Amira masih berdiri, hingga ditatapnya tubuh Alvin menghilang dari balik pintu kamar. Berbeda lingkungan? Alvin benar, dan yang paling mendasar yang membedakannya adalah, Amira terbiasa menekan harga diri juga sakit hatinya sampai ke level terendah. Terang saja, jika dia suka memasukkan setiap kata-kata menyakitkan ke hati maka dia tak berdiri di sini, dia tak akan mengemis meminta pertolongan Alvin di hari pertama bertemu.
Amira mengalihkan pandangannya, sekali lagi meyakinkan hatinya kalau ini bukan perkara besar. Dia lantas menuju kamar dan terduduk di pinggir ranjang, menunggu Alvin keluar dari kamar mandi.
Berselang beberapa menit, hanya berbalut handuk Alvin keluar dan sedikit menaikkan alis matanya.
“Aku membutuhkan tas pakaianku,” kata Amira tanpa basa-basi.
Tak ingin menyahut dengan basa-basi yang sama Alvin—menggerutu dalam hati saat berada di depan lemari. Harusnya dia santai saja membuka handuk dan berganti pakaian, bukannya... mengambil pakaian ganti dan kembali ke kamar mandi.
Setelahnya, masih tanpa menoleh Alvin keluar membuka bagasi mobilnya dan mengambil tas milik Amira. Dia meletakkannya begitu saja di lantai, sebelum naik ke atas kasur dan berbaring miring.
Alvin tetap memejamkan mata rapat, meski telinga dan otaknya tak berhenti memikirkan apa-apa yang sekiranya saat ini dilakukan Amira. Bunyi gemerisik meski Alvin yakin dilakukan Amira dengan sangat berhati-hati hingga tak menimbulkan suara tetap saja membuat otaknya bekerja.
Alvin menelentangkan tubuh, membuka matanya. Bunyi air masih mendominasi telinganya, cahaya kamar yang begitu terang, juga sudah terlalu lama tidak ada orang lain di kamar itu, yang menyebabkan dia sukar terlelap meskipun kepalanya sudah terasa berat dan tubuhnya lelah.
Saat pintu kamar mandi terbuka Alvin kembali menutup matanya. Entah apa yang ditunggunya, sialnya jantungnya berdegup lebih keras, setiap hentakan mewakili setiap detik. Tapi sepertinya ini terlalu lama untuk Amira sampai ke ranjang.
Dahi Alvin berkerut. Dia kembali membuka paksa matanya, dan menipiskan bibir saat melihat pemandangan di depannya, Amira tengah memunggunginya menyusun bantal di atas sofa kamar. Tubuh mungil Amira pasti muat di sofa itu, batin Alvin yang entah mengapa merasa kesal.
Saat Amira berbalik dan pandangan mereka bertemu. “Matikan lampunya!” ucap Alvin setengah menggeram kembali memejamkan mata, tetapi pikirannya tetap melayang kemana-mana.
***
Keesokan paginya, Amira yang terbiasa bangun pagi-pagi sekali hanya mampu mengintip dari pintu kamar, mendengar suara-suara dari arah dapur. Semalaman dia sulit tertidur, dan kini dia kembali sofa, diliriknya Alvin yang masih terlelap. Pria itu mendiamkannya, Amira belum kehilangan kepekaannya.
Amira kembali berdiri melangkah pelan ke arah pintu. Atau dia langsung membantu di dapur saja? batin Amira.
Tak lama sebuah sinar sedikit menyentaknya. Sinar yang berasal dari ponsel Alvin. “Jangan keluar.” Alvin berkata tanpa mengalihkan perhatian dari layar ponselnya.
Tangan Amira yang tergantung di kenop perlahan terlepas, dia kembali ke sofa, dan merebahkan diri. Padahal tubuhnya sudah gatal untuk beraktifitas.
Alvin berguling turun dan menghidupkan lampu utama. Cahaya terang benderang langsung membuat Amira menyipitkan matanya. Dia bahkan tak sempat mendudukkan diri saat tubuh Alvin sudah berdiri di dekatnya. Tubuh yang menjulang itu membuatnya mendongak.
“Tadi malam aku tak ingin mendebat, karena dasarnya aku tak suka berdebat dengan wanita. Jadi, jawab tanpa banyak alasan, kenapa kamu tidur di sini?”
Mata Amira masih membeliak, menatap lurus ke arah Alvin. Alasannya? Yang paling utama tentunya dia tak terbiasa dengan orang asing apalagi Alvin adalah pria, alasan lainnya... jantung Amira berdegup sangat cepat, keringat dingin mulai terasa di tengkuknya. Dia memejamkan mata, tenangkan dirimu Amira... ketika dia membuka matanya kembali hanya ada bayangan Alvin. Alvin. Dan Alvin. Saat ini hanya dia. Ingat! hanya dia.
