Bagian 4

45.8K 6.4K 272
                                    

“Aku punya banyak pertanyaan.” Akhirnya Amira membuka suara. Mobil tengah melaju, dia telah berganti pakaian, dress dengan mode simple yang panjangnya di bawah lutut. Ini mahal, Amira tahu, dan tak memprotes apalagi menolak saat Alvin memilihkannya, dia tahu dia harus tampil selayaknya jika ingin bersanding dengan pria yang kini duduk di balik kemudi.

Alvin menoleh. “Setelah berlutut dan memohon sekarang kamu membutuhkan alasan? Kenapa tiba-tiba aku memilih menikahimu?”

“Ah—bukan,” sela Amira cepat yang membuat Alvin mengernyit bingung. “Tentang situasi ini, maksudku akan kemana kita saat ini, dan bagaimana?” Amira tahu bahasanya terlalu berbelit-belit. “Tidakkah kita harus menyamakan cerita kita? Ketika ada orang lain yang bertanya awal mula kita bertemu?”  

Sebenarnya Alvin baru saja hendak membahas itu. Tetapi mengapa yang membuatnya tertarik sekaligus—dia ingin menampik—kecewa, adalah perempuan ini terlihat tak peduli dengan alasannya.

“Anda ingin aku memainkan peran, artinya aku harus tahu skenarionya.” Alvin kembali melirik. “Kisah yang umum adalah jatuh cinta pada pandangan pertama,” lanjut Amira, bahkan wajahnya terlihat serius saat mengutarakan isi pikirannya. “Anda pulang ke kampung halaman, bertemu denganku lalu jatuh cinta.”

Alvin melempar pandangan. “Anda?”

“Ya?”

“Mas,” ucap Alvin tegas.

“Hah?” Amira melongo sesaat. “Oh, iya. M—Mas.”

“Jadi maksudmu aku yang jatuh cinta lebih dulu?”

Amira mengangguk. “Akan lebih masuk akal jika begitu. Mas jatuh hati, ditambah dengan ingin mencari sosok Ibu untuk anak Mas. Tidak akan ada yang curiga jika itu yang terjadi.”

Alvin mengembuskan napas keras. “Cari cerita lain. Yang jelas bukan aku yang jatuh cinta duluan, karena kenyataannya memang bukan begitu.”

Amira menaikkan alisnya. “Kalau begitu buang saja kata ‘jatuh cinta’ inti dari Mas menikahiku adalah untuk menggantikan sosok Ibu bagi anak An---M-Mas.”

“Kalau itu alasannya, aku sudah menikah dari dua tahun lalu. Cari cerita yang tidak menguntungkan satu pihak,” sindir Alvin.

“Bisakah seseorang saling mencintai dalam waktu yang sangat singkat?” Amira bergumam pelan, namun tetap terdengar di telinga Alvin.

“Bukan mencintai, tapi mengagumi.” Amira menoleh, Alvin tetap berfokus pada setirnya. “Setiap orang punya penilaian terhadap orang yang baru pertama kali di kenalnya, dan poin plus itu adalah rasa kagum, terkesan. Yang dapat membuat seseorang memikirkan, atau menoleh lebih dari sekali. Aku nggak percaya jatuh cinta pada pandangan pertama. Itu terlalu mengada-ada.”

Amira mengamati Alvin dengan saksama. Begitu lekat. Hingga Alvin... Hm... harusnya dia fokus menyetirkan? Dan harusnya dia membentak wanita itu karena... Alvin menolak menyebutnya salah tingkah. Jadi dia menegakkan tubuhnya kaku, berdeham sesaat. “Apa yang kamu lihat?”

Gadis itu bahkan terlihat tak terpengaruh, dia memutar kepalanya dengan pandangan berpikir. “Apa yang aku kagumi dari Mas. Aku sedang memikirkannya.”

Oh, kali ini Alvin benar-benar tersinggung. “Ada banyak. Atau itu sama sekali tak terlihat? Kamu sengaja ingin aku menyebutkannya kan?”

Dahi Amira mengerut. “Apa? Tampan, mapan, berpendidikan tinggi? Semua orang akan melihat itu. Dan alasanku menerima Mas jadi terlalu klise.” Mulut Alvin terasa mengering, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran gadis satu ini.

“Pikiranmu terlalu rumit. Memangnya apalagi yang akan dipikirkan orang lain saat seorang pembantu menikah dengan anak majikan kalau bukan karena harta?” Alvin tidak menyaring omongannya, dia justru ingin melihat ekspresi gentar di wajah Amira.

Dan, hal itu terwujud.

Amira memandanginya dengan air muka suram. Dalam situasi seperti ini justru batin Alvin yang berdenyut. Sial, makinya pada diri sendiri.

“Aku benar, kan?” pancing Alvin lagi.

“Iya,” sahut Amira datar. “Kenyataannya memang begitu.” Dia terdiam lama. Dan itu justru membuat Alvin gelisah—harusnya tidak. Oke, lupakan, Alvin, kamu berhasil memancingnya.

Hening melingkupi, sebelum Amira membuka suara. “Kalau begitu izinkan aku mengatakan sejujurnya pada Bu Hanun.” Dahi Alvin terlipat. Kepada Mamanya? “Jangan biarkan Ibu Hanun menanggap niatku baik atau sangat buruk. Bu Hanun harus tahu kalau aku melakukan ini karena uang.”

“Kenapa kamu sangat peduli tanggapan Mama?”

“Karena dia memperlakukanku sangat baik dan aku nggak bisa membalasnya. Akan lebih baik aku jujur, meskipun tetap mengecewakannya.”

Kini giliran Alvin yang terdiam. Rahangnya berkedut menatap jalanan. Mamanya, benar, dia bisa saja menjatuhkan Amira karena memang kenyataannya Amira-lah yang meminta dinikahi, lalu pertanyaan selanjutnya adalah mengapa Alvin menerima? Mamanya paling mengenalnya, semata-mata karena rasa kasihan sepertinya terlalu munafik.

“Skenario yang pertama tadi, apa?”

Amira menoleh bingung.

Tapi, sebelum dia menjawab, Alvin telah mendahului. “Si Pria jatuh cinta pada pandangan pertama, lalu si wanita menerima malu-malu kucing. Kita mainkan peran itu.”

“Bukannya Mas bilang jatuh cinta pada pandangan pertama itu mengada-ngada?”

Shit! Alvin membelokkan mobilnya kasar. “Ini hanya peran,” sahutnya jengkel.

“Oke,” sahut Amira santai, yang membuat Alvin bertambah jengkel.

-TBC-

22/05/2019 Liarasati

Sorry for typo

Marriage DealsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang