Bab ini dikit aja karena mmg lanjutan dari yang kemarin tapi aku potong karena udah kebanyakan.
Kalau vote n komen di bab ini banyak. Aku bakal... makasiiih byk2.. 😂😆
.
.
.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat. Amira masih menunggu di dalam kamar dengan isi kepala yang terus bekerja. Alvin tidak membentaknya, dia sama sekali tidak berbuat kasar. Namun, kekecewaan yang tercetak jelas di mata pria itu justru lebih membuat batin Amira tak tenang.
Dia mulai menyalahkan kata hatinya yang memilih mempedulikan sekitar ketimbang duduk diam sesuai arahan Alvin. Tapi sekalipun Amira memaki-maki dirinya sendiri jika dihadapkan di situasi yang sama suatu hari nanti, dia pasti akan melakukan hal yang sama.
Saat mendengar suara dari arah luar Amira bangkit dari pinggir ranjang, membuka sedikit daun pintu. Alvin tengah menggendong Kai yang tertidur. Tubuhnya terpaku, tidak ada yang bisa menampik besarnya kasih sayang yang dimiliki Alvin untuk Kai. Gadis cilik yang beruntung, pikirnya untuk Kai, jika dibandingkan dirinya... Amira segera menepis pemikirian itu. Ada kenangan yang memang tak sebaiknya dia bongkar.
Amira kembali menutup pintu, dia tahu dia tak seharusnya membiarkan dirinya gelisah. Apa yang terjadi hari ini, memang sudah seharusnya seperti itu, sekali lagi Amira berkeras dengan pendapatnya.
Ketika Alvin masuk dan pandangan mereka bertemu Amira tetap diam di tempatnya, situasi canggung langsung melingkupi. Wanita itu menunggunya? Dia tak harus melakukan basa-basi menanyakan ‘kenapa belum tidur?’ kan? Alvin segera beralih ke lemari, dan berganti pakaian. Gerakannya seperti menghindar, tapi apa yang membuat seorang Alvin terbiasa bersikap ramah menjadi antipati seperti ini? Berhadapan dengan Amira seperti dikelilingi granat yang siap meledak. Padahal semasa kuliah dia terkenal aktif organisasi, sikapnya yang mudah membaur membuatnya memiliki banyak teman, termasuk teman wanita yang diam-diam mau pun secara terang-terangan menyukainya. Namun, tak pernah terdengar kabar Alvin berpacaran dengan seorang wanita bahkan sampai dia lulus S1.
Alvin keluar dari kamar mandi setelah berganti pakaian. Sialnya Amira masih tetap duduk di sofa. Mengapa dia tidak beranjak ke tempat tidur dan menarik selimut lalu memunggunginya saja? Atau dia sedang berpikir akan tidur di sofa lagi? Gigi graham Alvin mendadak beradu, sepertinya peringatannya tadi pagi sudah cukup jelas. Saat Amira tak juga mengeluarkan sepatah katapun, Alvin memilih langsung menuju ranjang.
“Mas, mau kubuatkan kopi?”
Alvin tersentak. Ouh.. harusnya Alvin tak menoleh secepat itu. Ah... ini hanya taktik Amira untuk membuatnya jatuh cinta seperti yang diucapkannya tempo hari.
Tapi seharusnya Alvin tak merasa terganggu dan menganggap ini angin lalu.
Alvin memutari sisi ranjang dan duduk di sana. Ditatapnya Amira tanpa ekspresi. Benar, ini baru benar, dia harus memosisikan dirinya sama sebelum atau pun sesudah ada Amira. Dan kali ini dia akan melihat sejauh mana permainan Amira.
“Boleh,” sahutnya datar.
Beberapa menit kemudian Amira datang membawa nampan kecil dan meletakkannya di atas meja nakas. Tak hanya kopi yang ada diatasnya. Tetapi juga puding cokelat.
Beberapa saat saling diam Alvin menyuruput kopi itu sedikit lalu mengembalikannya ke atas nampan. Kopi buatannya masih sama—batin Alvin. Enak.
“Ini caramu merayu?” tanya Alvin to the point, sambil menyendok puding cokelat ke mulutnya.
Amira membulatkan bola matanya. “Mas tahu?”
Alvin memfokuskan tatapannya, matanya tak berkedip, dunia seolah senyap. Detik jam menyadarkannya kembali ke bumi. Jangan. Belum. Belum saatnya. Alvin menoleh kaku ke arah lain sambil berdeham kecil. Dia menyadari Amira selalu terus terang, tapi dia tak menyangka... Tidak, dinding pertahanan Alvin tak boleh rubuh secepat ini.
“Sangat mudah di tebak.” Saat dilihatnya mata bulat jernih itu masih tersentak. Alvin merasakan ada yang tak beres dengan detak jantungnya. “Tapi aku tidak suka manis.”
Amira justru mengangguk. “Aku tahu. Bi Lastri udah kasih tahu. Tapi Kai suka yang manis.”
Alvin terperangah, dengan kening sedikit mengerut. Kai suka yang manis??
“Jadi Mas benar-benar tahu ini rencanaku?” Dahi Alvin semakin terlipat. Amira mengulum bibirnya. “Um... iya, aku membuat puding untuk Kai karena Bi Lastri bilang dia suka makanan manis dan cokelat. Tapi aku nggak bisa tampil dengan tatapan membujuk di hadapan Kai. Jadi aku menyuruh Bi Lastri memberikannya besok, dan memintanya mengatakan kalau itu buatanku setelah Kai memakannya.”
Kai? Untuk Kai? Merayu Kai??
Alvin membuang pandangan. Lututnya bergoyang karena sebelah kakinya menghentak-hentak. Dia menyadari saat ini ekspresinya pasti seperti hendak menelan orang hidup-hidup, tetapi ego lelaki tak mengijinkannya jatuh setelah merasa diterbangkan.
“Iya aku tahu ini memang cara picik, tapi aku nggak bisa mengatakan sesuatu manis-manis di mulut. Jadinya—“
“Lakukan apa yang mau kamu lakukan asal tidak membuat Kai menangis sampai muntah seperti tadi,” potong Alvin menahan kesal.
“Aku akan mengingatnya. Tapi, aku terkesan Mas bisa menebak rencanaku.”
Bodoh! Bodoh! Alvin merutuki diri sendiri. Dia menahan sebisa mungkin agar ekspresi geram tak terlihat di wajahnya.
Belum sempat Alvin melakukan pembelaan, Amira keburu bangkit dari sofa dan mengambil sesuatu dari dompetnya.
“Dan...” wajah Amira terlihat ragu. “Ini... struk belanjaan tadi. Um, Mas nggak keberatan kalau membayar untuk kepentingan Kai, kan?” Amira membalik kertas struknya, menunjukkan tulisan tangannya, dia men-total sendiri belanjaan khusus kebutuhan Kai. “Aku sudah memisahkan kebutuhan pribadiku. Aku akan terlihat sangat perhitungan, tapi aku membutuhkan lima juta yang sudah Mas kirim—“
Jadi, ini alasan dia membuatkanku kopi? Batin Alvin semakin jengkel. Mood Alvin benar-benar terjun bebas. Dia mengambil kertas dari tangan Amira dan mengambil ponselnya. Nominal yang dikirimkan Alvin bukan sesuai tulisan tangan Amira, melainkan sesuai dengan struk pembayaran, dan mengembalikan lagi struk tersebut ke Amira. Setelah itu Alvin langsung menyibak selimut.
“Terima kasih,” sahut Amira. “Mas, kopinya nggak dihabiskan?”
“Aku bisa tidak tidur semalaman jika menghabiskannya.” Padahal Alvin tahu itu tak ada pengaruhnya bagi tubuhnya.
“Oh... iya. Um, Mas.”
“Apalagi?” tanya Alvin dengan nada ketus.
“Aku lihat ada motor matic di garasi, boleh aku pakai? Daripada aku minta diantar supir, aku pikir—“
“Pakai saja!”
Amira telah berhasil melepaskan satu granat dari tubuh Alvin malam ini. Dia benar-benar meledak, dan tak dapat mengendalikan diri lebih dari ini jika dia tidak segera menutup mata dan pura-pura tertidur, padahal saat ini belum jam-nya dia tidur.
-TBC-
Liarasati, 04/08/2019
Sorry for typo.