
Alvin mengangguk. "Gibran mendadak telepon anaknya mumen masuk rumah sakit, seharusnya dia yang berangkat." Alvin bergerak membuka lemari mengambil tas ransel yang biasa dia gunakan untuk berpergian. "Aku mau ke sekolahan Kai dulu."
"Kenapa harus ke sekolah Kai?"
"Kai harus tahu aku pergi, aku harus berpamitan langsung. Atau kalau nggak pulangnya aku akan susah payah membujuknya."
Jadi, begitu, Amira mengangguk dalam batinnya.
"Kai biasa nginap di tempat Oma-nya kalau aku keluar kota. Tapi, kali ini—" Alvin berhenti bergerak. Kemudian menatap Amira.
"Kai nggak perlu dititip. Aku bisa mengurus Kai," potong Amira.
"Mbak Lastri terbiasa mengurus Kai. Tapi biasanya aku yang mengecek tugas sekolahnya kalau di rumah."